Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri purwokerto. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

5 Jajanan Indonesia Warisan Kolonial

39 komentar

Berbicara soal jajanan Indonesia, saya teringat pikiran random saya tempo lalu. 

“Kok di Vietnam yang negeri Beras bisa-bisanya ada makanan khas berupa Baguette dengan isian acar sayur?”, ujar saya dalam hati sembari mengunyah dan memandang Banh Mi di tangan saya.

jajanan indonesia

Banh Mi adalah hasil dari sejarah modern Vietnam. Makanan (khas asli Vietnam) yang mendunia ini ternyata adalah bukanlah kreasi asli masyarakat Vietnam. Banh mi terdiri dari roti Baguette yang berisi acar sayuran dan dilengkapi dengan daging ayam atau sapi.

Baguette sendiri adalah roti berukuran panjang layaknya roti Hot Dog yang sering menjadi santapan orang bule, lebih tepatnya Prancis.

Tahukah kamu kalau Banh mi sendiri adalah hasil dari arogansi superioritas Prancis sebagai negara penjajah Vietnam? Masyarakat Vietnam didoktrin untuk tidak mengubah makanan Prancis hanya karena mereka tidak cukup layak untuk menyantap makanan yang sama dengan majikannya.

Ternyata, Indonesia pun memiliki problematika serupa. Banyak jajanan tradisional yang merupakan serapan dari makanan khas penjajahnya, yaitu Belanda. Tidak hanya masakan, tetapi juga camilan. Adalah mustahil rasanya jika tidak ada akulturasi makanan terjadi setelah selama tiga setengah abad Belanda bercokol di Indonesia. Masa penjajahan Belanda membawa pengaruh dalam budaya dan kuliner Indonesia sehingga tidak mengherankan bahwa ada jajanan Indonesia yang lekat dengan keseharian kita ternyata adalah hasil akulturasi dengan makanan penjajah.

Pada perjalanannya, sebuah kuliner dapat berubah dari resep aslinya karena menyesuaikan dengan kondisi, ketersediaan bahan, lidah, dan kebiasaan.

Bagaimana sejarah jajanan khas Indonesia yang ternyata merupakan akulturasi antara penjajah dan yang dijajah?

1. Kroket

jajanan indonesia

Setiap saya menonton acara masak-masak di TV, saya suka berkata di dalam hati, “wah, kok sering banget ya kontestan masak kroket?”

Kroket merupakan jajanan Indonesia yang sering ditemui di jalanan. Cemilan berupa kentang yang dihaluskan dan diisi dengan aneka sayuran, ragout, dan daging cincang ini ternyata juga bukan cemilan khas Indonesia. Cemilan Indonesia ini hasil akulturasi makanan dari Belanda. Layaknya di Indonesia, Kroket di Negara kincir angin juga merupakan jajanan pasar.

Namun, ternyata kroket pun juga bukan asli Belanda, lho! Jadi bagaimana sejarah jajanan Indonesia ini?

Resep kroket di Perancis sudah muncul sejak tahun 1691, sementara resep kroket di Belanda baru muncul pada tahun 1830-an.

Semua bermula dari seorang koki mencoba menyajikan sajian yang sekarang dikenal kroket itu kepada Raja Louis XIV. Ternyata raja malah menyukainya! Kroket berasal dari bahasa Prancis croquer yang artinya renyah. Resep asli kroket di Prancis menggunakan isian ragut seperti truffle, krim keju dan daging. Kemudian, kroket dibawa ke berbagai negara Eropa sehingga kroket juga terkenal di Belanda. Awalnya, kroket di Belanda terbuat dari ragout daging mengenyangkan sehingga disajikan sebagai lauk utama. Namun, terjadi kelangkaan makanan terutama daging saat perang dunia ke-2 meletus. Pada saat itu komoditas yang banyak tersedia adalah kentang sehinga kroket dikreasikan menjadi makanan ringan dengan komposisi paling banyak kentang dan sedikit daging.

Kini kroket menjadi makanan yang banyak ditemui di seluruh penjuru dunia dengan berbagai versi masing-masing negara. Bahkan ada juga versi nusantara yang menjadi jajanan Indonesia.

Kroket isian apa yang menjadi favoritmu?


2. Perkedel

jajanan indonesia

Semua masyarakat Indonesia tidak asing dengan perkedel. Bagaimanakah sejarah jajanan khas Indonesia ini?

Perkedel juga termasuk cemilan khas Indonesia yang tidak asing ditemui sebagai sampingan berbagai masakan daerah, misalnya pada sop, soto, tumpeng. Tidak hanya disediakan berdampingan dengan lauk utama, perkedel juga kerap disajikan sendirian sebagai cemilan utama jajanan Indonesia

Perkedel yang kita kenal adalah kentang matang yang dipadatkan dan kemudian dibalut telur sebelum digoreng. Jika kentang adalah bahan utama perkedel di Indonesia, ternyata bahan utama perkedel aslinya adalah daging cincang tanpa kentang sama sekali!

Perkedel berasal dari Bahasa Belanda, yaitu Frikadel. Pada Perang Dunia ke-2, warga Belanda mengalami kesulitan pangan termasuk mahalnya harga daging. Karena kentang melimpah, akhirnya muncullah Frikadel versi kentang dengan komposisi daging dan kentang hampir sebanding.

Mirip dengan yang Belanda alami, Saat resep perkedel dibawa oleh Belanda ke Indonesia pada masa kolonialisme, masyarakat Indonesia memodifikasi perkedel dengan menambah kentang yang dihaluskan akibat harga daging sapi dan babi yang sangat mahal. Pada perkembangannya, kentang justru menjadi bahan dominan karena merupakan bahan makanan yang mudah ditemukan dan ekonomis. Malah, sebagian besar perkedel yang kita temui sebagai cemilan khas Indonesia ini hanya terdiri dari kentang tanpa daging.

Sekarang jelas kan, isu bahwa perkedel merupakan kepanjangan persatuan kentang dan telur murni karangan ya! :D


3. Risoles

jajanan indonesia

Siapa yang tiap buka kotak cemilan makanan di acara selalu berharap menemukan risoles di dalamnya?

Jajanan Indonesia ini merupakan adonan dadar campuran tepung terigu, kuning telur, mentega, air, dan susu. Di Indonesia, jajanan tradisional ini memiliki dua jenis risoles, yaitu risoles berbentuk persegi panjang yang berisi campuran sayuran dan tumisan daging serta risoles berbentuk segitiga yang berisi ragut. Selain itu, ada risoles jenis ketiga di jajanan Indonesia ini, yaitu risoles yang berisi isian mayones dicampur dengan daging asap dan potongan telur rebus. Risoles yang memiliki bentuk persegi panjang yang lebih lebar ini dikenal dengan nama American risoles.

Risoles berasal dari bahasa Belanda, rissole. Meski begitu, ternyata risoles juga bukan asli dari Belanda karena rissole sendiri merupakan serapan bahasa latin, russeolus yang artinya berwarna kemerahan.

Pada abad ke-13, risol dikenal sebagai hidangan sejenis panekuk yang digoreng tanpa isian. Kemudian pada perkembangannya lah risoles diisi dengan berbagai isian dan dibalur dahulu dengan tepung roti sebelum digoreng. Risoles sebagai jajanan khas Indonesia ini tidak jauh berbeda dengan versi yang dapat ditemui di negara kincir angin.

4. Nastar

jajanan indonesia
Sumber: The Jakarta Post

Nastar identik sebagai jajanan Indonesia berupa kue kering yang kehadirannya selalu muncul di momen intim seperti lebaran. Ternyata, nama nastar merupakan gabungan dari 2 kata dalam Bahasa Belanda,  nanas dan taartjes (tart) sehingga disingkat menjadi nastaart.

Resep nastar pun awalnya bukan seperti yang kita kenal yaitu berupa adonan tepung berbentuk bulat diisi dengan selai nanas. Nastar terinspirasi dari olahan pie Belanda yang dibuat dalam loyang besar dan diisi dengan selai yang terbuat dari apel, bluberi dan stroberi.

Hasil akulturasi kuliner dimulai saat Belanda ingin membuat pie buah namun kesulitan untuk menemukan buah-buahan tersebut yang memiliki tekstur dan konsistensi seperti yang dihasilkan oleh buah di Belanda. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menggunakan buah nanas yang banyak ditemui di Indonesia serta memiliki tekstur dan rasa asam manis yang mewakili cita rasa buah stroberi dan bluberi.

Dinilai bentuk pie di loyang besar kurang ekonomis, pada perjalanannya cemilan Indonesia ini berubah menjadi cemilan kecil sekali suap yang digemari oleh masyarakat.


5. Lapis legit

jajanan indonesia

Saya memang hobi masak dan bikin kue. Tapi kayaknya tidak pernah terpikirkan di benak untuk masak lapis legit. Menguras waktu dan tenaga kak! Haha.

Berbeda dari 4 cemilan Indonesia sebelumnya, lapis legit adalah perkawinan silang budaya memasak Belanda dan Indonesia yang begitu indah. Resep Lapis legit atau yang dikenal dengan spekkoek (spiku) telah lama muncul di buku resep Belanda seperti yang ditulis oleh Gaitri Pagrach-Chandra di buku Het Nederlands Bakboek. Spekkoek berasal dari kata spek (bacon) dan koek (kue). Secara harfiah spekkoek berarti kue bacon. Terdengar aneh bukan? Mungkin ini disebabkan oleh lapisan spekkoek yang terlihat seperti bacon.

Tidak ada yang tahu apakah lapis legit merupakan resep asli Belanda yang dimodifikasi selama mereka menjajah Indonesia atau resep asli Indonesia yang menyesuaikan lidah kompeni. Ada juga yang beropini bahwa lapis legit adalah hasil resep tradisional milik Belanda dengan menggunakan kekayaan alam Indonesia termasuk rempah. Sekilas, lapis legit mirip Baumkuchen khas Jerman.

Lapis legit yang banyak menggunakan kuning telur menghasilkan citra rasa padat namun tetap gurih dan manis sehingga jajanan tradisional ini bisa dinikmati bersama dengan teh. Biasanya lapis legit terdiri dari 18 belas lapisan. Tiap lapisan mengalami pemanggangan selama sekitar 3 menit. Artinya, hampir sejam harus nangkring di depan oven! Tidak heran kan harga seloyang kue spekkoek mahal sekali?

