Cara Memilih TK Terbaik untuk Anak

19 komentar
Memasuki kuartal keempat tahun 2022, banyak para orangtua yang bingung bagaimana cara memilih TK terbaik untuk anak.

Bukan rahasia umum, banyak sekolah di Jabodetabek yang sudah membuka pendaftaran untuk tahun ajaran 2023/2024. Bahkan, ada juga yang sudah membuka gelombang pendaftaran pertama sejak Agustus 2022. Loh, baru awal tahun ajaran baru malah sudah buka pendaftaran tahun ajaran  berikutnya.

Not to mention beberapa sekolah yang sudah waiting list sejak anak masih dalam kandungan *ups* 😏.

cara memilih tk

Survei sekolah selalu menyenangkan, sekaligus memusingkan. Terakhir kali saya lakukan saat di penghujung tahun 2018, yakni survei TK si sulung untuk tahun ajaran 2019/2020. Sebenarnya si sulung tahun 2022 ini masuk SD sih, tapi anehnya kami malah tidak melakukan survei seperti TK haha. Kayaknya memang saya sudah mengincar SD si sulung sekarang sejak baru buka cabang Lebak Bulus. Pun, sepupu si sulung sudah ada yang sudah bersekolah di sana, jadi lebih mudah untuk bertanya langsung untuk mengetahui tentang pembelajaran di SD ini.

Untuk si tengah, saya menginginkan kriteria TK yang mirip dengan TK si sulung 3 tahun silam baik dari segi rentang harga, waktu sekolah, dan jarak rumah ke sekolah. SPP si sulung di bawah 1 juta, memiliki waktu sekolah pukul 07.30 hingga 11.00, dan jarak rumah ke sekolah kurang dari 3 km.

Loh, kenapa sekalian saja si tengah dimasukkan ke TK yang sama dengan si sulung? Tidak bisa bos, soalnya kini kami sudah pindah rumah, makanya saya pun harus mengulangi kembali survei TK.

Tidak ada sekolah yang sempurna, begitu pula TK sang buah hati. Pilih yang tidak sempurna tidak apa-apa. Kenapa? Simak dulu cara memilih TK terbaik untuk anak berikut inI!

1. Berada dalam rentang harga yang disanggupi

Jujur saja, rentang harga baik uang pangkal hingga SPP bulanan pasti menajdi kriteria pertama para orangtua sebelum menentukan sekolah mana saja yang masuk ke shortlisted berikutnya. Jelas, ini berkaitan dengan kemampuan ekonomi.

Serta gaya hidup anak (dan orangtuanya).

Dalam memilih sekolah anak pastikan mempertimbangkan komponen uang pangkal (termasuk seragam, aktifitas, dan sebagainya) serta uang SPP bulanan. Kadang-kadang ada sekolah yang uang pangkalnya murah, tapi SPP bulanannya besar banget. Ada juga yang SPP bulanannya tidak terlalu mahal, tapi uang pangkalnya tidak masuk akal. Ada, ada banget di salah satu TK yang saya survei.

Kadang ada yang tertipu dengan uang pangkal murah tapi SPP bulanan. Iya mampu bayar di awalnya, tapi tiap bulannya membuat perekonomian rumah tangga ketar-ketir. Beberapa tidak mempermasalahkan sekolah dengan uang pangkal mahal tapi SPP bulanan terjangkau. Toh hanya dibayarkan sekali di awal. Tapi bagi saya ini sesuatu karena merasa tidak adil saja, kok uang pangkal sekolah A besar banget, padahal fasilitasnya kurang lebih sama dengan sekolah lain dengan uang pangkal lebih rendah.

Malahan, saya pernah membaca sebuah ulasan yang menjelaskan baiknya SPP dan uang pangkal anak sepersekian gaji kedua orangtua. Kalau dipikir ini cukup masuk akal sih, selain tidak membuat perekonomian rumah tangga ketar-ketir, pergaulan anak dan antar orangtua anak juga biar lebih "sekufu".

2. Jarak rumah-sekolah dan kemacetan

Pengalaman punya anak yang jarak TK-nya dekat? ENAK BANGET!

Bagi saya, jarak TK WAJIB dekat. Soalnya rata-rata mereka cuma sekolah 3 hingga 4 jam saja. Males banget kan kalau punya anak tapi TKnya jauh. Berangkat sekolah harus lebih awal yang artinya anak harus bangun lebih awal pula. Tahu sendiri lah, mayoritas anak usia TK sulit untuk disiapkan pagi-pagi benar. Selesai ngantar, baru duduk bentar dan beberes 1,5 jam, eh harus berangkat lagi! Pulang sekolah juga bakalan lebih lama sampai rumahnya.

No to mention the gasoline you pay for the long journey.

Saat TK, si sulung masuk jam 7.30. Karena sekolah dekat, saya baru membangunkannya pukul 6.45. Kemudian saya mandikan dan temani sarapan. Jam 7.15 sudah berangkat. Biasanya saya sampai rumah kembali pukul 8 kurang karena lalu lintas mulai padat. Lumayan saya punya waktu bersih-bersih, masak, istirahat, dan mengurus si tengah yang masih bayi selama 2,5 jam. Jam 10.45 saya sudah berangkat lagi untuk menjemput si sulung. Jam setengah 12 biasanya sudah sampai rumah dan bisa istirahat sebentar sebelum makan siang.

Kalau sekarang mungkin saya akan lebih picky dalam memilih TK si tengah. Tidak hanya jarak maksimal sekitar 3 kilometer, tetapi arahnya sebisa mungkin menyesuaikan dengan si sulung. Beberapa sekolah yang tidak searah sama si sulung masih ada yang saya pertimbangkan, asal searah dengan rumah saya karena aya tidak harus membawa si tengah ikut serta saat mengantar si sulung. Jadi setelah mengantar si sulung, saya bisa menjemput si tengah di rumah dan langsung mengantarnya ke sekolah.

Saya bisa menitipkan si tengah ke ART dahulu di rumah. Lumayan kan ia bisa sarapan terlebih dahulu saat saya mengantar si sulung ke sekolah terlebih dahulu.

Tidak cuma itu, ada juga sekolah yang meski jaraknya dekat dengan rumah, tapi waktu tempuhnya bisa cukup lama karena terjebak kemacetan.

"Lalu lintas sekarang sudah ramai banget, makanya jam masuk TK A dan TK B dibedakan." Ujar salah seorang guru di salah satu TK yang saya survei.

Mungkin setelah menetapkan shortlisted terakhir, ada baiknya para orangtua menguji kemacetan terlebih dahulu dengan cara mensimulasikan antar sekolah anak di TK tersebut di waktu masuknya. Apakah kena macet saat mengantar dan pulangnya?

Kalau pulangnya kena macet, ya sama aja sih, baru duduk bentar harus berangkat jemput lagi. Kalau bagi saya sih jadi mengurangi pembobotan poin sekolah yang nantinya akan dipilih.

3. Jam sekolah

Cara memilih TK terbaik untuk anak ini juga berkaitan dengan kemacetan yang dihadapi serta ritme aktivitas yang akan disinkronisasi dengan pengantar.

