Media Sosial, Pembunuh Utama Minat Membaca Buku

2 komentar
Media sosial (medsos) memang menarik. Jaman sekarang, apa saja bisa didapatkan dari medsos apabila kita tahu menggunakannya dengan bijak. Banyak yang bisa berkarya dan mencari nafkah darinya. Suatu wahana aktualisasi diri sekaligus ajang memperluas relasi. Facebook, Twitter, Instagram. Pengemasan media yang menarik, info-info aktual, diskusi menantang, tak jarang membuat kita untuk terus terpaku tetap menggeser, menggeser dan terus menggeser layar gawai ke bawah. Kehadiran gawai pintar turut mempermudah kita untuk mengakses medsos. Social media for everyone.


Info-info yang disajikan dari berbagai platform media sosial biasanya berbentuk singkat. Cuitan Twitter, deskripsi Instagram, status Facebook, sampai tulisan blog dan artikel yang lumayan panjang di laman web. Informasi yang dinamis cukup membuat kita untuk mendapatkan pengetahuan secara cepat dan aktual.

Tapi apakah hantaman deretan kalimat dan paragraf yang ringkas cukup membuat konsentrasi, daya tahan, dan kemampuan kita untuk membaca tulisan panjang seperti buku menggetas dan perlahan-lahan menghilang? Coba tanyakan pertanyaan ini pada diri masing-masing:
Berapa banyak buku yang kamu baca dalam setahun sebelum dan sesudah populenrnya medsos serta hadirnya era gawai pintar?
Menurut Asosiasi Psikolog Amerika, 1 dari 3 remaja Amerika tidak menikmati membaca buku. 82 persen dari siswa kelas 12 mengunjungi Facebook, Twitter dan Instagram setiapi harinya. Terjadi penurunan minat baca pada remaja tingkat akhir dari 60% menjadi 16% hanya dalam kurun tahun 1970-an ke 2016.

Studi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016 mengenai Most Literate Nations in the World menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-60 dari total 61 negara. Ini artinya minat baca masyarakat Indonesia hanya satu berbanding sepuluh ribu. Hal ini sungguh berbanding terbalik dengan jumlah pengguna internet yang mencapai separuh dari total populasi penduduk Indonesia, yakni sekitar 132,7 juta penduduk.

Banyak yang menganggap bahwa kurangnya minat membaca buku penduduk Indonesia disebabkan oleh kurangnya akses buku. Menurut saya, kurangnya minat sudah disebabkan sejak dari pendidikan rumah dan pendidikan formal sekolah. Di Amerika sebagai contoh. Buku-buku mereka sudah dikelompokkan tingkatannya dan disesuaikan dengan jenjang sekolah dan umur. Mereka juga sering ditugaskan untuk membaca sekian buku sejak dari kecil. Saat liburan musim panas dan musim dingin, kerap pula diberikan target bacaan musim panas yang nantinya akan menambah nilai rapor mereka. Padahal, Amerika sendiri hanya peringkat ke-7 dari studi Most Literate Nations in the World. Peringkat-peringkat atas ditempati oleh negara-negara Skandinavia yang sistem pendidikannya kerap mendapat pujian.

Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ditambah dengan gempuran sosial media semakin menurunkan tingkat literasi yang ada. Padahal banyak manfaat yang didapatkan dari membaca buku seperti menambah wawasan secara mendalam, menambah kosakata dan memberikan inspirasi. Selain itu, membaca buku yang memiliki tulisan panjang meningkatkan konsentrasi dan daya tahan sehingga lebih fokus. Bagi yang hobi menulis, membaca sangat meningkatkan kemampuan menulis karena membaca dan menulis bagaikan setali tiga uang. Jim Trelease pada bukunya Read-Aloud Handbook menulis tentang sebuah studi mengenai golongan mana yang menulis lebih baik. Ternyata yang rajin membaca meskipun belum pernah menulis dapat menulis lebih baik ketimbang yang sering menulis tetapi tidak membaca. Anak-anak yang berpartisipasi dalam program membaca-bebas, menulis lebih baik (Elley dan Mangubhai, 1983) dan mereka melaporkan bahwa semakin banyak mereka membaca semakin baik tulisannya (Kimberling et al., 1988). Hunting (1967) pernah melakukan riset yang menunjukkan bahwa kuantitas tulisan tidak berkaitan dengan kualitas tulisan. Banyak sekali kajian yang menunjukkan bahwa meningkatnya kuantitas tulisan tidak mempengaruhi kualitas tulisan. Kemahiran berbahasa didapatkan melalui masukan, bukan keluaran. Dari pemahaman, bukan hasil. 