Pada perjalanannya, kue spekkoek yang rumit pembuatannya ini disederhanakan dan muncullah kue lain seperti lapis Surabaya yang terdiri dari 3 lapisan saja. Tidak hanya itu, jika spekkoek merupakan adonan yang didominasi kuning telur, kalau lapis Surabaya berupa adonan campuran putih dan kuning telur layaknya kue sponge.

Menarik bukan transformasi sejarah jajanan Indonesia?



BONUS!!!!!

Meses

jajanan indonesia

Saya sempat kesulitan menemukan meses di supermarket terdekat saat sempat berdomisili sementara di Chiang Mai, Thailand, selama sebulan. Kok susah ya, padahal Thailand posisinya masih sangat dekat di Indonesia.


Jangankan Thailand, mungkin di Singapura dan Malaysia pun sangat sulit menemukan meses. Mengapa?

Meses merupakan pelengkap camilan masyarakat Belanda. Disana meses lebih dikenal dengan nama haagelslag.

Meses awalnya berupa serpihan biji adas manis yang dibalut dengan gula dan pewarna serta kemudian ditaburkan di roti pada tahun 1400-an. Pada perjalanannya, taburan manis warna-warni itu dikomersilkan dengan nama muisjes. Penemunya adalah B.E Dieperink menurut Arsip kota Amsterdam.

Meses yang tidak lepas dari hidup orang Belanda dibawa ke Indonesia dan juga dinikmati oleh masyarakat Indonesia, terutama sebagai teman makan roti. Itulah kenapa kamu hanya bisa menemukan meses di negara Belanda atau negara bekas jajahannya. Selebihnya, jika kamu penggemar meses dan hendak berlibur ke luar negeri, mending bawa stok meses yang banyak deh!


Saya selalu tertarik dengan transformasi perjalanan suatu makanan. Dalam keadaan seperti apa makanan itu muncul, bagaimana perubahan makanan tersebut akibat dari suatu kondisi, bagaimana makanan tersebut dapat dikenali di wilayah lain, serta seperti apa adaptasi makanan tersebut terhadap lidah yang baru dan ketersediaan bahannya.

Selera orang memang berbeda-beda, di negara, bahkan kota yang sama, pasti resep jajanan khas nusantara ini juga dapat berbeda-beda.

Berani berbagi resep Jajanan Indonesia warisan kolonial yang menjadi favoritmu?

Travelling bersama Balita: Tips dan Trik

3 komentar
Bagi sebagian orang, jalan-jalan bersama balita itu hanya bagaikan mengasuh balita tetapi pindah tempat. Padahal kita bisa memanajemen perjalanan supaya berpelesir bersama balita menjadi suatu hal yang menyenangkan. Setidaknya meminimalisir kerepotan yang akan dihadapi. Terutama jika hanya berdua saja tanpa bantuan suami.

travelling bersama balita
Sepanjang tahun 2018, saya memiliki cukup banyak pengalaman berwisata hanya berdua dengan Hasan, anak pertama kami. Di tahun itu suami mendapat tugas stase luar kota, yakni: Purwokerto, Jombang, Jogja-Klaten dan Chiang Mai selama 1 bulan untuk masing-masing kota. Saya dan Hasan juga turut serta, hanya stase Banyumas yang kami tidak ikut. Saat itu Hasan baru berusia 2.5-3.5 tahun. Karena pada dasarnya suami disana bekerja, otomatis waktu luang bertiga untuk jalan-jalan hanya akhir pekan. Itu pun belum tentu. Sabtu dan Minggu juga harus visit pasien. Cuma stase Klaten dan Chiang Mai saja yang sabtu-minggu benar-benar kosong. Otomatis waktu wisata bersama sangat amat terbatas.

Dengan hanya keluar rumah 2-3 hari di hari kerja selama sebulan benar-benar membuat kami bisa mengekspolorasi tempat-tempat wisata menarik suatu kota. Mungkin sekitar 80-90% dari tempat-tempat yang kami minati. Biasanya waktu berpelesir hanya sampai jam makan siang. Kenapa hanya sampai jam makan siang? Dalam rangka berhemat! Hehe. Saya malas membeli makan siang khusus untuk Hasan, apalagi jika kuliner yang hendak saya jajal bercita rasa pedas, membuat tidak bisa berbagi piring. Dibanding mahal beli menu lain, mending pulang dan makan siang menu yang sudah saya masak sebelum berangkat.

Baca tentang Perjalanan di Purwokerto
Baca tentang Perjalanan di Chiang Mai

Sebagai introver dan penjelajah tipe perkotaan, mengeksplorasi kota-kota ini sangat amat menyenangkan bagi saya. Tidak hanya untuk saya, tapi bagi Hasan. Ia bisa mendapat pengalaman-pengalaman baru di tempat baru dengan pengalaman yang belum pernah didapatkan di Jakarta, kota kami tinggal. Bergerak hanya berdua bersama Hasan di hari kerja benar-benar suatu kegiatan untuk kami. Sebagai ibu beranak satu pada saat itu, berjalan bersama Hasan adalah "the new introvert thingy". Alhamdulillah dikaruniai anak yang tidak rewel diajak wisata. Eksplorasi yang kami lakukan adalah wisata museum, wisata kuliner, eksplorasi pusat perbelanjaan, kunjungan taman dan tempat-tempat edukasi, berpergian menggunakan transportasi umum hingga berjalan-jalan santai di trotoar tengah kota. Karena keterbatasan waktu, biasanya kami berdua mengunjungi tempat wisata dan kuliner yang tidak begitu diminati suami. Wisata bersama suami dilakukan pada akhir pekan, biasanya wisata alam atau tempat yang relatif agak jauh. Pokoknya yang amat sayang jika tidak dikunjungi bertiga.

Sebelum berpelesir berdua di tengah kota, saya dan Hasan sering berpergian berdua selama di Jakarta tanpa bantuan. Ke mal, belanja, ataupun ke restoran. Bedanya, tempat yang kami kunjungi di Jakarta tempat yang familiar dan sering kali tanpa perencanaan sebelumnya. Beda dengan kota baru yang benar-benar harus mempelajari peta dan melakukan perencanaan matang. Sering saya mendapat saran agar membawa turut serta asisten rumah tangga (waktu itu ada ART yang bekerja) saat bepergian berdua. Entahlah, saya merasa tidak nyaman saja. Saya jadi seperti kehilangan momen kesendirian.

Bagaimana tips dan trik agar nyaman bepelesir berdua hanya dengan balita tanpa bantuan suami? Yuk simak tips dibawah ini!

1. Kenali Anak dengan baik

Tiap anak itu unik, meski lahir dari rahim yang sama, anak pertama dan kedua bisa memiliki karakteristik yang berbeda bagai air dan api. Hasan anak yang tidak rewel, bisa dibilang Hasan itu salah satu rekan pelesiran terbaik. Berpergian bersama tidak berasa bawa beban, lebih seperti pendamping hanya lebih kecil dengan kecepatan jalan lebih rendah dari orang dewasa. Salah satu permasalahan Hasan adalah ia cukup sulit jika harus makan di luar rumah hingga usia 3 tahun. Inilah alasan utama kenapa saya kerap memilih memberi Hasan makan siang di rumah. Minim drama.

Kenali fisik anak. Apakah ia kuat berjalan jauh, apakah dia gampang rewel. Kalau rewel, bagaimana menyiasatinya. Hasan dikaruniai fisik yang cukup kuat, pada usia 2.5 tahun ia sudah bisa jalan hingga 1 kilometer. 3 tahun bisa 1.3 kilometer. Hasan sendiri tipe anak tidak rewel dan malas ngemil, jadi biasanya saya cuma bawa kudapan seadanya serta air minum.

Baca juga: Traveliving, travel sebulan

Sebagai contoh, Saat di Chiang Mai saya hendak keluar rumah hanya untuk menukar uang di tempat penukaran. Jarak terukur sekitar 1 km dengan menggunakan Google Map. Berhubung itu adalah jarak yang masih ideal untuk Hasan berjalan kaki, saya memutuskan membawa Hasan turut serta dengan berjalan kaki. Hasan tidak menggunakan stroller pada saat itu karena trotoar Chiang Mai yang kecil dan berundak, hanya membuat mendorong stroller lebih berat.

2. Kenali Diri dengan Baik

Selain mengenal anak, kita juga harus mengenal diri sendiri dengan baik. Apakah fisik kita cukup kuat untuk melakukan perjalanan yang hendak dilakukan. Menggunakan pakaian, tas dan alas kaki yang nyaman juga tidak kalah penting, apalagi untuk perjalanan yang jauh.

Saat saya hendak berbelanja relatif banyak ke supermarket besar di Chiang Mai, Jarak Google Map sih kurang dari 1 km yang merupakan jarak ideal untuk Hasan berjalan kaki sendiri. Tapi berhubung barang bawaan akan sangat banyak dan akan membebani saya berjalan kembali 1 km kurang ke tempat tinggal, saya memilih membawa stroller meski trotoar sempit dan jalan berundak. Sepulang dari supermarket, apakah Hasan naik stroller atau berjalan tergantung banyak dan beratnya barang belanjaan. Saya menggunakan stroller Aprica Karoon, stroller yang ringan dengan dimensi relatif kecil, cocok untuk perjalanan di jalan-jalan Asia yang tidak ramah stroller. Sangat cocok juga untuk berpelesir. Belanjaan biasanya saya masukkan ke kantong bawah dudukan (muatan kecil) dan digantung di pegangan stroller. Kalau barang belanjaan sangat banyak dan besar, saya memilih menaruh barang di dudukan stroller dan menyuruh Hasan berjalan. Menggantungkan barang sedemikan berat dan besar di stroller hanya akan merusak stroller, cepat atau lambat.
travelling bersama balita
Menggunakan carrier bagi saya pada saat itu bukan lah opsi, selain Hasan sangat betah naik stroller, saya juga sedang hamil 4 bulan. Waktu itu saya juga belum mengenal gendongan semacam Onbuhimo dan woven wrap yang bisa membawa anak tanpa harus melilitkan melalui perut.
travelling bersama balita

3. Rencanakan Perjalanan dengan Detail

Merencanakan perjalanan saat berpelesir seorang diri adalah penting.
Merencanakan perjalanan saat berpelesir berdua dengan balita adalah amat penting.
Merencanakan perjalanan saat berpelesir berdua dengan balita dengan angkutan umum adalah sangat penting.

