Tampilkan postingan dengan label travelling. Tampilkan semua postingan

Review Workcoffee Jakarta: Kafe yang Tidak Hanya Jualan Spot

13 komentar

Sebelum menulis review Workcoffee Jakarta, saya pernah berpikiran begini, 

“Ngapain sih banyak yang suka posting work from cafe, apalagi Ibu-ibu yang bukan kerja kantoran melainkan paruh waktu. Kan bisa kerja di rumah aja, lebih simpel, ga makan biaya. Bisa sambil jaga anak pula.” ujar saya dalam hati setiap melihat postingan di Instagram.

Saat saya melihat teman sesama Ibu-ibu memposting sedang kerja di kafe melalui beranda Instagram, sering terbersit di benak saya pemikiran-pemikiran “julid” seperti itu. Sampai akhirnya saya merasakan tersendiri sensasi bekerja di kafe.

review workcoffee jakarta

Ibu rumah tangga = adaptasi tanpa batas

Saya memiliki 3 anak berusia 6,5 tahun, 2,5 tahun dan 1 tahun. Pekerjaan saya selain urusan domestik sebenarnya tidak banyak, cuma sekitar penulis konten dan blogger saja. Karena biasanya saya membersamai para bocah ini sampai jam makan siang, saya baru mulai kerja saat anak ke-2 dan ke-3 tidur siang. Itu kalau sempat ya, haha. Soalnreya sering juga sulung kesepian karena cuma dia sendiri yang tidak tidur siang. Alhasil ia berkelakuan rusuh ngajakin adik-adiknya main pas jam tidur siang. Yang harusnya anak-anak tidur siang dan saya mengetik, mereka malah tidak tidur dan membuat saya rungsing sendiri.

Bagi Ibu rumah tangga yang memiliki anak, memiliki kepastian waktu jam kerja adalah nihil. Setiap harinya saya sering meniatkan untuk mengetik sehabis subuh sembari menunggu anak-anak bangun, siang hari saat anak tidur siang, dan malam hari sebelum tidur. Namun kenyataanya malah habis subuh si bungsu minta dikeloni tidur, jam tidur siang anak-anak pada melek, setelah anak-anak tidur malam pun saya malah sudah mengantuk duluan.


Salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh Ibu-ibu yang banyak berada di rumah adalah kemampuan adaptasi dan tidak “ngoyo”. Ya kalau tidak sesuai yang direncanakan, kita harus bisa adaptasi dan berdamai dengan diri sendiri. Oleh karena itu, saat mengambil “objekan”, selalu kenali diri sendiri dan pastikan beban kerja bisa berkompromi dengan “ketidakpastian” dari waktu luang kita.

Kalau ternyata keseharian saya tidak sesuai rencana, ya saya harus adaptasi. Tidak sempat mengetik sehabis subuh, ya sudah ngetik colongan sewaktu anak main air saat mandi pagi. Ketikan masih belum kelar saat malam sudah datang, ya saya korbankan waktu membaca buku sebelum tidur malam.

Tetap prioritaskan waktu tidur

Kalau kerjaan belum selesai tapi badan saya sudah tidak dapat diajak kompromi untuk bergadang bagaimana? Prioritas tidur dong! Haha. Ditch my work. Karena kalau tidur cukup, pikiran lebih segar dan emosi stabil. Esok harinya saya tidak marah-marah ke anak. Otak pun mendadak lebih pintar sehingga bisa mengerjakan ketikan lebih cepat dan efektif dari biasanya.


Faktanya, meski secara logika saya “ngutang” kerjaan, pada kenyataannya saya selesai membayar utangan kerjaan tersebut satu (atau sampai dua) hari berikutnya.

Jadi, know your body, know your limit. Jangan sampai menumbalkan tidur ya buibu!

Teknik adaptasi lainnya untuk mendapatkan suasana efektif saat bekerja adalah dengan cara mengasingkan diri dan “berpisah” sementara dengan anak. Salah satunya adalah kerja di kafe.