Salah satu TK yang saya survei menyebutkan bahwa anak TK A masuk pukul 8.30. Langsung saya merasa sangat berkeberatan meski TK ini dekat dengan rumah dan lokasinya dekat dengan SD si sulung. Namun jam masuk yang agak ganjil ini sangat tidak sinkron sama jadwal tahsin saya yang 2 hari seminggu. Tidak hanya itu, kalaupun saya tidak ada aktivitas, saya menyelesaikan aktivitas antar anak bakal lama sekali, yakni dari jam 6.40 sampai jam 8.50!

4. Kekurangan yang masih bisa ditolerir

Sekolah A hampir sempurna tapi kurang di x.
Sekolah B hampir sempurna sayangnya dia tidak y.
Sekolah C suka banget, tapi dia tidak z.

Pada akhirnya memang tidak ada sekolah yang sempurna, selalu ada kurangnya. Tinggal kekurangan mana yang bisa kita toleransi.

Di keluarga kami, ada spesifikasi wajib dan ada spesifikasi opsional. Beberapa spesifikasi wajib adalah sekolah Islam, dalam rentang 3 km, dan biaya yang sesuai. Untuk spesifikasi opsional seperti jam masuk, fasilitas, dan metode pengajaran.

4 tahun lalu saat saya survei TK si sulung, saya sangat ingin si sulung masuk ke sebuah TK yang bagi saya sempurna sekali dari semua aspek, kecuali harga. Harga yang cukup mahal bagi kami ini cukup menjadi poin minus mengingat pada saat itu perekonomian kami juga belum stabil. Beberapa parameter yang unggul di mata saya namun pada akhirnya saya berdamai adalah sekolah sunnah dan hafal juz 30.

Pada akhirnya kedua parameter itu menjadi kekurangan yang masih bisa ditolerir jika saya mengambil sekolah lain tanpa program dan visi misi tersebut. Bagi kami, TK belum waktunya memamkan sumber daya anggaran besar, Anak pun masih banyak dalam pendidikan saya karena jam sekolah hanya 3.5 jam. Alhamdulillah, 2 tahun TK si sulung bisa membedakan mana doa pendek yang sesuai tuntunan sunnah dan bisa menjelaskan ke gurunya kalau diajarkan doa yang lain. Selain itu, alhamdulillah si sulung bisa tamat menghafalkan Juz 30 sebelum menyelesaikan TK B.


Berkaca dari pengalaman anak pertama, saya mengambil pembelajaran yang cukup bagaimana cara memilih TK terbaik untuk anak. Bagaimana meramu semua kriteria dan kemampuan dan mengkombinasikannya dengan pendidikan di rumah demi anak mendapatkan output yang terbaik.

Manfaat Jalan Kaki ke Sekolah bersama Anak

13 komentar
Meski jarak SD si sulung dari rumah kurang dari 3 km, saya rutin jalan kaki ke sekolah bersama anak. 

Tiap hari saya mengantarkan si sulung ke sekolah menggunakan mobil. Kadang-kadang banget sih babehnya antar, karena biasanya babehnya sudah sepedaan ke kantor sejak jam setengah 7. Terakhir babehnya mengantarkan si sulung saat dua adik gadisnya si sulung sakit dan ART saya pulang bulan lalu.

Lho, katanya antarnya naik mobil, kok tetap jalan kaki ke sekolah bersama anak?

manfaat jalan kaki

Begini, jarak sedekat itu kalau full menggunakan mobil harus spare waktu hampir 40 menit sebelum jam masuk supaya si sulung tidak telat masuk. Harus mengantri lampu merah simpang dan mengantri di jalan kecil depan sekolah si sulung lah yang menyebabkan waktu perjalanan sangat lama.

Tidak rela dong saya rumah dekat banget tapi butuh 40 menit mengantarkan sekolah. Beruntung saat awal-awal suami mengantarkan si sulung ke sekolah, ia menemukan jalur pintas ke sekolah supaya tidak usah repot-repot antri lampu merah dan antri di jalan kecil. Jadi, mobil cukup diparkirkan di lahan parkir depan depo gas dan bengkel di samping gang, kemudian kami jalan melewati gang rumah-rumah warga sejuah 300 m.

Kini kami bisa berangkat 20 menit sebelum jam masuk sekolah! Meski harus combo jalan kaki ke sekolah bersama anak, justru saya semangat menyambut pagi tiapi mau antar anak ke sekolah. Tidak kebayang jika saya harus menghabiskan 40 menit untuk mengantar si sulung sekolah 5 hari dalam seminggu. Sudahlah capek hati, habis bensin pula.

Ternyata ada beberapa manfaat jalan kaki ke sekolah bersama anak yang membuat saya bersemangat tiap Senin hingga Jumat meski harus bangun lebih pagi.

1. Menaikkan mood

manfaat jalan kaki
Saya tipe orang yang saat keluar rumah, inginnya sudah mandi. Dulu aja jaman kuliah pagi jam 7, saya rela mandi meski hanya 2 menit saat telat bangun pagi (dulu sehabis subuh suka tidur lagi ehehe). Ketimbang saya keluar rumah dalam keadaan pliket, muka berminyak, panas, tidak segar, dan hanya membungkus diri dengan jilbab dan jaket tambahan, mending saya maksa mandi meski kilat tapi dalam keadaan penampilan sudah siap beraktivitas.

Saat jalan kaki ke sekolah bersama anak pun membuat diri terpapar sinar matahari. Jalan kaki 600 m pulang-pergi artinya membuat saya melakukan aktifitas fisik ringan di tiap Senin dan Jumat.

Menurut buku Why We Sleep karangan Matthew Walker, langsung beraktifitas saat matahari terbit membuat tubuh memaksimalkan siklus sirkadian yang menandakan tingginya kewaspadaan. Terpapar matahari pagi juga menekan pelepasan melatonin dalam tubuh yang merupakan hormon tidur. Melatonin ini bisa terus dikeluarkan oleh tubuh saat dalam keadaan gelap. Makanya, Ikut jalan kaki bersama si sulung dibandingkan di rumah saja sangat berpengaruh untuk mood saya seharian itu.

Jalan kaki ke sekolah bersama anak pulang-pergi sejauh 600 meter menghabiskan waktu sekitar 10-15 menit tergantung jalan cepat atau jalan santai. Saya yang tipe introver pemikir ini tentu akan sangat memaksimalkan momen kesendirian ini karena saya bisa sendiri dan berpikir dengan tenang sembari menghirup udara segar di luar ruangan. Bagi saya kesendirian ini tiap harinya cukup penting mengingat saat pulang ke rumah saya relatif tidak memiliki waktu untuk pikiran sendiri karena harus berinteraksi sama 2 adik gadisnya si sulung.

Inilah manfaat jalan kaki ke sekolah bersama anak yang selalu saya rasakan tiap harinya.

2. Bonding

manfaat jalan kaki
Si sulung dan adik tertuanya berjarak 3,5 tahun lebih, artinya selama 3,5 tahun itu pula saya mudah melakukan bonding time degan si sulung, termasuk saat melakukan traveliving. Semua berubah saat adik kedua dan ketiganya lahir. Bisa dihitung, saya cukup jarang melakukan bonding time lama bersama si sulung saja tanpa terdistraksi adik-adiknya. Terakhir yang saya ingat adalah saat mengantarkan Hasan ke dokter kulit berdua saja 2 tahun lalu.