Saya memiliki hobi berpelesir di kota yang hendak dikunjungi melalui aplikasi Google Maps sejak jauh-jauh hari. Entah terlalu semangat atau penuh persiapan. Setidaknya, saat saya menerima info akan pergi, saat itu jari saya akan mengetuk Google Maps pada gawai. Dengan menjelajah Google Maps, saya merasa kota baru tersebut menjadi lebih familiar. Tidak hanya melihat jalan, tetapi juga menggunakan fitur Google View. Saya bergerilya mencari tahu lokasi suami bekerja, lokasi tempat tinggal potensial, supermarket, pasar, tempat wisata, taman, restoran, kafe, dan sebagainya.

Saat mengikuti stase Klaten (kami tinggal di Yogya, lebih tepatnya seberang Bandara Adi Sucipto), kami berencana berpelesir ke Solo di akhir pekan. Karena tiba-tiba suami harus masuk ke RSUD Klaten dahulu pagi hari, saya berencana untuk pergi duluan bersama Hasan agar bisa berwisata  sembari menunggu kedatangan suami. Menggunakan Kereta Api Prambanan Express (Prameks) adalah satu-satunya opsi. Prameks ini mirip-mirip KRL lah, menghubungkan Kota Solo, Yogyakarta, dan Kutosari. Tidak ada tiket kursi, hanya tiket naik. Nanti kami akan bertemu suami di penginapan di Solo yang sudah kami reservasi sebelumnya. Suami ke Solo menggunakan mobil pribadi setelah membereskan urusannya di Klaten. Perencanaan matang dimulai dari sini.
travelling bersama balita
sumber: goodnewsfromindonesia.id
Saya melihat jadwal Prameks menggunakan daring, setelah memutuskan jam keberangkatan, saya mengestimasi waktu kosong sebelum bertemu suami di penginapan. Kemudian melalui Google Maps, saya melihat objek wisata apa saja antara stasiun Purwosari (penginapan kami lebih dekat ke stasiun ini ketimbang Solo Balapan) dan penginapan. Karena tidak bersama suami, otomastis objek wisata yang hendak kami datangi adalah objek wisata yang kurang diminati, atau dengan kata lain objek wisata yang apabila tidak didatangi oleh suami, yang bersangkutan tidak berkeberatan. Akhirnya pilihan jatuh kepada Museum Radya Pustaka, Museum Pers dan Paragon Mall. Paragon Mall bukan buat wisata sebenarnya, tapi tempat singgah kami mencari makan siang :D.
travelling bersama balita
Pekerjaan berikutnya adalah mengukur jarak. Naik apa? Bawa Stroller atau tidak? Karena tahu akan naik Prameks, sudah pasti saya tidak membawa stroller. Kami naik Prameks di Stasiun Maguwo, yaitu stasiun terluar kota Yogyakarta sebelum berangkat menuju di Klaten dan Solo. Sudah hampir pasti kereta sudah terjejali oleh penumpang-penumpang dari stasiun sebelumnya, ditambah lagi itu adalah hari Sabtu. Betul saja, saya dan Hasan cuma dapat jatah berdiri haha. Beruntung kami, saat Hasan minta duduk dan saya berjongkok agar ia bisa duduk, ada seorang bapak baik hati menawarkan tempat duduknya kepada kami. Alhamdulillah, kami bisa duduk sampai tujuan, padahal saya sudah menyiapkan mental untuk terus berdiri selama hampir sejam 😆.

Saya mengukur jarak Stasiun Purwosari ke Museum Radya Pustaka hampir 2 km, jarak yang lumayan jauh, apalagi Hasan sudah menempuh perjalanan kereta dahulu. Kami memutuskan menggunakan Grab car. Jarak Museum Radya Pustaka menuju Museum Pers hanya  750m, berjalan kaki adalah pilihan yang baik bagi kami. Terakhir jarak Museum Pers menuju Paragon Mall hanya 1 km, baiklah kami jalan kaki saja. Tapi tunggu, ternyata jalur tersebut dilalui oleh Bus Trans Batik Solo. Baiklah, kami menggunakan opsi naik bus saja. Lumayan kan, sekali jalan bisa merasakan naik Grab, jalan kaki, dan bus umum :D. Jarak Paragon Mall menuju penginapan anggap saja tidak dihitung, karena jaraknya hanya 200m!

Jika memiliki mobil yang bisa digunakan saat berpelesir, misalnya mobil sendiri atau mobil sewa, perencanaan perjalanan tidak sepanjang jika harus menggunakan kendaraan umum. Seperti saat kami di Purwokerto. Alhamdulillah kami mendapatkan pinjaman mobil. Mau kemanapun, kafe, warung, pusat perbelanjaan, hingga pasar tidak harus berpikir panjang. Tinggal siapkan diri dan naik mobil. Di Yogya kami juga menggunakan mobil pribadi yang di(bantu di)bawa dari Jakarta. Karena jika ingin berpelesir harus antar jemput suami ke Klaten, terkadang saya memilih menggunakan angkutan umum saja. Bisa menggunakan grab/gocar, Trans Jogja, ataupun berjalan kaki.

Mungkin banyak yang bertanya, kenapa tidak menggunakan grab/gocar saja, kan praktis dan anti ribet. masalahnya, rata-rata dalam sekali perjalan saya bisa mengunjungi 2-4 tempat. Bisa dibayangkan, berapa ongkos yang saya habiskan untuk perjalanan sehari. dalam 1 minggu, saya bisa keluar 3 hari kerja (akhir pekan pergi bersama suami, tentu menggunakan mobil pribadi). Betul, alasan saya merencanakan moda perjalanan sedemikian detailnya adalah untuk alasan penghematan. Saya berusaha mengoptimalisasi kemampuan fisik kami dan biaya semaksimal mungkin. Oleh karena itu, memperhitungkan rute-rute yang dikunjungi sekali jalan dengan sangat detail menjadi penting. Biaya minimal, usaha maksimal, wisata maksimal!

Saat saya berada di Chiang Mai, suami sempat harus melakukan perjalanan dinas selama 4 hari ke Phuket. Saya dan Hasan hanya berdua tanpa keluarga dan kendaraan di negara asing. Saat itu sedang tanggal merah dan libur panjang memperingati kematian Raja Bhumibol Adulyadej (Rama IX) di Thailand. Suasana libur ;anjang begini sayang sekali untuk dilewatkan hanya di tempat penginapan, padahal minggu depannya kami harus kembali ke Indonesia. Oleh karena itu saya dan Hasan melakukan perjalanan panjang di hari Sabtu.

Merencanakan perjalanan menggunakan angkutan umum di Chiang Mai rumit nan menantang. Angkutan termurah dan terfleksibel, Songthaew (semacam angkot) cukup mahal, yakni 10-15 ribu sekali jalan, sementara kali ingin mengunjungi 3 tempat saat itu. Akhirnya saya mendapat benang biru dengan cara naik songthaew sampai Chiang Mai University, naik Bus umum ke Central Festival Mall, naik free shuttle dan berjalan kaki ke Pasar Malam Sabtu, dan pulang menggunakan Songthaew. Berangkat pagi pulang malam. Bayangkan! Perjalanan sepanjang itu pada akhirnya hanya menghabiskan ongkos transpor 35 ribu saja. 2 kali naik songthaew (30 ribu) dan 1 kali naik bus umum (5 ribu). Anak-anak tidak dihitung. Lumayan sekali kan!
travelling bersama balita
Free Shuttle Van yang menghubungkan Central Mall
Baca Menggunakan Transportasi Umum di Chiang Mai

3. Fleksibel

Karena kita sedang membawa makhluk kecil yang terkadang muncul keinginan dan kelakuan random, dari awal kita harus memiliki pola pikir bahwa apa yang dilakukan tidak harus tepat 100% dengan apa yang direncanakan. Perlu ada penyesuaian yang harus dikerjakan di tengah jalan. Kecepatan pengambilan keputusan juga penting demi kenyamanan bersama.

Pada perjalanan yang terakhir saya ceritakan di atas, sebenarnya itu bukanlah rencana awal. Rencana awal saya adalah wisata kampus Chiang Mai University, belanja sesuatu di Central Mall, kemudian pulang untuk makan siang. Ternyata keseluruhannya memakan banyak waktu. Wisata kampus menggunakan mobil elektrik harus mengantri 1 giliran dulu hingga perjalanan bus umum yang memakan waktu 1,5 jam! Saya agak kurang perhitungan sih yang ini, jarak Chiang Mai University ke Central Mall benar-benar dari ujung ke ujung. Selain itu harus melewati jalur terminal bus dahulu. Kebayangkan macetnya! Saya tidak bawa stroller pada perjalanan kali ini, soalnya wisata kampus pakai mobil elektrik dan bisa meminjam stroller kalau dibutuhkan di mall. Saat perjalanan di bus, saya memutar otak. Hasan saya pangku (demi cuma bayar 1 tiket!😝) dan alhamdulillah ia bisa tidur siang selama perjalanan. Kemudian saya memproyeksikan kami makan siang dan shalat jamak Zuhur-Ashar di Central Mall. Sebelumnya kami pernah kesana sekali saat orang tua saya berkunjung, jadi sudah tahu bahwa ada satu kantin halal di food court dan ada mushola. Karena terlanjur pasti akan sampai sore disana, akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke pasar malam sabtu (Wua Lai Night Market) setelahnya karena ada yang hendak dibeli. Naik shuttle van yang saya tahu gratis. Saya mengambil brosur jadwal keberangkatan di meja depan. Kemudian sembari menunggu Hasan bermain bersama bocah-bocah Chiang Mai di playground, saya memutar otak mencari jalur van yang mengarah ke pasar malam. Akhirnya saya memutuskan mengambil jadwal keberangkatan 16.20 rute 3: Old City Road
travelling bersama balita
Jadwal free shuttle
Alhamdulillah, sesampai kami di terminal shuttle, van belum berangkat dan kami tidak menunggu lama sebelum berangkat. Selama perjalanan saya kembali menjelajah Google Map untuk mencari tahu titik pemberhentian mana yang terdekat dengan pasar malam. Akhirnya saya memutuskan turun di U Hotel. Menurut Google Map, kami tinggal jalan ke selatan sedikit dan voila, sampailah kami di Pasar Malam. Eh, ternyata turis-turis bule yang duduk di depan kami juga ingin melanjutkan ke pasar malam, mereka bertanya ke Supir dan supir membenarkan untuk berhenti di U hotel. Ya sudahlah, tidak ada yang sia-sia 😏. Di Chiang Mai bawaannya memang agak malas bertanya-tanya mengingat sedikit sekali yang tanggap Bahasa Inggris.