Review Workcoffee Jakarta



Pucuk ulam tiba, Hasan ada jadwal sekolah offline pukul 7.30. Maka dari itu, malamnya jari saya sudah menjelajah Google Map di gawai mencari tahu kafe mana yang sudah buka pukul segitu. Mayoritas kafe buka jam 10, beberapa buka jam 8. Akhirnya saya hanya menemukan satu kafe yang sudah buka sejak jam 7!

Seminggu silam, saya melihat postingan yang Review Workcoffee Jakarta melalui akun @jktgo. Tidak disangka, lokasinya sangat dekat dengan rumah saya. Terbersit keinginan muncul untuk mengunjungi, tapi kapan? Ngapain? Dalam rangka apa?

Ternyata saya berjodoh mengunjungi kafe ini sembari menunggu 1.5 jam Hasan sekolah di pagi hari. 15 menit waktu tempuh dari sekolah Hasan. 15 menit waktu tempuh yang sama kembali ke sekolah Hasan. Saya punya 1 jam waktu buat singgah di Workcoffee. Kenapa saya tidak sekalian saja mengetik sembari menikmati secangkir kopi hangat? 

Sekalian juga bikin tulisan review Workcoffee Jakarta ini.

Suasana yang nyaman

review workcoffee jakarta

Saya sampai di Workcoffee Pondok Labu jam 8 kurang. Meski terhitung masih pagi, ternyata sudah ada pengunjung lain yang datang. Terparkir sebuah mobil hitam dan 1 sepeda motor di sisi lainnya. Benar saja, sudah ada 3 pengunjung yang datang.

review workcoffee jakarta

Saya segera menuju meja kasir dan memesan segelas cappucino. Kasir melayani dengan ramah, hanya saja yang sedikit saya sesalkan, pembayaran yang diterima hanya gesek debit! Entahlah, menurut saya ini cukup aneh, padahal kafe ini tidak baru banget. Saya minta via QRIS tidak bisa. Bahkan pembayaran tunai yang merupakan metode pembayaran konvensional juga tidak bisa.

Petugas kasir menanyakan di mana saya duduk dan memberikan nomor tunggu berbentuk kayu segi enam sedikit tebal dengan ukiran angka disana.

Sembari menunggu kopi saya diracik, saya berkeliling ke seluruh penjuru Workcoffee Pondok Labu. Konsepnya cukup menarik. Katanya, gaya arsitektur yang digunakan adalah Bauhaus yang meleburkan gaya indistrual dengan tetap memperhatikan aestetik dan fungsional secara bersaman. Area Workcoffee Jakarta secara garis besar dibagi menjadi indoor, semi outdoor, dan outdoor.

Area Indoor berada di belakang kasir. Menyediakan meja panjang untuk meeting bersama maupun meja-meja kecil sebagai spot apatis.

review workcoffee jakarta
review workcoffee jakarta

Area semi outdoor seperti pilihan tempat saya duduk. Ada meja panjang dengan colokan di tengahnya serta meja-meja kecil dan meja ukuran bar. 

review workcoffee jakarta

Untuk area outdoor, pengunjung bisa memilih duduk di meja batu ataupun memilih duduk santai sembari bercengkerama di beanbag. Ada juga area outdoor lantai dua sebagai area kapasitas tambahan bagi pengunjung. Namun mengingat matahari Jakarta yang panas terik, area outdoor semacam ini tidak cocok dijubeli siang hari, mungkin sore hari dimana matahari lebih bersahabat dan saat malam hari.

review workcoffee jakarta
review workcoffee jakarta

Saya pun duduk di spot semi outdoor dan saya adalah satu-satunya pengguna meja panjang tersebut. Sesekali saya merasakan angin semilir sejuk berhembus mengenai ujung kulit berhubung semalam sempat hujan. Matahari Jakarta Selatan juga belum terik karena masih tergolong pagi.