Saya memiliki ketertarikan terhadap literasi semenjak kecil. Kami langganan rutin majalah Bobo dan saya rutin membaca koran. Betul-betul berkesan bagi saya, dulu tiap naik kelas saya langsung bersemangat membuka buku pelajaran Bahasa Indonesia dan saat itu langsung menamatkan semua cerpen disana. Kemudian kecewa karena cerpennya sudah habis. Keinginan pertama saya membaca Sastra muncul pada saat saya berumur 10 tahun. Buku Jamin dan Joan adalah buku sastra pertama saya. Alih-alih mendapatkan kisah anak-anak yang lucu, saya malah mendapatkan kisah tragis. Momen itu membuat saya semakin antusias berkunjung ke perpustakaan sekolah demi mencari berlian di tumpukan sekam. Beranjak besar, saya mulai rutin membaca buku setiap sebelum tidur. Hiburan apa lagi yang bisa saya dapatkan tanpa mengeluarkan usaha dan cuma modal leyeh-leyeh di kasur selain membaca buku pada zaman itu?

Namun, semua berubah saat saya mulai memasuki masa perkuliahan dimana muncul gawai bernama BlackBerry. Kemudahan berinteraksi secara maya menggantikan waktu membaca buku. Saya mulai kehilangan minat membaca. Tidak sampai disitu, muncul gempuran gawai pintar dimana mengakses sosial media semudah genggaman tangan. Terlalu banyak platform media sosial yang dieksplor. Semakin habis waktu hanya untuk melihat gawai. 

Berapa buku yang saya baca pada saat itu?

Hanya 2-3 buku pertahun.

Sungguh sedih kalau saya mengingat betapa jungkir baliknya kenyataan jika dibandingkan dengan saya di masa lampau. Kemudian saya mulai membenahi diri dan benar-benar meniatkan untuk membaca pada tahun 2018. Di awal tahun, seorang ilustrator dan influencer, Puty Puar yang juga satu almamater dengan saya menghimbau dan mengajak netizen untuk kembali kepada buku. Dia juga membagikan wallpaper yang bisa diunduh secara gratis. Saya memilih untuk menampilkan wallpaper bertulisan "Read a chapter instead". Dibanding menggeser medsos di gawai, yuk baca satu bab dulu.

Ternyata gambar itu cukup berdampak bagi saya. Tiap hendak membuka gawai saya teringat apakah saya sudah membaca buku hari ini. iOS juga mengeluarkan fitur yang melacak komposisi penggunaan gawai. Berapa jam hari ini kita membuka aplikasi sosial media, referensi dan permainan. Pada awalnya saya cukup kaget dengan hasil yang saya dapatkan. Perlahan saya mulai menurunkan waktu penggunaan aplikasi sosial media. Hanya dengan pengurangan penggunaan sosmed ternyata cukup berdampak dalam kegiatan membaca saya.

Sebagai contoh, dahulu tiap saya menidurkan anak  saya memilih untuk bermain gawai sampai ia tertidur. Keluar kamarnya, eh bermain sosmed lagi. Kapan beresnya? Kemudian hampir tiap menidurkan anak, saya  memilih meninggalkan gawai diluar kamarnya dan memilih membawa kindle. Ternyata kemajuan saya membaca sangat signifikan! Pasalnya, salah satu waktu efektif saya adalah saat menidurkan anak. Saya memilih untuk menggantikannya sebagai alokasi waktu membaca dan terbukti!

Sekarang berapa buku yang sudah saya baca untuk tahun 2018?

40-an buku dari target 36 buku yang kemudian saya naikkan menjadi 48 buku.

Saya sendiri takjub dengan perkembangan yang saya buat. Terutama jika membandingkan dengan saya di tahun lalu.

Generasi milenial, mari kita kembali ke buku dan mari kurangi menggunakan media sosial. Bisa dimulai dengan melihat berapa alokasi waktu yang kita gunakan sehari hanya untuk membuka media sosial. Bukan sama sekali tidak memakai karena toh nyatanya banyak keuntungan yang bisa kita peroleh. Tetapi kontrollah media sosialmu sebelum media sosialmu mengontrolmu!

2 komentar

  1. Ternyata adanya media sosial ini memberikan imbas pro kontra antar penggunanya ya mbak. Yg penting hrs kita garisbahawahi bahwa kita hrs bijak menggunakan media sosial dan jangan sampai menggeser aktivitas lain yg sama pentingnya. TFS mbak...inspiratif tulisannya.

    BalasHapus