Itu adalah kali ketiganya kami ke Pasar Malam Sabtu. Pertama bertiga bersama suami dan kedua ramai-ramai saat kunjungan orang tua. Saya sudah mengetahui bahwa banyak stand makanan halal. Karena Hasan suka martabak cokelatnya, saya membelikan Hasan itu untuk makan malam. Sementara saya pesan mi goreng di stand dekatnya. Setelah barang terbeli dan perut kenyang, kami pulang menggunakan songthaew. Karena sudah pengalaman naik dan menawar songthaew dari sini, it's piece of cake! 😎

travelling bersama balita

Travelling bersama Balita, kenapa tidak?

Setelah berkali-kali hilir mudik hanya bersama Hasan, berpelesir berdua bersama balita sangatlah menyenangkan. Perjalanan bersama balita bisa sama-sama menyenangkan baik bagi orang tua dan anak apabila disertai dengan perencanaan yang baik, meski dituntut memiliki kefleksibelan tinggi yang diambil dengan keputusan tepat dan cermat. Rekan jalannya kooperatif dan tidak rewel. Saya sama sekali tidak kapok. Sayangnya, setelah mengakhiri tahun 2018, kami tidak ada jadwal berpelesir bersama lagi :). 3 April 2019 saya melahirkan anak kedua kami, Bilqis. Jadi otomatis berakhir sudah berpelesir berdua (dan bertiga bersama suami). Setelah itu saya berniat menulis tentang berpelesir bertiga bersama bayi dan balita. Tapi entahlah, di situasi pandemi ini, akankah ada perjalanan lagi? 😮

Travelling Sebulan, Kehidupan Baju 7 Hari dan Konmari

4 komentar
Siapa sih jaman sekarang yang tidak mengenal Marie Kondo dengan teknik Konmari-nya?

Marie Kondo terkenal dengan bukunya yang berjudul "The Life Changing Magic of Tidying up". Harga tanah dan properti yang sangat mahal di Jepang, membuat standar luas apartemen dan rumah orang Jepang tidak besar. Keterbatasan ruang ini menyebabkan mereka benar-benar memperhitungkan barang-barang yang ada di rumah mereka. Marie Kondo dikenal sebagai ahli berbenah yang menciptakan metode Konmari, yang mana nama Konmari ini berasal dari namanya, KONdo MArie. Ia mengklaim dengan memiliki jumlah barang yang terbatas dan hanya yang membuat kita senang, artinya kita sudah memutuskan untuk hidup di lingkungan positif. Banyak yang mengklaim kehidupannya mendadak lebih bahagia pasca berbenah. Untuk selanjutnya Marie Kondo dan Konmari dikenal dengan frase:
Does it spark joy?
travelling konmari

Netflix yang jitu pun mengambil peluang dengan cara mengajak Marie Kondo pada sebuah acara televisi bergenre realita yang terdiri dari 8 episode pada season 1. 

Travelling Konmari: Berkemas untuk Kehidupan Sebulan

travelling konmari

Acara realita yang berjudul Tidying Up with Marie Kondo baru dirilis untuk semua episode pada tanggal 1 Januari 2019. Hadirnya acara ini menjadi bahan pembicaraan di pelbagai sosial media, tidak terkecuali di grup-grup WA saya. Pembicaraan-pembicaraan tersebut membuat saya merenung akan perjalanan kami pada sepanjang 2018 yang membuat saya berkemas untuk kehidupan selama sebulan dengan frekuensi 4 kali untuk sekeluarga  dan 3 kali untuk suami saya sendiri.


Pada tahun 2018 kami banyak melakukan perjalanan selama sebulan. Bulan Januari ke Purwokerto, Juni-Juli ke Jombang dan Yogyakarta, Oktober ke Chiang Mai dan Desember ke Pemalang. Semua perjalanan dinas sebulan suami ke luar kota saya dan Hasan ikut, kecuali Banyumas pada bulan Februari, Mei dan November. Saya memutuskan untuk membawa stok baju untuk 7 hari. Lebih jelasnya, mungkin uraiannya seperti ini

Baju Suami

  • 6 Setel baju kerja (kemeja, celana panjang, kaos dalam, kaos kaki)
  • 3 buah sarung
  • 8 kaos
  • 1 pasang setelan renang (kaos dry-fit dan celana pendek)
  • 1 celana kargo kasual
  • Setelan jalan-jalan 2 pasang (jeans dan polo)
  • 9 Celana dalam
  • 2 buah handuk
Perlu diperhatikan, penyusunan baju ini tidak bersifat pakem, artinya semuanya tergantung kepada kebiasaan berpakaian yang bersangkutan, cuaca serta kemungkinan aktifitas apa saja yang dilakukan. Di daerah, suami saya masuk ke Rumah Sakit dari Senin sampai Sabtu. Di beberapa kota malah hari Minggu juga operasi atau sekadar mengunjungi pasien. Uraian di atas adalah contoh kemasan baju saat tugas di Purwokerto. Hitungan setelan baju kerja sehari sekali. Sarung dipakai hanya di rumah (kosan), jadi pemakaiannya dua hari sekali. Kaos rumah juga merangkap kaos keluar rumah  dengan pemakaian sehari sekali dengan 1 kaos sebagai cadangan. Setelan jalan-jalan untuk Sabtu dan Minggu, juga dipakai saat kunjungan ke Rumah Sakit pada hari Minggu. Celana dalam sehari sekali dengan asumsi 2 buah untuk cadangan, misalnya jika basah karena renang. Handuk 2 buah disiapkan apabila satu handuk sedang dicuci. Karena saya kurang begitu suka berkemas heboh, saya memilih 2 handuk yang cenderung tipis akan tidak makan tempat.

Baju Pribadi

  • 7 buah gamis
  • 7 buah jilbab panjang pasangannya
  • 2 buah jilbab pendek
  • 7 buah daster/baju rumah
  • 1 setel pakaian renang
  • 9 buah pakaian dalam atas-bawah
  • 2 buah handuk
Keempat kota yang saya datangi merupakan kota dengan suasana panas dan cuacanya tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Saya menyiapkan semua gamis saya dengan bahan yang enak dipakai dan tidak berat. Sebelum kami berangkat, saya selalu memplot kalau di kota tujuan kami akan kemana-mana menggunakan transportasi umum. Jelas kan kenapa baju yang nyaman dan ringan dibutuhkan. Meski pada kenyataanya saat di Purwokerto 3 minggu terakhir kami mendapat pinjaman mobil untuk mobilisasi, di Jombang sesekali bisa menggunakan mobil penghuni rumah, di Yogyakarta 2 hari di hari kerja mobil bisa saya bawa berkelana karena saya memilih  mengantar suami ke Klaten, dan 6 hari di Pemalang saya memiliki akses penuh membawa mobil.

Saya membawa gamis 7 buah dengan asumsi saya tiap hari keluar rumah. Saya dan Hasan keluar rumah berdua pada saat siang hari bisa 2 sampai 4 di hari kerja. Sisanya kalau suami mengajak makan di luar pada malam hari. Kalau akhir pekan sudah pasti keluar rumah. Diluar itu, tiap Maghrib saya mengajak Hasan untuk shalat Maghrib di mesjid dekat kos. Dan pastinya tiap hari juga saya keluar kamar kos untuk masak atau kadang-kadang membeli makanan. Itu lah makanya saya membawa 2 jilbab pendek untuk keluar kasual.

Baju Hasan

  • 6 buah celana panjang
  • 5 buah celana pendek
  • 8 buah kaos pendek
  • 2 buah kaos panjang
  • 2 buah polo
  • 2 buah kemeja
  • 4 setel baju tidur
  • 9 celana dalam
  • 1 setel pakaian renang
  • 2 buah handuk
Celana panjang dan pendek yang dibawa ada yang bahan ada juga yang jeans. Sebenarnya bawa baju Hasan cederung acak pilihannya. Kira-kira pilih  yang warnanya beda dan kalau bisa satu warna tidak sampai 2 buah. Celana panjang bahan kaus atau kargo biasanya dipakai sore hari. Kalau tidak jorok biasanya dipakai 2 sore. Baju tidur terkadang dipakai satu setel untuk dua malam kalau cuma sebentar dan tidak jorok.

Cukupkah?

Cukup tidak pakaian dengan jumlah segitu untuk kehidupan sebulan? Cukup banget! Kami mengalami dari yang pakaian cepat dicuci kering-nya sampai yang seret sekali selesai dicuci. Misalnya selama di Purwokerto, di kosan ada fasilitas bebas dicuciin. Kalau hari cerah dan baju kotor diambil pagi hari, bisa-bisa sewaktu sore baju kotor tersebut sudah berubah menjadi baju bersih dan wangi. Kosan di Jogja juga ada fasilitas mesin cuci dan dek jemuran sehingga saya bebas mencuci dan menjemur setiap hari. Di dua kota tersebut karena baju kotor hampir tiap hari langsung kering dan bisa disetrika, stok baju yang kami bawa menjadi kebanyakan.

Selama di Chiang Mai, kami mencuci menggunakan mesin cuci koin 2 hari sekali. Sekali mencuci menghabiskan 25 sampai 30 baht (12 ribu sampai 15 ribu). Jemurannya di balkon terbuka, cuma tidak ada gantungan yang pantas, cuma memakai tahanan kompresor AC dengan menggunakan hanger. Baju pun tidak selalu kering tiap sore. Saat di Pemalang kami juga menggunakan jasa laundry 2 kali sehari. Dengan frekuensi cuci-kering seperti itu, kami memiliki suplai baju bersih yang cukup dengan beberapa buah baju cadangan.