Meski si sulung sudah beranjak besar, tangki perhatian untuk si sulung harus diisi selalu. Kalau saya dapat berduaan dengan si sulung minimal 20 menit tiap 5 hari dalam semingu, why not? Selama di mobil kami bisa ngobrol tanpa terdistraksi adik-adiknya yang minta perhatian. Begitu juga saat jalan kaki ke sekolah bersama anak. Bahkan hal-hal remeh temeh pun bisa kita perbincangkan dan menjadi salah satu momen pergi sekolah.

Saat sampai di sekolah, saya juga bisa lebih proper mengantarnya di depan sekolah. Menyalami dan mencium pipinya. Rasanya beda jika saya melepas si sulung pergi sekolah di rumah saja.

Namun, kami tidak selalu berdua saja. Si tengah suka sudah bangun dan akan merengek untuk ikut mengantar abangnya. Dibanding bertengkar, mending saya boyong saja sekalian hehe. Lumayan, si tengah yang suka “manja” itu jadi terpaksa ikut jalan kaki 600 meter dan secara tidak langsung berjemur di bawah matahari sambil menghirup udara segar.

Coba kalau di rumah di ajak jalan keluar, pasti suka malas-malasan dia. Lumayan kan salah satu manfaat jalan kaki ke sekolah beserta si tengah juga termasuk melatihnya mampu jalan jauh. Mempersiapkan fisiknya saat travelling nanti.

3. Mengamati sekitar

manfaat jalan kaki

Ada banyak hal yang bisa diamati saat jalan kaki dibandingkan saat naik transportasi umum atau naik mobil pribadi. Saat naik kendaraan bermotor, kita begitu cepat melewati suatu area sehingga tidak sempat mengamati sekitar lebih detil. Itulah makanya saat travelling, saya sebisa mungkin menyempatkan jalan kaki di pinggir jalan demi mengamati hal-hal yang "tidak" terlihat.

Misalnya saat kami traveliving sebulan di Yogyakarta. Meski kami bawa mobil, kadang-kadang saya jalan-jalan bersama si sulung naik trasportasi umum yang pastinya harus disertai kombo berjalan kaki. Saat saya berjalan kaki di area Malioboro, saya bisa mengamati jenis manusia apa yang lalu lalang, arah tujuan manusia yang bersliweran, hubungan harga-waktu-pengunjung di Gudeg Mbah Lindhu, hingga menemukan hidden gem berupa kafe di gang semping Sosrowirjan.

Mengamati sekitar adalah manfaat jalan kaki yang selalu saya nikmati. Saat jalan kaki ke sekolah bersama anak pun saya bisa melihat denyut dan sendi kehidupan warga di sekitar sekolah si sulung. Mengetahui bahwa banyak guru sekolah si sulung yang ngekos di area tersebut. Ada juga adik-kakak yang sama-sama murid satu sekolah dan secara kebetulan sering kami lihat saat mereka berangkat sekolah.

Hal-hal lucu lainnya adalah ternyata area gang-gang pemukiman di sekitar sekolah si sulung sering dipakai untuk syuting. Belakangan saya baru tahu (lebih tepatnya akhirnya tahu karena ngintip hehe) bahwa itu adalah syuting sinetron “Tukang Ojeg Pengkolan”. Kami juga melewati kandang ayam yang terkadang ayamnya sudah bersliweran serta kandang yang berisi musang yang ditangkap warga dan sepertinya kemudian dipelihara.

Begitulah manfaat jalan kaki ke sekolah bersama anak yang benar-benar saya nikmati di tiap harinya. Alih-alih tertekan karena harus sudah bersiap sejak pagi, saya malah menyambut dengan sukacita karena bisa merasakan banyak hal dengan hanya jalan kaki ke sekolah mengiringi si sulung.


Mood yang stabil, bonding bersama anak, aktifitas fisik ringan, terpapar sinar matahari, hingga mengamati hal unik di sekitar. Hampir tidak ada deh alasan tidak senang ikut jalan kaki ke sekolah bersama anak :)

Ke Taman Literasi Menggunakan Transportasi Umum di Jakarta bersama 3 Anak

19 komentar
Meski keluarga kami memiliki mobil, berwisata dengan menggunakan transportasi umum adalah hobi saya. Lebih tepatnya saya menaruh renjana perihal transportasi umum terutama di Jakarta.

taman literasi

Jaman awal baru nikah, dengan senang hati saya menggunakan transportasi umum ke RSCM dari rumah kami di Lebak Bulus demi janjian ke PRJ setelah suami selesai bertugas sebagai seorang residen. Saya denga semangat mencari tahu alternatif transportasi umum menuju ke sana. Mulai dari angkot, bus kota, hingga Trans Jakarta semua dijajal.

Saat kami baru mempunyai satu anak, berpelesir menggunakan transportasi umum juga masih cukup mudah. Apalagi pada tahun 2018 kami kerap keluar kota traveliving . Mencari tahu berbagai rute  transportasi umum di luar kota juga dengan senang hati saya jabanin. Pun, anak pertama kami merupakan anak teladan yang sangat mudah diajak kemana-mana serta tidak rewel.

Pandemi pun tiba, tahu-tahu setelah pandemi usai anak kami sudah tiga orang. Saya dan anak-anak  biasanya jalan-jalan di dalam kota menggunakan mobil. Sampai suatu saat saya ingin mengajak anak-anak untuk mengunjungi Taman Literasi Martha Tiahahu di bilangan Blok M.

Blok M? Itu kan titik pertemuan transportasi umum. Kayaknya menarik nih kalau ke Taman Literasi naik transportasi umum!

Meski bersama 3 anak dan harus bawa satu kereta kembar. Bisakah?

Kegalauan sebelum menyusun rencana perjalanan

taman literasi

Sebenarnya, keinginan mengunjungi taman literasi bersama anak (-anak) menggunakan transportasi umum sudah saya utarakan kepada suami seminggu sebelumnya. Rencananya sih hari Jumat karena pada hari itu si sulung pulang cepat. Lebih cepat dari anak SD, pukul 9.40 hehe.

Namun kepastian rencana tidak muncul jua hingga h-1 perjalanan. Lebih tepatnya malam sebelum esoknya berangkat. Kenapa? Kok terkesan bimbang ya, padahal harusnya jalan-jalan dengan anak terlebih menggunakan transportasi umum harus direncanakan dengan matang.

Kegalauan 1: Berdua dengan sulung atau bawa semua anak

Karena tujuannya adalah taman literasi, sempat kepikiran saya cuma ingin berdua quality time bersama si sulung menggunakan transportasi umum di Jakarta. Saya merasa bawa anak tengah dan anak bungsu tidak akan terasa chill karena mereka tidak bisa berlama-lama santai dibacakan buku.

Pengennya sih sulung sama saya baca buku masing-masing. Keputusan awal sempat ingin berdua saja pergi. Lumayan sudah lama tidak berduaan saja dengan si sulung.

Ternyata menjelang hari perjalanan, keputusan berubah drastis karena ternyata si sulung libur di hari Jumat karena guru-guru persiapan pembagian rapor tengah semester. Rencana perjalanan pun berubah dengan membawa ketiga anak turut serta ke taman literasi menggunakan transportasi umum di Jakarta. Kita bisa berangkat lebih pagi sehingga perjalanan lebih terasa santai.