Keadaan paling sulit saat berada di Jombang. Sebenarnya kami tinggal di rumah dokter yang menampung suami saya beserta anggota dokter lain dan keluarganya. Penghuni yang banyak dan ketiadaan mesin cuci (katanya sih si mbok cuci tangan semuanya) membuat suplai baju bersih baru ada 3-4 hari sekali! Suplai baju bersih terakhir cukup sih, tetapi benar-benar pas-pasan. Dengan catatan beberapa hari sekali baju dalam saya harus dicuci sendiri dan dijemur di kamar mandi yang.. lembab. Iya, tidak ada akses jemur keluar karena aksesnya harus melalui ruang pembantu dan harus naik tangga tinggi.

Travelling Konmari: Koper dan Bagasi

Saya memiliki kebiasaan tidak ingin ada baju mubazir alias tidak terpakai saat berpergian ke luar kota. Untuk berpergian jangka pendek saja saya hanya menyiapkan baju cadangan 1 setel. Hal ini juga terbawa saat berpergian jangka panjang. 4 kali berkemas untuk berpergian jangka panjang membuat saya lumayan berpengalaman dalam menentukan kapan mulai waktu berkemas, baju yang seperti apa yang dibawa hingga berapa banyak baju yang harus dibawa. Sebagai contoh, karena merasa kebanyakan bawa baju saat pergi ke Purwokerto, untuk berpergian sebulan berikutnya saya mengurangi jumlah baju. Pengurangan jumlah baju dan keefisienan berkemas sebagai akibat dari terbatasnya jumlah koper yang bisa dibawa untuk sekali pergi.

Baca juga: Drama keberangkatan ke Chiang Mai

Kami biasa pergi menggunakan 1 koper hardcase ukuran sedang, 1 koper hardcase resleting (bisa diperbesar) ukuran sedang, 1 koper kecil ukuran cabin, 1 tas koper lipat untuk jaga-jaga, 1 stroller ringan dan 1 kontainer kecil-menengah untuk membawa peralatan masak.

Saat ke Purwokerto, orang tua saya mendahului kami dengan mengendarai mobil pribadi sehingga barang-barang kami termasuk kontainer bisa dititipkan ke mobil. Saya, suami dan Hasan hanya tinggal membawa 1 koper ukuran cabin saat naik kereta api.

travelling konmari
Harus menenteng semua ini ke kereta api?!

Saat ke Surabaya-Jombang kami membawa ketiga koper beserta stroller saja karena disana kami menumpang rumah, jadi praktis tidak butuh membawa peralatan masak. Ketika pindah ke Yogyakarta, kami sedikit repot karena membawa ketiga koper beserta stroller menggunakan moda kereta api. Suami jadi bolak balik mengangkut koper ke kereta api. Saat turun di Stasiun Tugu Yogyakarta kami juga menggunakan jasa porter untuk membantu. Karena kami butuh memasak saat di Yogyakarta, jadi kami butuh kontainer yang berisi alat masak. Tepat sekali saat itu supir mertua ditugaskan mengantar mobil agar kami bisa mobilisasi selama di Yogyakarta, kontainer pun bisa dititipkan.

travelling konmari
Koper ke Chiang Mai

Keberangkatan kami ke Chiang Mai adalah pengalaman yang menantang dan tidak terlupakan. Berawal dari drama keberangkatan hingga strategi koper. Kenapa menantang? Karena kami harus pergi bertiga menggunakan pesawat ekonomi Thai Lion dan Air Asia dengan total bagasi hanya 60kg! Yang pergi sebelumnya bisa bebas beban alat masak karena ada yang membawakan kontainer menjadi semua-semuanya harus termasuk dalam 60kg. Beruntung teman-teman suami saya ada yang meninggalkan kompor kecil yang bisa untuk menanak nasi serta setrika sehingga kami bisa mencoret kedua barang itu dari daftar bawaan. Barang dapur yang kami bawa meliputi kompor listrik Maspion, Happy Call, 1 panci kecil-menengah beserta tutupnya, 3 piring melamin, 3 sendok-garpu, gelas plastik, handblender, tatakan, pisau santoku, pisau kupas, dan segala bumbu basah dan bumbu kering. Oh ya, tidak lupa starter pack food seperti Mac n Cheese kemasan buat sarapan. Beras, garam, gula, bawang putih bubuk, kecap, chicken wing, dan sayuran beku. Barang bawaan non baju lainnya juga termasuk buku bacaan dan mainan Hasan. Wuih! Jadinya kami sedikit mengganti strategi koper. Kami membawa 1 koper hardcase ukuran besar pinjaman dari mertua, 1 koper hardcase resleting, 1 koper ukuran kabin, 1 tas koper lipat cadangan dan 1 stroller. Semua baju kami bertiga bisa muat ke koper besar itu loh! Koper hardcase resleting ukuran besar isinya peralatan mandi, barang dapur, mainan dan buku Hasan. Koper ukuran kabin isinya barang-barang yang tidak muat di kedua koper seperti sepatu dan sandal tambahan kami bertiga.

Keberangkatan terakhir adalah ke Pemalang selama seminggu dengan didahului Semarang selama 4 hari. Suami sudah berangkat duluan dengan menggunakan koper ukuran kabin. Saya dan Hasan berangkat menggunakan pesawat membawa stroller, 1 koper hardcase ukuran sedang serta tas kain untuk dibawa ke kabin. Saya mengatur hanya membawa baju untuk 6 hari karena di hotel Semarang ada laundry dan dryer mandiri. Kontainer alat masak kami juga tidak butuh karena kami tidak masak di Pemalang.

Travelling Konmari: Efek Memiliki Baju Sesuai Kebutuhan

Berbeda dengan sewaktu di rumah, saat kami berpelesir sebulan ini rasanya pikiran dan perasaan saya plong. Kamar bersih. Isi lemari simpel dan tidak berdesak-desakan. Mau bersihin lemari juga hampir tidak dilakukan karena hampir selalu rapi. Hal menyenangkan berikutnya adalah tidak adanya kegalauan saat memilih baju untuk dipakai. Memilih baju suami tinggal ambil sesuai stok yang ada untuk mingguan, memilih baju saya dan Hasan juga sama, ambil yang gampang dilihat dan cocok atas-bawah. Benar-benar mengurangi konsumsi waktu untuk hal remeh-temeh kegalauan pilihan baju yang tidak penting.

Disini saya juga tidak merasa mubazir sekali. Seolah-olah kami memiliki pakaian dan kesemuanya kondisi bagus layak pakai serta memiliki jaminan dipakai terus. Berbeda dengan saat dirumah dimana baju-baju banyak memiliki frekuensi yang rendah untuk dipakai. Bahkan banyak baju yang lupa terpakai atau sengaja tidak dipakai dengan alasan tidak nyaman dan lain-lain. Disini kita diajarkan untuk memilih apa yang terbaik dan apa yang dibutuhkan untuk kita. Bukan nafsu untuk memiliki.

Halo, Target Blogging 2019!

3 komentar
Tak terasa, kita sudah hampir sampai di penghujung tahun. Meskipun saya orangnya bukan tahunan yang sering memperhitungkan akhir atau awal tahun, rasa-rasanya akhir tahun ini banyak yang patut disyukuri. Ada keinginan yang sudah tercapai, ada yang sedang di jalan pencapaian dam ada juga kekecewaan.

Bagaimana soal urusan blogging?

Kilas Balik

Bagi saya yang blog nya sempat mati suri lama, tahun 2018 ini merupakan suatu momentum yang besar sekali untuk blog saya. Saya memiliki 3 blog. Pertama blog ini, kedua blog berbahasa Inggris, dan ketiga web untuk proyek carseat saya.

Tulisan pertama untuk tahun 2018 setelah tulisan terakhir di bulan Mei 2016 di blog saya yang ini ada di bulan Maret. Tercatat ada satu tulisan di bulan Maret karena saya iseng mengikuti tantangan artikel blog dari byputy dan mamamolilo. Pada bulan Mei tercatat ada 6 tulisan, kesemuanya tentang perjalanan ke Purwokerto karena sepulang saya dari sana bulan Januari, saya berkomitmen untuk mendokumentasikan semua perjalanan saya. Itu pun dari janji diselesaikan Februari malah baru dikejerkan bulan Mei. 

Semenjak Agustus, saya berkenalan dengan komunitas online 1m1c, atau 1 minggu 1 cerita. Menurut saya ini adalah komunitas blogging yang santai sekali, karena setelah bergabung kita harus menulis blog cukup seminggu sekali. Kita baru dikeluarkan dari grup WA apabila bolos tidak setor selama 6 minggu berturut-turut. Temanya pun seringnya bebas dengan frekuensi sesekali menggunakan tema yang ditentukan. Suatu komunitas blogging yang santai sekali bukan, mendorong kita untuk rutin menulis blog, meskipun untuk yang sibuk sekalipun.

Pada bulan November, saya mencoba mengikuti tantangan blogging tiap hari selama 30 hari berturut-turut menggunakan tema yang ditentukan yang diadakan oleh Blogger Perempuan. Maka, terhitung tantangan di mulai, saya rutin tiap hari menulis di blog ini, hanya 1 tulisan yang saya tulis di blog berbahasa Inggris saya. Sebenarnya saya pernah mengikuti tantangan blogging menulis tiap hari selama 99 hari dengan tema yang tidak ditentukan pada tahun 2016. Berbeda dengan tantangan tempo lalu, tantangan kali ini saya menulis lebih serius dan panjang karena ada ketentuan tiap tulisan minimal 300 kata. Tantangan tempo lalu banyak tulisan yang saya tulis dengan tulisan super singkat. Dan hari ini adalah hari terakhir. Saya bangga dengan diri saya karena dapat memenuhi tantangan meski bagaimana pun keadaannya. Sebagai contoh, seminggu terakhir ini saya tidak ada laptop untuk menulis. Platform blog saya adalah blogger, yang mana tidak memiliki aplikasi di gawai maupun tablet. Menulis melalui peramban gawai juga sulit setengah mati karena jika tulisan panjang tidak bisa digulir layarnya. Tetapi berbekal kengototan, menulis di peramban akhirnya tidak menjadi masalah meski memakan waktu lama dan kerap kali banyak salah tulis yang saya lakukan.

Pada akhir tahun ini saya juga mulai mencoba mengikuti kompetisi blog yang temanya menarik bagi saya. Saya yang idealis ini sebenarnya tidak menjadikan hadiah sebagai orientasi akhir, tapi saya lebih menekankan kepada bersenang-senang dan menulis dengan serius. Hadiah adalah dampak akhirnya. Karena itu, saya menulis apa yang ingin saya tulis. Saya menulis tulisan yang temanya menarik dan sesuai minat saya. Terhitung bulan ini, saya sudah mengikuti 3 lomba. Kompetisi pertama alhamdulillah termasuk tulisan yang terpilih. Tulisannya bisa dibaca disini. 2 kompetisi terakhir baru akan diumumkan di awal Januari. Saya merasa bersemangat mengerjakan karena saya menemukan kesenangan dalam menuliskannya.

Target 2019

Karena saya sedang dalam tahap menikmati, rasanya membuat target blogging 2019 tidak begitu sulit karena semangat blogging itu masih menyala. Target saya yang mengelola ketiga blog yang saya punya itu. Blog berbahasa Indonesia ini alhamdulillah sudah dijalankan, saatnya mengaktifkan kembali blog berbahasa Inggris dan tulisan proyek carseat. Jika dijabarkan, kira-kira begini target saya.

1. Membeli domain pada blog

Setelah rendahnya motivasi menyiapkan dana untuk membeli domain, akhirnya saya mendorong diri saya sendiri untuk membeli domain pada dua blog saya: blog berbahasa Indonesia dan proyek carseat saya. Saya benar-benar baru tahu kalau ternyata harga domain tidak semahal itu, hanya berkisar seratus ribuan per tahun-nya. Sebenarnya, dengan menginvestasikan sebuah hobi dengan uang, secara tidak langsung membuat diri kita serius dan memiliki komitmen untuk tidak menyia-nyiakan uang yang sudah dikeluarkan. Saya kira ini adalah sebuah langkah awal untuk mendukung keseriusan dan komitmen

2. Tetap rutin menulis di blog berbahasa Indonesia

Tentu saja, kenapa saya harus usai menulis saat tantangan selesai. Saya akan rutin menulis dan menyelesaikan semua konsep tulisan (draft) yang sudah tersimpan. Tiap saya melakukan perjalanan atau liburan, saya berniat untuk rutin menuliskannya, tidak menunda atau malas-malasan seperti dulu. Padahal sepanjang tahun 2018 ini saya banyak melancong ke luar kota, artinya banyak pengalaman yang bisa digubah menjadi tulisan. Selain itu, belakangan ini saya juga terobsesi untuk memperbaiki gaya berbahasa saya pada tulisan. Saya ingin menggunakan bahasa baku untuk kesemuanya dan mulai menghilangkan istilah-istilah bahasa Inggris. Saya sangat terinspirasi dengan kicauan uda Ivan Lanin soal mengapa harus berbahasa Inggris padahal di Indonesia sudah ada mulai ada padanannya. Rencana blogging saya untuk blog berbahasa Indonesia adalah minimal seminggu sekali.

3. Mulai rutin menulis di blog berbahasa Inggris

Karena saya mulai terobsesi dengan berbahasa yang baik, tidak dipungkiri saya pun ingin berbahasa Inggris yang baik pula pada tulisan. Dengan jauh bertambahnya buku bacaan yang saya baca tahun ini, tidak terkecuali buku berbahasa Inggris, saya semakin ingin meningkatkan kualitas bahasan tulisan saya. Karena bagi saya, logika bahasa penulisan Indonesia dan Inggris sangat berbeda. Lancar menulis bahasa Indonesia bukan berarti lancar menulis bahasa Inggris. Sebagai contoh, pada tantangan blogger perempuan kali ini saya menulis 1 tulisan di blog berbahasa Inggris. Bayangkan, tulisan terakhir saya ada di Mei 2016! Padahal tulisan dengan topik ringan, tetapi sulit sekali saya menulis. Seperti tidak lancar di pikiran dan di ujung jari-jemari saya. Rasanya berbeda sekali dengan berbicara. Lama tidak berbicara Inggris, saya masih bisa dipuji oleh native yang berasal dari Amerika, Inggris dan Australia (ehem) meski rasanya banyak kosakata yang hilang. Sementara lama tidak menulis, membuat bagian otak saya gelap. Hal ini memperkuat keinginan saya untuk rutin menulis blog berbahasa Inggris dengan frekuensi minimal sebulan dua kali. Demi menghasilkan tulisan berkualitas.

4. Rutin mengurus proyek situs tulisan mengenai carseat dan keselamatan anak

Ini juga menjadi pekerjaan rumah terbesar saya. Tulisan saya disana hanya ada 2 ulasan terbit dan 1 draft mengenai ulasan carseat. Tampilan situs juga masih acak-acakan. Saya akan memulai dengan membeli domain sebagai awal ikatan komitmen saya. Selain itu, seorang rekan dari komunitas mengajak saya bekerja sama untuk membuat konten. Meski ia setuju untuk bayar setengah-nya, bagi saya setengah bagian totalnya tetap merupakan uang yang lumayan besar. Tapi tidak mengapa, artinya dengan mengeluarkan uang sebesar itu ditambah saya jadi "terpaksa" membuat konten, terbuka peluang untuk rutin menulis berdasarkan ajakan dari rekan saya itu. Hal ini cukup membuat saya bersemangat. Bersemangat akan menyambut peluang yang akan datang.

5. Tetap mengikuti kompetisi blog yang menarik

Yang membuat saya kehilangan setelah saya berhenti bekerja adalah adrenalin. Adrenalin saya bekerja dengan mengikuti kompetisi blog. Saat menyusun jadwal penulisan karena dikejar tenggat waktu, saat menulisnya dan saat menunggu pengumuman. Menyenangkan sekali rasanya. Adrenalin membuat saya bahagia untuk menunaikan tugas sehari-hari saya dirumah.

Dari semua target blogging yang saya buat ini, ada satu hal yang harus saya sadari. Batas toleransi harus dibuat karena Insya Allah di kuartal awal tahun 2019 saya akan melahirkan anak kedua saya. Artinya saya akan bertambah sibuk dan tidak akan memiliki waktu menulis sebanyak sekarang.

Semoga tahun 2019 bisa berjalan sesuai rencana dan lancar-lancar saja ya! 😊

5 Keinginan di Akhir Tahun (dan Belum Tercapai)

1 komentar
  
Akhir tahun sudah mendekati hilalnya, well, saya bukan orang yang berpedoman akan awal dan akhir tahun. Tetapi kadang-kadang suka terbersit beberapa keinginan yang ternyata sampai detik ini belum tercapai. Tidak semuanya ngotot harus tercapai di tahun depan, ada yang berharap keras ada juga yang berharap santai. Ada kesempatan mari, tidak ada dan bukan jalannya juga tidak masalah. Ini beberapa keinginan yang semoga tercapai secepatnya.


1. Haji


Jujur saja, dari 2-3 tahun lalu saya suka baper tiap baca thread soal daftar haji atau bahkan akan pergi haji. Sudah banyak teman-teman seangkatan yang sudah mendaftar haji reguler, bahkan teman yang tidak jauh umurnya juga sudah bisa mendaftar haji plus! Mana semakin kesini saya mendengar banyak cerita betapa panjangnya antrian haji reguler khususnya daerah Jakarta. Uang pangkal untuk mendaftar haji reguler saja kami belum ada rezeki, apalagi haji plus hehe.

Mendekati musim keberangkatan haji saya tidak kalah bapernya. Ada yang masih muda, tapi karena kerja bahkan hanya kuliah di luar negeri jadi bisa langsung dapat jatah haji tanpa perlu mengantri. Dalam hati saya berpikir, enak banget ya yang tinggal di luar negeri, sudah hidup lebih menantang, haji pun bisa dilaksanakan tanpa harus memikirkan antrian. Di tahun ini tentunya membuat saya tidak kalah baper, ternyata ada sekitar 2-3 ibu-ibu di grup mengabarkan akan berangkat haji. Dari tanggal keberangkatan dan diperkuat dari kepulangan saya tahu, mereka berangkat menggunakan haji plus. Saya tahu karena pada saat itu orang tua saya juga berangkat dengan haji plus. Wah, tajir-tajir sekali ya kenalan saya!

Tapi sudahlah, tidak usah dikaji. Kan tiap orang punya rejekinya masing-masing. Lagian, haji dan umroh itu masalah terpanggil atau tidak. Ada yang hartanya berlimpah, terapi tak kunjung haji. Ada yang hartanya kekurangan, malah bisa berangkat entah bagaimana caranya. Keadaan sekarang juga belum tentu bisa dijadikan acuan. Kejutan selalu ada, keadaan sekarang dengan nanti juga belum tentu sama. Yang penting dibanyakin saja doanya ☺️.

2. Travelling Bucket List


Dari dulu saya senang dengan yang namanya menjelajah, tetapi rejekinya memang saya tidak banyak jalan-jalan haha. Mungkin baru setahun belakangan ini saja saya terkesan banyak jalan-jalan karena kebetulan mengikuti suami saya tugas keluar kota di pelbagai tempat di Pulau Jawa. Bahkan kami sempat sekali mencicip luar negeri selama sebulan, Chiang Mai! Banda Aceh, Purwokerto, Surabaya,
 Jombang, Mojokerto, Bandung, Yogyakarta, Solo, Klaten, Semarang dan Insya Allah nanti Pemalang dan Cirebon. Mungkin bagi sebagian orang cukup remeh-temeh, tapi bagi saya yang pecinta eksplorasi kota dan mendapatkan kesempatan eksplorasi selama sebulan di beberapa kota diatas rasanya wow bersyukur sekali. Saya sungguh-sungguh menikmatinya meskipun katakanlah, kampung, tidak berpengaruh bagi saya. Ada banyak sisi-sisi kehidupan yang bisa dipelajari dan dinikmati.

Meskipun sudah pernah tinggal di luar negeri selama sebulan, tetapi tinggal di luar negeri minimal setahun menjadi bucket list saya semenjak 10 tahun yang lalu. Kenapa minimal setahun? Karena saya bukan tipe yang ingin membesarkan keluarga secara permanen di luar negeri, terlebih membesarkan anak di negara non-muslim. Saya ingin merasakan hidup yang benar-benar saling mengandalkan dengan suami, perbedaan kultur dan alam, rasa kangen terhadap yang tersimpan pada tanah air, mengambil kursus dan sertifikasi yang tidak ada di Indonesia, dan bercampur baur serta berkomunitas dengan orang-orang yang berbeda sama sekali dari kita. 