Kegalauan 2: Bawa stroller single apa kembar

taman literasi
Kegalauan berikutnya yang membuat saya condong tidak membawa anak tengah dan bungsu adalah perihal bawa stroller karena jarak usia keduanya hanya terpaut 1,5 tahun, yaitu 2 tahun 3,5 tahun.

Opsi pertama adalah hanya membawa stroller single. Namun itu artinya saya harus standby bawa baby carrier saat sang kakak capek berjalan atau ingin istirahat tidur.

Opsi kedua adalah membawa kereta kembar. Sebenarnya mobilitas paling enak membawa twin stroller alias kereta kembar samping-sampingan. Namun, ada 3 aspek yang saya khawatirkan: perjalanan di pinggir jalan, naik MRT, dan naik Trans Jakarta.

Naik MRT paling tidak perlu dikhawatirkan karena saya tahu persis ada akses lift naik turun peron sehingga memudahkan mobilisasi saat menggunakan stroller kembar.

Masalah berikutnya adalah perjalan di pinggir jalan. Saya skeptis benar dengan kondisi trotoar di Jakarta, sudah jelas tidak ramah pejalan kaki. Kalaupun ada, ukurannya pasti kecil dan tidak muat jika harus menggunakan twin stroller. Untuk mengevaluasinya, saya menggunakan fitur Google Map Street View untuk mengetahui kondisi trotoar. Alhamdulillah, sepanjang pemantauan, trotoar di bawah peron MRT Blok M lebar dan enak untuk mendorong stroller kembar. Pun, lokasi taman literasi benar-benar tepat disamping peron stasiun MRT Blok M.

Akhirnya saya berangsur-angsur yakin pada pilihan membawa stroller kembar karena menurut saya opsi itu paling dinamis dan membutuhkan tenaga tidak sebanyak jika harus (hampir) full menggendong si bungsu di gendongan.

Kegalauan 3: Naik Trans Jakarta atau tidak

taman literasi
Sumber: TransJakarta

Kegalauan ketiga yang berkaitan dengan kegalauan kedua, jika saya membawa twin stroller maka bagaimana saya naik-turun bus?

Saya tau persis ada bus Trans Jakarta jurusan Blok M - Pondok Labu. Dulunya itu merupakan Kopaja 64 yang sering saya gunakan beberapa tahun silam. Bus ini lah yang akan kami gunakan dalam perjalanan.

Tantangannya adalah bagaimana kami naik-turun bus Trans Jakarta dengan hambatan adanya 2 anak duduk di kereta kembar?

Saya tahu betul, tidak semua trayek Trans Jakarta yang naiknya menggunakan halte bus yang platformnya naik sehingga rata dengan pijakan di dalam bus. Untuk memastikan ketidakyakinan saya, maka saya kembali menggunakan Google Map dengan cara mencari tahu letak halte bus beserta trayek bus yang melewatinya. Tepat dugaan saya, jenis halte tersebut tidak tersedia di halte yang akan saya naiki, alias harus naik manual dari aspal jalanan.

Terbersit di benak saya untuk menurunkan anak-anak terlebih dahulu dari stroller dan kemudian mengangkat stroller dan menuntun anak-anak naik. Namun saya merasa skenario tersebut tidak mumpuno karena memakan waktu lama, ribet, dan mobilitas yang tidak baik. Anak-anak rawan tercecer!


Malam sebelum perjalanan, akhirnya saya membulatkan niat agar kami pulang pergi menggunakan MRT saja yang pasti lebih gampang naik-turunnya.

Menyusun rencana perjalanan


Asli, rencana perjalanan baru disusun malam sebelum perjalanan haha. All hail impulsivity!

Sembari menemani anak tidur, saya sibuk melihat Google Map untuk memastikan gambaran jalanan, menentukan lokasi pemberhentian halte MRT dan Trans Jakarta, hingga mencari tempat makan siang yang nyaman buat anak tapi dalam jangkauan jalan kaki dari taman literasi.


Akhirnya saya memutuskan untuk memarkir mobil di RS Setia Mitra Fatmawati, tempat suami saya praktik. Yuk, yang mau ke dokter Ortopedi bisa lho konsultasi sama suami tiap Senin dan Jumat sore atau Sabtu pagi (lha, promosi)!

taman literasi

Kemudian dari sana kami naik MRT melalui stasiun Cipete hingga Blok M. Karena waktu panjang, saya memutuskan untuk cuci mata di supermarket Papaya Blok M, kemudian ke taman literasi sembari menyusuri “Little Tokyo” Blok M. Jam makan siang, baru kami makan di Twin House yang terletak di seberang Taman Literasi dan sebelah tempat nongkrong kekinian MBLOC.

taman literasi

Meski memutuskan pulang naik MRT, tapi saya tetap membuat rencana (cadangan) impulsif naik Trans Jakarta dengan naik dari titik halte di depan persis Taman Literasi. Alih-alih berhenti di halte Ciremai yang berlokasi di depan RS Setia Mitra, saya memutuskan untuk berhenti di halte Stasiun Cipete karena akan lebih mudah menyeberang ke sisi RS Setia Mitra dengan menggunakan lift Stasiun Cipete.

Setelah mengkomunikasikan rencana ini ke suami, ia menolak (sebagian)!

“Kenapa harus mutar-mutar dulu ke Papaya sih? Kamu bawa anak-anak lho, standarnya harus dikurangi.”, keluh suami.

Suami cuma mengizinkan agar kami langsung menuju Taman Literasi, pergi makan siang, dan segera kembali.

Apakah perjalanan lancar sesuai yang direncanakan dan disiapkan?

Berwisatan ke Taman Literasi membawa 3 anak dengan menggunakan transportasi umum di Jakarta

taman literasi
Sesuai rencana, kami berangkat dari rumah jam 9 pagi. Jalanan lengang dan kebetulan mobil saya genap, jadi sesuai dengan tanggal genap karena harus melewati jalur ganjil genap Fatmawati. Parkiran mobil di RS Setia Mitra juga masih lengang sehingga saya dengan mudahnya memarkirkan mobil.

Setelah menaikkan dua anak di stroller kembar, saya mendorong stroller dengan si sulung mengiringi saya. Saya di sisi luar, sulung di sisi dalam. Pada awalnya, perjalanan mendorong stroller di trotoar cukup nyaman karena trotoar yang cukup lebar. Namun mendekati stasiun Cipete, trotoar mengecil dan banyak tiang-tiang sehingga beberapa kali saya harus turun dari trotoar dan mendorong stroller di jalur sepeda.

Alhamdulillah perjalanan aman dan kami mampir dulu ke Holland Bakery yang berlokasi di bawah stasiun Cipete untuk membeli roti bekal anak-anak. Lokasi lift Stasiun Cipete MRT berada di ujung utara sehingga kami harus ekstra jalan.

“Mau tujuan kemana bu? Mau jalan–jalan ya?”, tanya beberapa petugas di Stasiun Cipete dengan ramah. 
taman literasi

Mungkin karena melihat suasana kami mode pinik dengan 3 anak bersama. Hasan benar-benar membantu kesuksesan perjalanan. Selain dia mandiri tapping kartu sendiri, ia juga membantu menekan tombol lift dan menjaga adik-adiknya.

Salut sama petugas-petugas Stasiun MRT. Mereka ramah, informatif, bahkan petugas yang ada di peron membantu saya mendorong stroller kembar masuk ke MRT karena sempat seret. Kami pun turun di Stasiun Blok M yang hanya berjarak 3 stasiun dari Stasiun Cipete. Setelah tapping, ternyata tarifnya Rp 5.500 per-orang.