Daftar yang lain adalah merasakan musim dingin. Entahlah, tapi saya selalu suka dengan musim dingin dan ingin merasakannya dibanding musim yang lain. Palingan musim yang lain hanya minor seperti menyaksikan bunga sakura mekar di musim semi, atau bunga-bunga kemerahan di musim gugur yang berpadu dengan udara dingin. Sementara kalau musim dingin sih, ingin dimanapun itu juga haha. Musim dingin di Moskow apalagi 🙈. Padahal sebenarnya saya sudah beberapa kali merasakannya di Jazirah Arab dan sekali di salah satu negara bagian paling selatan di Amerika. Tetapi karena daerahnya di garis sub tropis, jadi jangan harap ada salju. Naik sedikit ke negara bagian yang lebih utara juga tetap tidak ada salju meski akhirnya ketemu dan merasakan salju pakai perjuangan perjalanan darat 1.5 jam haha. Ke Moskow juga pernah, meski cuma transit. Benar-benar salju bulan Januari disana, cuma lewat garbarata saja dinginnya masih terasa meski sudah pakai jaket yang tidak terlalu tebal. 

Sudah pernah melakoni jalan darat dari Aceh sampai ke Batu membuat saya menjadi maniak jalan darat sampai sekarang. Nomor satu impian sih tetap, road trip di Amerika. Kebanyakan nonton film mungkin, rasanya seru saja mengunjungi berbagai negara bagian dan ke-khas-annya serta didukung fasilitas jalan yang memadai. Yang menarik lainnya road trip di Inggris, ini juga gara-gara memantau perjalanan darat seorang teman dekat sampai ke Glasgow tempo lalu pas kebetulan sedang tugas disana. Pemandangan Inggris pinggir kota memang juara sih. Yang belakangan sering muncul di IG adalah roadtrip di New Zealand, tapi entah kenapa saya tidak begitu tertarik. Perjalanan kereta api juga menarik, terutama saya ingin merasakan overnight train yang memakai kasur. Soal kereta yang mana, tidak lain dan tidak bukan selain Trans Siberia menjadi urutan pertama saya! Bayangkan, Rusia yang menjadi negara dengan arsitektur dan sejarah favorit saya ditambah dengan perjalanan dari Asia menuju Eropa.

Bucket list yang lain adalah kunjungan ke negara dan tempat wisata yang bagi banyak orang sungguh aneh. Istilahnya anti-mainstream. Misalnya Korea Utara atau negara pecahannya Uni Sovyet. Saya tertarik Korea Utara semenjak baca dan melihat foto dari perjalanan seorang blogger Prancis yang tinggal di Jepang, Jordy meow. Sungguh menarik sepertinya masuk ke negara terisolir dengan gaya kehidupannya yang aneh serta suasana kota yang jadul. Dahulu saat seorang teman bercerita tertarik menjelajahi negara-negara pecahannya Uni Sovyet, tidak pernah terbersit ketertarikan sama sekali di pikiran saya. Tetapi entah mengapa semenjak melihat Opening Asian Games (lah apa hubungannya?) malah jadi sangat tertarik. Arsitektur Eropa yang bercampur dengan Mongol dan Asia ditambah dengan pemandangan Islam yang tidak terlalu ramai dibumbui oleh orang-orang yang berbahasa Rusia.

Belakangan ini saya malah suka kepikiran ingin ke daerah reservasi Suku Indian di Amerika dan mengunjungi kota-kota di sepanjang Sungai Mekong. Entah saya tidak kepikiran atau tidak sempat minta atau tidak ada waktu cukup, ya kenapa dulu saya tidak ke Reservasi Indian padahal menurut google reservasi terdekat hanya memakan 1.5 jam perjalanan darat dari tempat kami tinggal. Padahal waktu saya Texas saya sudah khatam buku Winnetou, sebuah trilogi buku mengenai kehidupan Indian Apache serta orang Eropa kepercayaannya karangan Karl May. Saya tergiur mengunjungi Vietnam sambil wisata sejarah juga gara-gara percakapan random dengan seorang bule Australia di kedai kopi di salah satu pelosok Kota Chiang Mai yang baru saja menyusuri kota-kota disekitar Sungai Mekong bersama anak lelakinya. Ditambah sewaktu saya disana, saya melihat Viet jet baru buka rute penerbangan baru Chiang Mai - Ho Chi Minh dan promo dengan harga 65 ribu rupiah! Jadilah saya susah move on sampai sekarang haha.

3. Menerbitkan Buku


Ketawa aja lah saya sama diri sendiri hehe. Sebenarnya keinginan ini sudah ada dari lama sekali. Baru 2 tahun belakangan saja saya baru kepikiran buku apa. 2 tahun loh dan saya belum melakukan progres apa-apa. Beberapa bulan lalu teman saya menawarkan sebuah kelas dan bimbingan online berbayar sekitar sejuta yang dalam sebulan sudah bisa diterbitkan menjadi buku. Ia berkata beberapa ITBMH sudah ada yang sukses menerbitkan buku dari kelas online itu. Dia yang sebelumnya pernah ikutan mengatakan benar-benar diperas habis tenaga. Eh, sebelum saya mengkonfirmasi dia langsung memberi nomor kontak saya kepada si pemilik  kelas online. Sial haha. Akhir bulan November saya mendapat WA mengenai akan dibukanya kelas baru mulai tanggal 8 Desember. Saya merasa tidak mampu karena sebulan terhitung setelahnya saya banyak keluar kota. Mungkin kalau batch berikutnya sebelum lahiran saya akan ikut. Mulai disiapkan saja bahannya, karena buku yang saya ingin tulis beul-betul membutuhkan riset dan data. Semoga segera terealisasikan ya dengan adanya tenggat waktu.

4. Penggunaan Carseat Masuk Peraturan dan Jadi Pengulas Berpengaruh


Saya sudah banyak melakukan riset mengenai baby gear semenjak hamil hasan. Pada akhirnya saya benar-benar tergugah untuk mendalami keselamatan berkendara pada anak yang menggunakan carseat merupakan salah satu tahapannya. Saya prihatin dengan kultur yang ada di Indonesia serta banyaknya keadaan fatal bagi anak akibat kecelakaan mobil. Beruntung 2 tahun lalu saya menemukan sebuah komunitas yang memiliki kepedulian yang sama. Komunitas Safekids Indonesia (SKI) sudah berafiliasi dengan Safekids Internasional. Bersama SKI kami memiliki mimpi untuk memasukkan penggunaan carseat serta aspek-aspek lainnya kedalam perumusan perundang-undangan keselamatan berkendara. Jalan masih panjang, terapi semoga segera terbuka jalannya.

Karena saya senang melakukan riset dan menulis ulasan, saya benar-benar ingin menjadi pengulas yang diakui. Yang diakui ini konteksnya menjadi narasumber. Saat saya “menjual diri” saya sadar ternyata saya bukan apa-apa dan masih menjadi anak kemarin sore hehe. Tapi tidak masalah, saya juga baru memulainya. Jalan masih panjang, jadi santai saja. 😎

5. Doktoral

Hehehehehehehehehehe



Loh kok ketawa?
Saya pernah menuliskan tentang ini pada blog saya yang berbahasa inggris disini. Berdasarkan di deskripsi atas, ini termasuk keinginan yang ada rejeki ayuk, tidak ada juga tidak masalah. Mengingat saya sudah 3.5 tahun meninggalkam dunia akademisi, mimpi ini menjadi terasa tidak valid lagi. Tapi apa salahnya toh jika masih menginginkannya, lagian juga tidak ngotot harus terkabul. Memang saya merasa menjadi akademisi pada saat itu sangat cocok bagi saya. Saya senang mengajar, saya senang berpikir, dan saya senang menulis. Benar-benar passion saya.

Sekarang keadaan sudah berbeda. Riset saya sudah basi, saya sudah tidak update terhadap perkembangan ilmu, dan saya sudah lama sekali tidak sempat membaca jurnal. Jikalau pun sampai sekolah lagi ya mungkin ambilnya S2 saja lagi.

Traveliving 2018

6 komentar
Terhitung semenjak lahir, sudah banyak kota yang saya diami. Saya lahir di Medan, kemudian tumbuh dan berkembang di Lhokseumawe, Aceh sampai usia 8 tahun. Mampir sebentar selama 1,5 tahun di Medan, pindah ke Jakarta dari SD kelas 6 sampai tamat SMA, kuliah di Bandung selama 6 tahun hingga sampai sekarang, 2018 saya bekerja, menikah dan memiliki anak di Jakarta. Dari keempat kota tersebut, domisili tercepat saya adalah 1,5 tahun. Bersekolah dan menjalani hidup. Namun bagaimana dengan tinggal di sebuah kota hanya dalam tempo 1 bulan saja?


Saya menyebutnya Traveliving. Travelling + Living. Saya puas jalan-jalan santai mengeksplorasi kota selama sebulan, tetapi saya juga melakukan kegiatan hidup seperti belanja, bayar tempat tinggal bulanan, mencuci-menyetrika dan memasak. Minusnya hanya saya tidak berkegiatan seperti berkomunitas karena hanya menetap sebentar. Problematika terbesar melakukan traveliving adalah disaat kita sudah nyaman, kita terpaksa harus meninggalkan kota tersebut. Bagaikan sedang sayang-sayangnya eh diputusin. Maka terjadilah momen yang terkenal dengan sebutan "susah move on".

Tahun 2018 adalah tahun dimana suami saya ditempatkan dalam jangka waktu sebulan di berbagai Rumah Sakit di tiap kota diluar Jakarta sebagai bagian dari program pendidikan spesialis. Suami mengajak saya dan Hasan ikut serta di semua kota, kecuali Banyumas karena terkait lokasi dan tempo kerja. Dalam jangka 1 tahun, praktis kami sudah berpindah tempat dari Purwokerto, Jombang, Yogyakarta, dan Chiang Mai pada bulan Januari, Juni, Juli dan Oktober. Terakhir Desember ini saya dan Hasan hampir ikut ke Pemalang selama sebulan. Namun setelah mempertimbangkan banyak hal, mungkin kami akan menyusul di minggu terakhir di bulan Desember. Semua kota yang kami tempati memiliki plus minus, daya tarik dan cerita sendiri.