Setelah turun menggunakan lift, ternyata kami benar-benar berada di depan Taman Literasi! Benar kata suami, ini mah tidak usah ribet-ribet mutar ke Supermarket Papaya yang berlokasi di Selatan Taman Literasi. Kami pun segera mengeksplorasi Taman Literasi

Taman Literasi Martha Tiahahu

taman literasi

Taman Literasi Martha Tiahahu adalah taman lama yang direvitasliasi. Bentuk utamanya adalah Rotunda (bentuk melingkar) dimana sisinya dibagi menjadi 4 bilik utama. Di atas keempat bilik tersebut balkon yang bisa dinaiki, cocok untuk menikmati suasana. Di tengah Rotunda ada kolam dan panggung yang berpotensial diadakan banyak acara. Di luar Rotunda namun tetap di dalam komplek adalah area terbuka hijau dengan satu area mini dimana terdapat instalasi buat anak beserta mini wall-climbing.

taman literasi

Intinya, Taman Literasi Martha Tiahahu ini benar-benar ditujukan untuk membaca atau kegiatan serupa. Selain itu, relatif tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan.

taman literasi

Sayangnya, entah masih baru atau bagaimana, Taman Literasi ini masih kurang sponsor. Dari 4 bilik, hanya ada satu bilik aktif digunakan kegiatan membaca. Bilik kedua rencana digunakan lokasi co-working, bilik ketiga adalah bilik sponsor dengan hanya ada satu rak buku kecil, dan bilik keempat yang difungsikan sebagai sentra vaksinasi.

taman literasi
Bilik pertama: Lounge membaca

taman literasi
Bilik kedua: Coworking

taman literasi
Bilik ketiga: sepi sponsor
taman literasi
Bilik keempat: Sentra vaksinasi

Kami pun menghabiskan waktu di bilik membaca. Menurut saya, bilik ini nyaman sekali untuk membaca. Sepanjang dinding ada rak buku sampai langit-langit dengan koleksi buku yang lumayan buat dewasa dan anak-anak. Ada area lesehan dengan bean bag, meja-kursi dimana banyak bekerja menggunakan laptop, hingga beberapa jajaran sofa.

Si sulung mengambil buku Dinosaurus dan membacanya sambil minta saya menemaninya untuk berdiskusi. Satu buku ia lahap habis, sementara para 2 gadis asik main di bean bag setelah bosan baca buku dan menyusun balik.

Setelah selesai membaca buku, jam makan siang hampir tiba dan kami bergegas di Twin House sebelum kehabisan tempat.

Twin House

taman literasi

Ternyata hanya sesederhana menyeberang simpang V saja sudah sampai Twin House. Saya mendorong stroller kembar sembari menginstruksikan Hasan untuk memegang stroller saat menyeberang.

Twin House yang memiliki aksen interior kuning ini merupakan cabang dari Cipete. Meski areanya lebih kecil dari cabang Cipete, terdiri dari indoor dan outdoor. Meja indoor sedikit sekali dan saat kami datang semua meja indoor sudah direservasi kecuali satu area. Rejeki kami!

taman literasi

Saya memesan spaghetti carbonara untuk para gadis dan nasi ayam goreng madu untuk si sulung. Saya? Makan sisa makan mereka saja hehe. Selain untuk berhemat, saya lagi tidak ingin mengeluarkan uang untuk (terlalu) banyak makan karbohidrat.

Tidak ada makanan yang tidak enak! Si sulung senang sekali dengan makanannya sehingga ia menghabiskan satu piring padahal itu porsi dewasa. Ayam goreng yang sudah bersalut dengan saus madu sangat cocok dipadu dengan saus tartar dan bayam crispy. Begitu pula dengan spagettinya, saus creamynya top! Lembut, silky, dan umami. Proporsionalnya sempurna banget. Para gadis juga lahap sekali makannya.

Setelah makan, kami pun bergegas pulang karena si sulung sudah menagih (jatah) bermain tab di rumah 😅.

Perjalanan Pulang

taman literasi

Dari saat merencanakan perjalanan, 80% keputusan adalah kami pulang menggunakan MRT. Ternyata opsi yang saya pilih adalah sisa 20% itu.

Saat menyeberang kembali menuju Taman Literasi, tiba-tiba Bus Trans Jakarta lewat di halte pemberhentian.

"Hasan mau naik bus aja ga pulang?" Tanya saya pelan.
"Mau banget!" Pungkas Hasan.

Akhirnya kami pun menunggu di halte sambil otak saya berputar menyiasati bagaimana mengangkut stroller kembar dan para gadis di atasnya. Setelah 5 menit menunggu, bus Trans Jakarta jurusan Pondok Labu - Blok M datang.

taman literasi
Untungnya, ini adalah bus besar dengan pintu tengah lebar dan tidak ada tangga. Setelah pintu bus terbuka, tanpa tedeng aling-aling saya langsung mengangkat stroller kembar beserta 2 anak di atasnya.

Itulah ibu-ibu, pentingnya strength training supaya form benar saat mengangkat beban berat seperti ini haha 😁.

Kami duduk di kursi dengan tanda penumpang berkursi roda. Saya sempat celingukan mencari tahu dimana saya harus tapping kartu e-money. Ternyata ada di depan di samping supir! Setelah mengerem stroller dan berpesan ke sulung kalau saya mau nitip adik-adiknya, dengan lari kecil saya bergegas ke depan dan tapping 2 kali. Rp 3.500 saja per orang dari ujung blok M ke Pondok Labu, wow!

Alhamdulillah lalu lintas lancar, para gadis pun tertidur di stroller. Mendekati Stasiun Cipete, saya dan si sulung bersiap-siap turun. Karena sudah pernah menaikkan stroller kembar beserta anak-anaknya, pede donk saya menurunkan stroller.

Sampai saya turun dan melihat kondisi jalan....

taman literasi

Yak! trotoar di depan kami sempit dengan pembatas pagar terpampang nyata.
Taruh stroller di trotoar 👎
Taruh stroller di atas aspal jalan 👎

Akhirnya saya harus menggotong stroller kembar beserta dua anak tertidur di atasnya ekstra jalan 4 meter! Ada sisi cabang jalan sehingga saya bisa menaruh stroller di atas aspal.

Perjalanan setelahnya alhamdulillah gampang-gampang saja. Kami menyeberang jalan dengan cara naik lift via Stasiun Cipete, mendorong stroller kembali menuju mobil, memindahkan anak-anak ke mobil, dan voila, kami sampai di rumah.

Berhubung kami pulang setelah makan dan jam tidur siang para gadis, sepanjang perjalanan pulang saya bisa santai mengobrol bersama si sulung. Anak tengah bangun saat dipindahkan ke mobil sementara anak bungsu masih tidur kelelahan bahkan saat mobil sudah berhenti di garasi. Fyuh!

Apakah saya kapok?

Oh, tentu tidak! Soalnya seru banget hehe😁

Kebetulan saya memang tipe penyuka eksplorasi kota dan penggemar transportasi umum. Jalan sendiri, bersama satu anak, atau 3 anak sekaligus tetap menyenangkan. Meski terdengar repot, dari awal saya memang tidak ada kepikiran mengajak ART yang bekerja di rumah untuk turut serta dengan tujuan "ikut bantu-bantu". Entahlah, saya tipe penyendiri yang tidak ingin terlibat sosialisasi dengan orang selain keluarga saat santai dan ingin jalan-jalan seperti ini. 

Jalan-jalan bersama anak juga diperlukan kemampuan untuk bersikap taktis dan adaptif jika hal-hal di luar rencana terjadi. Harus bersikap apa saat stroller kembar tidak muat di trotoar. Harus bagaimana jika ternyata harus terpaksa mengangkat beban berat. Intinya, bersiap dengan kemungkinan tidak enak, hehe.

So kids, let's another story of travelling!

4 Ide Main Game sebagai Bonding dengan Anak

14 komentar
Sebagai seorang dokter bedah, jadwal suami tergolong padat. Kalau orang-orang kantoran normalnya bisa pulang saat jam kantor usai, standar suami pulang kantor adalah jam setengah 9 malam. Itu normal ya, karena sering juga pulang diatas jam 10 malam karena jadwal operasi. Terkadang malah tidak pulang sama sekali karena operasi baru selesai jam 1 dini hari dan ia memlih tidur di rumah sakit saja. Kalau sore hari suami sudah menampakkan batang hidung di rumah, we call it bonus! Ya, karena memang sejarang itu dan kita serumah bakal bahagia banget karena bisa menghabiskan waktu bareng-bareng lebih lama.

bonding dengan anak

Rutinitas sibuk bekerja di luar rumah tidak hanya di hari kerja saja, tapi (sangat) sering ada di akhir pekan. Selain suami memang memiliki jadwal praktik hari sabtu pagi, sering juga ia tiba-tiba memiliki jadwal rapat, seminar, hingga operasi (lagi!).

Banyak ya, hehe. Padahal suami bukan tipe yang ambis. Tidak ambis aja jadwalnya seperti itu.

Pasalnya, di waktu luangnya yang sangat sedikit itu, ia harus membaginya untuk diri sendiri dan keluarga. Waktu untuk diri sendiri juga termasuk istirahat karena bisa dinilai sendiri, waktu istirahat suami di hari kerja sangat sedikit. Waktu pribadinya yang lain adalah “me-time”.

Meski suami ingin me-time, tapi juga dia harus membagi potongan lain waktu luangnya buat keluarga, termasuk bersama anak. Bonding dengan anak itu sangat penting, begitu pengasuhan anak oleh sosok bapak.

Pentingnya bonding dengan anak

bonding dengan anak
Bonding time atau bonding dengan anakadalah interaksi antara orangtua dan anak untuk menciptakan keterikatan baik secara fisik dan emosional. Ikatan yang kuat antara orangtua dan anak dapat menumbuhkan ikatan batin dan rasa aman yang membuat anak memiliki harga diri yang positif.

Orangtua yang hadir menemani anak dalam beraktivitas dapat membuat anak merasa dicintai, dihargai, dan diperhatikan menurut Rosalina Verauli, M.Psi yang merupakan psikologi anak. Bonding dengan anak tidak bisa dianggap remeh karena berpartisipasi dalam tumbuh kembang anak. Beberapa manfaat dari bonding dengan anak berupa meningkatkan keterampilan, kemampuan komunikasi, hingga kemampuan emosi anak.

Saat me-time, suami hobinya main game konsol atau komputer. Bermain bersama anak adalah salah satu cara bonding dengan anak. Kenapa tidak sekaligus saja me-time dan bonding dengan anak? Jenis permainan apa saja yang bisa dijadikan bonding dengan anak?

Jenis permainan sebagai bonding dengan anak

Bermain sering dianggap sepele, bahkan sering dianggap bukan belajar dan hanya dinilai sekadar refreshing belaka. Padahal, banyak sekali perkembangan anak yang terjadi hanya dengan bermain. Apalagi jika bermain dengan orangtuanya, maka selain belajar dan refreshing, sang anak juga merasa lebih dekat dengan orangtuanya.

Bermain bersama anak juga merupakan bagian dari parenting. Banyak jenis permainan yang bisa para orangtua mainkan bersama sesuai dengan kebiasaan dan kesenangan keluarga masing-masing.

1. Bermain game fisik

bonding dengan anak
Main game fisik rasa-rasanya paling praktis dan tidak butuh persiapan banyak. Eits, jangan salah sangka dulu. Bermain game fisik bersama anak tidak melulu berolahraga bersama anak. Main gendong-gendongan, main gobak sodor, dan segala kontak fisik lainnya antara orangtua dan anak merupakan salah satu main game sebagai bonding dengan anak.

Biasanya kalau suami pulang kerja, anak-anak langsung berhamburan minta digendong. Yang gadis-gadis ini juga pada hobi minta duduk di pundak babehnya atau minta digendong lempar-tangkap. Bisa juga main gelantungan dan gobak sodor. Kalau bermain game fisik seperti ini sih saya tidak sanggup, hehe.

Kalau suami sedang ada waktu senggang, baru deh ia berolahraga bersama anak. Biasanya sepedaan bersama si sulung. Pernah suatu waktu si sulung merengek ke saya menanyakan kapan babehnya kapan pulang karena ingin sepedaan bersama.

“Babeh lagi kerja, nanti ya pas sabtu-minggu sepedaan sama babeh. Kan biasanya juga hari sekolah gini Hasan sepedaan sama mama.” Terang saya

“Ga mau, sepedaan sama mama ga seru, ga bisa jauh-jauh dan kencang-kencang.” Tandas Hasan

2. Berman board game

Berbeda dengan saya, suami malah tidak hobi bermain board game. Jadi, aktivitas bonding bersama anak dengan cara bermain board game biasanya dilakukan bersama saya. Board game yang biasa kami mainkan cukup standar, UNO kartu dan UNO stack. Hmm, sebenarnya saya ingin bermain board game yang lebih variatif bersama si sulung. Namun apa daya, adik-adik gadisnya yang berusia 3.5 tahun dan 2 tahun sudah barang pasti tidak sabar buat mengacak-acak. Saat saya bermain game memori tutup botol bersama si tengah saja, si bungsu langsung tidak sabar buat mengacak-acak urutan tutup botolnya.

Hasan juga senang bermain puzzle. Biasanya sih dia main sendiri, namun ia kerap mengajak saya menyusun puzzle bersama untuk puzzle baru yang baru dibeli dan ia belum familiar. Sejujurnya sih saya ingin banget konsen main puzzle barang si sulung. Apa daya, adik-adik gadisnya kerap meneror saya. Alhasil saya benar-benar main kucing-kucingan, curi-curi waktu dan posisi agar bisa main puzzle barang si sulung.

Sudahlah, untuk saat ini bermain aneka board game yang lain saya percayakan si sulung bermain dengan paman-pamannya saja.

3. Bermain pretend play

Imajinasi anak-anak melebihi orang dewasa. Dengan ikut terjun ke dunia imajinasi anak melalui pretend play, orangtua bisa membangun bonding dengan anak sekaligus meningkatkan kemampuan komunikasi, imajinasi, dan tingkat kreativitas anak.

Si sulung dan si tengah sedang dalam fase senang bermain pretend play. Biasanya mereka main berdua. Namun, tidak jarang baik si sulung atau si tengah mengajak saya bermain pura-pura. Entah bermain jual-jualan atau masak-masakan.