Purwokerto


Kami memulai awal tahun 2018 di kota ini. Karena mengetahuinya amat sangat mendadak, alhasil kami membeli tiket kereta dengan harga liburan akhir tahun. Mahal. Kami berangkat pada tanggal 30 Desember 2017 menggunakan kereta api dengan durasi 5 jam yang sekaligus merupakan perjalanan kereta api pertama Hasan. Melalui jalan darat, orang tua saya sudah terlebih dahulu sampai di Purwokerto sehingga esok paginya sementara suami bertugas di rumah sakit, kami mencari tempat kos-kosan untuk sebulan. Alhamdulillah ketemu yang bagus dengan harga yang cukup masuk akal.

Saya sempat menulis banyak postingan tentang Purwokerto. Mengenai pengalaman kami disana, atraksi kotainformasi pusat perbelanjaanwisata alamWisata kuliner tradisional, hingga kuliner modern dan kafe. Sebagai salah satu kota mahasiswa karena disana terdapat universitas besar, yakni Universitas Soedirman, Purwokerto jauh melebihi dari ekspektasi kami soal wisata, kuliner dan kenyamanannya. 

Jombang


Jombang berlokasi di Jawa Timur, sekitar 80 km dari dari ibu kota provisi Jawa Timur. Kami melakukan perjalanan melalui Surabaya dahulu menggunakan pesawat terbang. Perjalanan kami bertepatan dengan tanggal orang-orang bersiap untuk mudik, jadi sekali lagi, kami membeli tiket yang agak lebih mahal dari harga biasa. Beruntung kami datang saat ruas tol Surabaya - Mojokerto (Sumo) sudah diresmikan. Perjalanan Surabaya-Jombang yang sebelumnya bisa memakan waktu hampir 3 jam kini bisa ditempuh melalui tol dengan hanya 1 jam lebih saja. Kami dijemput oleh supir untuk kemudian melakukan perjalanan darat dari Surabaya ke Jombang.

Jombang terkenal dengan kota santri. Sebuah kota kecil yang jauh dari hiruk pikuk apalagi kemacetan. Disana kami tinggal di rumah seorang dokter yang menjadi Supervisor suami saya selama disana. Alhamdulillah rejeki karena kami tidak membayar sepeser pun untuk tinggal dan makan disana. Berhubung kota kecil, tak banyak yang saya eksplor disana. Saya menemukan 2 buah taman yang indah, yakni Kebon Ratu yang letaknya agak diluar kota dan Kebon Rojo yang terletak di jantung kota Jombang. Alun-alun Kota Jombang tiap malamnya sangat ramai, apalagi saat akhir pekan. Hasan sangat bahagia dan menjadi pelanggan tetap alun-alun. Bayangkan, cuma bayar lima ribu untuk main sepuasnya di satu wahana! Ada Superindo yang merupakan tempat belanja rutin mingguan saya. Satu-satunya restoran cepat saji yang terkenal yang ada disana hanya ada KFC. Dibalik kesahajaannya, Jombang ternyata banyak memiliki kafe-kafe yang memiliki estetika modern layaknya di kota-kota besar. Bahkan, tak jarang mereka lebih serius dalam menyajikan bijih kopi-nya. 

Setengah bulan kami berpuasa di Jombang dan pertama kalinya kami merayakan Ramadhan di luar Jakarta. Sungguh pengalaman yang menarik. Selain itu, setengah pertandingan Piala Dunia 2018 juga kami tonton disana 😄.

Yogyakarta


Kami meninggalkan Jombang menuju Yogjakarta pada tanggal 30 Juni menggunakan kereta api yang ditempuh dalam waktu 4 jam. Sebenarnya suami bertugas di RSUD Klaten, namun dengan alasan agar kami tidak kebosanan, kami memutuskan untuk tinggal di Yogyakarta. Saya mencari kos-kosan menggunakan aplikasi Mamikos sudah semenjak berada di Jombang. Berhubung Yogyakarta adalah kota pelajar, tentu tidak susah mencarinya. Yang susah adalah mencari mana yang pada akhirnya kami ambil. Kosan yang saya pilih dekat dengan bandara dan tidak jauh dari jalan raya utama menuju Klaten. Menurut saya itu adalah pilihan terbaik karena suasananya enak rumahan, secara berkala ada yang memberihkan, lengkap dapur dan mesin cuci serta ke RSUD Klaten hanya ditempuh kurang dari setengah jam. Selain itu, saya juga bisa berjalan kurang dari 1 km menuju halte Trans Jogja terdekat.

Yogyakarta adalah kota paling enak yang kami tinggali dibandingkan dengan Purwokerto dan Jombang. Kota besar yang tidak terlalu besar, sedikit sekali ruas macet, dan berlimpah kuliner dengan harga yang jauh lebih murah ketimbang di Jakarta. Selain itu yang membuat saya sangat puas sebagai maniak sejarah adalah Yogyakarta bertabur dengan museum-museum, sesuai dengan statusnya sebagai kota sejarah. Kayaknya saya hampir tiap hari keluar rumah supaya terkekejar mengunjungi semua museum yang menarik hati.

Biasanya mobil dibawa suami pulang pergi ke Klaten. 2 kali seminggu saya antar jemput suami karena ingin menggunakan mobil untuk mengeksplorasi Yogyakarta. Jika saya malas menggunakan mobil, saya juga kerap kali menggunakan opsi Trans Jogja.

Kami juga berkesempatan mengunjungi kota Solo pada akhir pekan ketiga di bulan Juli. Berhubung suami harus masuk dulu ke RSUD, saya dan Hasan pergi duluan ke Solo menggunakan Kereta Api (KRL) Prambanan Ekspres. Haa, akhirnya resolusi saya menggunakan Prameks tercapai. Menarik sih soalnya tiketnya hanya 8000 rupiah per orang. Seperti yang saya duga, karena Stasiun Maguwo adalah stasiun terakhir di Kota Yogyakarta, jadi saya tidak memiliki ekspektasi perjalanan selama sejam mendapatkan kursi. Benar saja, saat kami menginjakkan kaki di Prameks, manusia-manusia sudah berjejal. Kami berdiri sekitar 15 menit sampai saya menawarkan anak saya untuk duduk dengan posisi saya berjongkok. Seorang bapak di dekat saya tidak tega dan menawarkan kursinya kepada kami. Alhamdulillah, rejeki.

Selain itu kami juga berkesempatan mengunjungi wisata alam yang berada sedikit di luar kota seperti Punthuk Setumbu yang populer karena AADC dan area museum disekitar Merapi. Karena makanan yang variatif dan murahnya harga, kami jadi sering jajan disana. Gudeg saja saya sampai mencoba 5 jenis, dan itu pun merasa masih kurang 😁! 

Chiang Mai


Terbaik! Satu-satunya kota yang berada di luar Indonesia. Awalnya suami mengajukan penempatan Chiang Mai untuk bulan Maret, meski tertunda alhamdulillah akhirnya suami dijadwalkan mendapat stase Chiang Mai untuk bulan Oktober. Saya diberi kabar ini oleh suami sekitar bulan Juli. Artinya 3 bulan sebelum keberangkatan.

Berawal dari drama pencarian tiket, akhirnya kami berangkat juga pada tanggal 29 September. Disana kami tinggal di dorm yang sudah disediakan oleh pihak sana (tapi tetap bayar!) yang berlokasi di kompleks FK Chiang Mai University (CMU) dan RS Maharaj daerah Suandok. Memang rejeki kami, bulan Oktober ada 2 libur panjang di Thailand: tanggal merah kematian Raja Chulalongkorn (Rama V) di minggu kedua dan kematian cucunya, Raja Bhumibol Adulyadej (Rama IX) minggu depannya. Artinya kami terutama suami jadi memiliki waktu lebih banyak untuk mengeksplorasi Chiang Mai, bahkan ke tempat wisata yang ada di luar kota.

Chiang Mai sungguh menyenangkan. Bayangkan, tempo hidup masyarakatnya yang seperti Yogyakarta, hampir tidak ada kemacetan dan pelataran alam pegunungan seperti Bandung dan Malang. Ya, Chiang Mai merupakan kota terbesar ke-2 di Thailand yang berada tepat disamping gunung (doi) Suthep serta tidak jauh dari gunung tertinggi di Thailand, Doi Inthanon. Orangnya juga ramah-ramah. Minus disana cuma bukan negara non muslim yang membuat kita tidak bisa sembarang makan, transportasi publik yang jelek dan minimnya masyarakat lokal yang bisa berbahasa Inggris. Lainnya, sempurna!

Dengan segala kemampuan, akhirnya saya bisa menemukan celah transportasi publik, tempat makan halal, dan tempat-tempat belanja produk halal. Yang saya senangi disini adalah, karena transportasi publik minim dan mahal kemana-mana, saya jadi banyak jalan. Dari standar jalan biasa saya di terakhir di Yogyakarta untuk jarak dibawah 1 km, di Chiang Mai bertambah menjadi dibawah 2 km!

Oh ya, biaya hidup disini juga lebih murah dari Jakarta, senangnya! Harga belanjaan dan standar makan di resto juga jadi murah. Bahkan harga sebuah boneka bebek yang lucu! Cerita dramatisasinya bisa dibaca disini. Hehe.

Sebagai penggemar sejarah, saya sangat puas dengan Chiang Mai. Kota bekas kerajaan dan museum-museum bagus nan terawat yang memberikan edukasi sejarah secara menakjubkan. Kalau dihitung kayaknya hampir tiap hari saya keluar rumah buat eksplorasi kota. Tetapi tetap saja, sebulan di Chiang Mai tidak cukup untuk menikmati semua wisata yang ditawarkan. Padahal kami tidak mengunjungi Wat (kuil) sama sekali. Wisata alam juga hanya Green Canyon dan Queen Sirikit Botani Garden. Padahal masih melimpah atraksi alam yang bagus-bagus disana. Bahkan kami belum sempat ke tempat wisata dalam kota, yakni Royal Park Rajapruek yang menawan dan Museum Nasional Chiang Mai.

Sepertinya Chiang Mai adalah kota yang paling memberikan kesan kepada kami. Benar-benar nyaman tetapi kemudian seperti langsung disuruh pulang buru-buru tanpa bisa mengucapkan selamat tinggal.