4. Bermain game konsol dan PC

bonding dengan anak

Nah, ini adalah jenis main game yang paling suami saya gemari. Mau bukti? Lihat saja 3 laptop kami di rumah ini semuanya adalah gaming laptop! Saya sih tidak masalah, soalnya saya pribadi sebenarnya hobi ngegame juga, hehe. Sebenarnya sih saya menginginkan laptop ukuran 13” dengan bobot sangat ringan agar enak dibawa tiap saya mobile. Tapi sudahlah, saya masih bercita-cita melakukan hal “powerful” dengan laptop seperti coding atau menjalankan aplikasi berat lainnya. Barang pasti kegiatan ini akan lebih nyaman menggunakan laptop gamiing karena speknya saja tinggi.

Baik suami dan saya hobi bermian game konsol dan PC bersama si sulung. Si sulung juga jadi menagih jatah main game tiap libur tiba. Saya dan Hasan hobi kompetisi Mario Kart di Nintendo Switch. Asli, seru banget. Suami dan Hasan main Mario lawan-lawanan (entah apa nama asli game ini). Tidak selalu main game bersama, “mengomentari” Hasan yang main game juga sering dilakukan. Misalnya mengobrol karakter-karakter Pokemon.

Tentunya pilihan bermain game konsol dan PC bukan piilihan semua orangtua. Pun, jika para orangtua termasuk pihak yang memperbolehkan anak bermain game konsol dan PC, pastikan anak bermain game secukupnya saja. Disiplinkan anak dengan cara memberikan jadwal kapan saja ia boleh bermain game konsol dan PC.

Bermain game konsol dan PC bersama anak merupakan pilihan paling mahal dan menyiapkan persiapan yang lebih panjang ketimbang 2 jenis bermain bersama sebelumnya.

Pasalnya, harga konsol atau PC saja sudah berapa, hehe. Tidak hanya konsolnya, pastikan juga kita menggunakan konektor andal yang menghubungkan konsol ke TV. Asli ya, kalau konektor rusak rasanya tidak enak. Entah gambarnya jadi rusak warna atau bahkan tidak muncul sama sekali di layar kaca. Kayaknya suami sudah beberapa kali ganti kabel konektor deh.

Samai akhirnya kami mencoba sebuah kabel konektor dan puas banget sama performanya.

Kabel Lindy sebagai pilihan kabel HDMI

bonding dengan anak


“Aku baru mindahin Switch ke TV atas nih, harus cari kabel konektor baru deh, soalnya yang kegantung disini ga berfungsi.” Ujar suami suatu ketika.

Untungnya, di saat suami bertanya, saya baru ingat bahwa saya punya kabel konektor HDMI dari Lindy yang bisa didapatkan di Official Store Lindy di Tokopedia sekali pun.

bonding dengan anak

Lindy sebagai brand konektor kabel terdepan tidak main-main dalam mendesain produk sesuai dengan kebutuhan. ada 4 kabel High Speed HDMI milik Lindy:
  1. Gold Line
  2. Chromo Line
  3. Anthra Line
  4. Black Line
Nah, kabel konektor Lindy yang kami miliki merupakan tipe Chrono Line. Kabel konektor Chromo Line ini memuaskan sekali baik secara desain dan performa. Bentuk konektornya terasa mewah dengan sentuhan warna emas. Secara kegunaan juga memang ditujukan untuk penggunaan prosumer dan kebutuhan komersial dimana harus dipastikan baik desain dan performa sama-sama estetik dan berteknologi tinggi. 

bonding dengan anak

Penggunaan High Speed HDMI Lindy ini benar-benar mulus tanpa halangan. Mudah dicolokkan baik di konsol Nintendo Switch dan Televisi. Panjang kabel yang 2M juga ideal untuk penggunaan rumah tangga. Sejauh ini kami puas dan tidak ada keluhan.

Main game bersama = bonding dengan anak

Jadwal suami yang padat bukanlah penghalang untuk membangun kedekatan dengan anak-anak dengan cara bonding time. Main game bersama adalah salah satu ikhtiar kami agar anak-anak lebih terkoneksi dengan kami sekaligus refreshing mereka (dan orangtuanya).

Karena sekarang sudah ada High Speed HDMI mumpuni, kini kami bisa leyeh-leyeh di kamar sambil lomba di Mario Kart.

Kenapa Si Kembar dan Tantangan Profesor Haydar Cocok Dibaca Generasi Muda Islam

15 komentar
“Ramadan besok, kami ga berdua nggak puasa, ya.”

Buku apa menurutmu yang sekaligus cocok dibaca oleh anak-anak hingga remaja bahkan para orangtua sekali pun?

Tenang saja, no spoiler alert.

si kembar dan tantangan profesor haydar

Awal bulan puasa 2022, seorang teman mempromosikan buku karangannya yang berjudul Si Kembar dan Tantangan Profesor Haydar melalui berbagai kanal media sosial. Katanya sih merupakan buku yang cocok dibaca menyambut bulan Ramadhan. Target pembaca bisa dari anak SD yang sudah lancar membaca sampai orang dewasa. Saya pun tertarik membeli karena sangat ingin mendukung teman.

Karena kecepatan membaca saya tidak sebanding dengan banyak buku yang belum dibaca, alhasil buku tersebut baru sempat saya baca di Bulan September ini, itu pun menjadi buku mobil (buku yang saya taruh di mobil, jadi kalau lagi menunggu atau macet, saya bisa baca buku).

Ternyata Si Kembar dan Tantangan Profesor Haydar tidak hanya sebuah buku yang menyasar pembaca muda. Saya sebagai orang dewasa sekaligus Ibu dari 3 anak cukup tertohok dan menjadikan buku tersebut refleksi saya termasuk hubungan antara orang tua dan anak.

Tentu saya berkata seperti ini karena ada alasan yang konkrit

Tentang “Si kembar dan Tantangan Profesor Haydar?”

si kembar dan tantangan profesor haydar

Buku ini menceritakan tentang sepasang anak kembar beda kelamin berusia 11 tahun, Khalid dan Aya, yang menolak untuk berpuasa di Ramadan kali ini dengan argumen puasa adalah sebuah kegiatan yang melanggar hak asasi manusia. Argumen yang terkesan liar ini ditemukan oleh mereka di forum internet dan kemudian mereka amini.

Sontak orangtua mereka syok. Meski dirayu dan diiming-imingi, si kembar tetap tidak luruh dari pendapat mereka. Akhirnya orangtua mereka menyerah dan memutuskan untuk membawa si kembar ke rumah Profesor Haydar, kakek mereka.

Berbeda dengan respon orangtua, Profesor Haydar memperbolehkan mereka untuk tidak berpuasa di Bulan Ramadhan dengan satu syarat: Si kembar dapat membuktikan kebenaran argumen bahwa puasa melanggar hak asasi manusia.

Apakah si kembar berhasil?

Pembelajaran penting dari “Si Kembar dan Tantangan Profesor Haydar”

si kembar dan tantangan profesor haydar

Menariknya, buku “Si Kembar dan Tantangan Profesor Haydar” ini tidak hanya menghadirkan kontradiksi dan plot yang asik untuk dibaca. Semakin dibaca, semakin banyak pembelajaran yang dapat pembaca muda ambil, bahkan termasuk bagi para orangtua yang membacanya.

Apa saja pembelajaran yang dapat diambil dengan membaca “Si Kembar dan Tantangan Profesor Haydar?”

1. Mendidik berpikir kritis

Adalah hal yang lumrah bagi manusia untuk terus mempertanyakan suatu sebab, atau yang dikenal dengan berpikir kritis. Anak-anak memiliki fitrah berpikir kritis semenjak dini, janganlah kita sebagai orangtua mematikan kekritisan dengan cara memberikan larangan tanpa menjelaskan secara gamblang alasan dibalik itu.

Karakter Profesor Haydar dan Ibu si kembar bertolak belakang, termasuk dalam menanggapi keinginan si kembar untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan. Alih-alih menyuruh si kembar untuk berpuasa dengan hanya menjelaskan sebagai “kewajiban”, Profesor Haydar mengajak si kembar untuk berpikir kritis, mencari tahu kenapa Allah menyuruh umatnya untuk berpuasa dan membuktikan "kebenaran" argumen mereka.

Sang kakek menantang si kembar dengan open question dan meminta mereka untuk mencari bahan untuk memvalidasi pernyataan bahwa puasa telah melanggar hak asasi manusia. Syarat Profesor Haydar hanya satu: argumen yang dibawa si kembar harus berdasarkan sumber yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan.

2. Bijak dalam berinternet

si kembar dan tantangan profesor haydar

Bebeda dengna generasi kita para orang tua saat masih kecil, para generasi alpha sangat dekat dengan dunia digital. Mereka akan dengan mudahnya mencari tahu apapun semudah mengetik kata kunci di keyboard.

Namun, kemudahan di dunia digital ini bagai pedang bermata dua. Sisi positifnya, hampir semua hal dapat diperoleh dengan mudah dan cepat. Sisi negatifnya, kita kesulitan menyaring mana informasi yang sembarangan dan mana informasi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Disini, Profesor Haydar membekali si kembar buku panduan bijak berinternet saat mengetahui darimana cucu-cucunya mendapat argumen bahwa puasa melanggar hak asasi manusia.

Beretika dan bijak dalam berinternet adalah kemampuan yang harus dimiliki manusia zaman modern, terutama oleh generasi alpha dimana sebagian besar mereka masih belum dewasa. Bahkan, beberapa belum mencapai akil balig. Tentu keadaan ini membuat mereka gampang menyerap apapun dari luar dengan saringan yang minimal. Pembaca muda dapat belajar bagaimana bijak berinternet melalui “Si Kembar dan Tantangan Profesor Haydar”.

3. Belajar bagaimana berpuasa dengan benar

Dalam benak hati, mungkin si kembar menafikan argumen bahwa puasa melanggar hak asasi manusia. Ada banyak faktor yang memicu mereka menyetujui argumen tersebut, salah satunya adalah sulitnya mereka berpuasa karena kerap merasa lemas dan lapar saat berpuasa.

Setelah digali, ternyata di kembar dan keluarga berpuasa dengan cara yang salah. Padahal, disarankan untuk makan kurma dengan jumlah ganjil saat sahur dan berbuka puasa. Memilih makanan sahur yang salah bisa menyebabkan badan lemas dan mudah lapar.

Saat berbuka puasa pun disunnahkan mengkonsumsi kurma terlebih dahulu untuk menghindari lonjakan glukosa di dalam tubuh. Ini sudah ada penelitiannya, lho! Berbuka puasa dengan cara yang salah malah dapat mengacaukan metabolisme tubuh.

4. Memunculkan semangat untuk menuntut ilmu agama

Seberapa sering kamu menyisihkan waktumu untuk menuntut ilmu agama padahal itu adalah panduan hidupmu dan akan memberikan manfaat saat waktu kita sudah usai?

Pemahaman kita yang salah akan hidup disebabkan oleh minimnya ilmu agama yang kita pahami. Sama seperti si kembar. Anggapan berpuasa merupakan pelanggaran HAM berangkat dari ketidakfahaman mengenai hikmah berpuasa.

Setelah perlahan mereka memahami puasa dari sudut agama, mereka pun merasa tidak tahu apa-apa soal agama. Buku “Si Kembar dan Tantangan Profesor Haydar” benar-benar menuuntun sisi kritis anak-anak dengan berbagai rentetat mengapa dan mengapa sehingga pembaca pun menjadi tertarik pula menuntut ilmu agama.

Tidak hanya untuk kebutuhan pribadi, secara tidak langsung si kembar ingin mengajak ayah dan ibu mereka untuk bersama-sama menuntut ilmu agama karena menyadari betapa pentingnya.

5. Berkomunikasi efektif

si kembar dan tantangan profesor haydar

Komunikasi efektif adalah satu skill yang harus dimiliki oleh semua orang, termasuk oleh anak-anak. Sayang banget kan kalau kita mau mengkomunikasikan hal baik kepada orang lain tapi harus mental karena kita tidak dapat berkomunikasi secara efektif.

Buku “Si Kembar dan Tantangan Profesor Haydar” akan mengajarkan pembaca bagaimana berkomunikasi efektif dari konflik antar tokoh yang terjadi. Bagaimana tipsnya?

Makanya baca donk, hehe

6. Belajar agar tidak menjadi orangtua toksik

Ini adalah poin yang menjadi refleksi saya pribadi sebagai pembaca dewasa. Lewat hubungan interpersonal antara si kembar dan orangtua, saya berusaha mengevaluasi diri sendiri. Apakah selama ini saya sudah cukup mendengarkan anak? Apakah selama ini saya tidak mengedepankan keinginan semata tanpa memperhatikan kondisi anak?

“Si Kembar dan Tantangan Profesor Haydar” sebagai sebuah buku

si kembar dan tantangan profesor haydar

Jujur saja, awalnya saya membeli buku ini karena ingin mengapresiasi hasil karya teman saya, kaka Reytia (punteun, Rey wkwk). Setelah membaca buku, opini saya sama sekali berubah. Saya merasa buku “Si Kembar dan Tantangan Profesor Haydar” ini perlu dibaca oleh generasi muda Islam juga para orangtuanya.

Gaya berceritanya yang tidak berbelit-belit dan berterus terang dengan berbagai irisan konflik interpersonal membuat buku ini cocok dibaca oleh pembaca muda termasuk anak SD yang sudah lancar membaca. Tiap bab tidak panjang dan total halaman buku ini juga sekitar 150-an lebar sehingga buku ini membuat mereka mudah mengkonsumsi serta menjadi bacaan ringan penuh kontemplasi sekaligus menjadi hiburan bagi kita yang orangtua. Bahkan bagi pembaca cepat, buku ini bisa sekali duduk saja.

Berhubung Hasan yang masih duduk di kelas 1 ini belum lancar membaca cepat, buku ini baru menjadi salah satu koleksi bukunya. Insya Allah tahun depan ia sudah bisa baca novel ini, amin.

Karena begitu terkesannya dengan “Si Kembar dan Tantangan Profesor Haydar”, saya sampai menulis tulisan ini dan mengeposnya di Instagram haha. Bahkan, saya juga memberikan ke saudara-saudara saya.

Bagaimana? Kamu juga tertarik? Bisa langsung hubungi pengarang ya, langsung googling nama Reytia. Bisa juga kontak ke saya, nanti dibantuin buat pesan.