Banyak pengunjung yang mengatakan review Workcoffee Jakarta seperti di Bandung meskipun sampai sekarang saya tidak paham dengan suasana Bandung apa yang dimaksud. Padahal, saya sempat 6 tahun tinggal di Bandung dan sama sekali tidak merasakan romantisasi yang dibesar-besarkan seperti itu. Romantisasi Bandung bagi saya hanya berupa kehidupan kampus yang penuh kenangan, teman-teman yang menyenangkan dan segala aktivitas di segala sudut kota Bandung. Kota Bandung yang menyenangkan karena tidak butuh AC untuk tidur karena bahkan menyentuh lantai di malam hari saja pun sangat dingin.

Segelas kopi yang digarap serius

review workcoffee jakarta

Tak lama kemudian, pelayan datang memberikan pesanan cappucino saya sembari meminta kembali nomor tunggu. Saya pun menyesap kopi yang suhunya nyaman untuk langsung diminum. Tidak terlalu panas namun tetap memberikan rasa hangat di dada.

Saya suka dengan pilihan biji kopi yang disajikan pada secangkir cappucino saya. Rasanya seperti sereal manis di regukan awal dengan sensasi bersih dan menyisakan sedikit rasa kelat di pinggir lidah saat sudah melewati kerongkongan.

Salah satu alasan saya memilih Workcoffee sebagai tempat transit saya sembari menunggu anak pulang sekolah karena saya sempat membaca review Workcoffee Jakarta menyajikan kopi dengan kualitas yang tidak main-main. Benar saja, Workcoffee menggunakan biji kopi dengan judul “Divergent” hasil roastery Libertad Union. Tampaknya Workcoffee Jakarta bekerja sama dengan Libertad Union, tampak dengan bangunan hitam beratap runcing dengan gaya industrial menjadi pusat lansekap Workcoffee Jakarta.
Biji kopi tidak akan menghasilkan performa maksimal jika tidak disajikan dengan baik. Barista yang berpengalaman meramu biji kopi kualitas terbaik dengan mesin espresso La Marzocco Classic dan digiling dengan mesin Victorio Arduino Coffee Grinder menjadi segelas kopi pilihan kamu. Oh ya, Workcoffee Jakarta juga bisa menyajikan manual brew method sepereti v60 ya!

Break untuk lebih produktif

review workcoffee jakarta

Satu jam ditemani oleh segelas cappuccino nikmat dengan suasana yang nyaman membuat satu artikel kerjaan saya selesai. Sulit dibayangkan. Tidak saya hanya artikel, tetapi saya juga masih sempat bercengkrama sebentar dengan barista serta berkeliling untuk memfoto suasana kafe agar saya dapat membuat review Workcoffee Jakarta ini.

Harga

Harga seluruh minuman dan makanan di Workcoffee Jakarta menurut saya cukup mahal untuk ukuran kafe yang berlokasi sedikit di pinggiran Jakarta, bukan di jantung Ibukota seperti SCBD ataupun Kuningan. Namun, jika mempertimbangkan Workcoffee Jakarta yang menyajikan minuman berkualitas didampingi dengan suasana yang menenangkan nan estetik, rasa-rasanya banderol harga yang diberikan cukup masuk akal.
Selain itu, pengunjung tidak usah pusing dengan harga "bohong", karena harga yang ditampilkan di menu sudah termasuk pajak lho! You pay what you see.

Saya pun melangkah keluar dari kafe dengan perasaan puas dan bahagia. Memang kadang-kadang kita para Ibu perlu “menghadiahi” diri sendiri dengan caranya masing-masing. Yang ekstrover suka bergaul, mungkin bisa pergi nongkrong dengan teman sebentar tanpa dirongrongi anak. Yang introver seperti saya, bisa menyendiri sembari menikmati secangkir kopi favorit sebentar di suasana yang berbeda.

Tidak perlu sering, tidak perlu mahal, dan tidak perlu lama seperti saya yang (mungkin) membatasi work from cafe maksimal seminggu sekali dan hanya menikmati segelas kopi sendirian di suasana baru selama satu jam. “Hadiah” kecil buat diri sendiri seperti ini tidak melulu perkara soal menghabiskan waktu dan uang ataupula cuma sok-sokan.

Ternyata break seperti ini juga bisa membuat kita lebih produktif dan bahagia. Termasuk dengan melakukan break ini, nambah deh konten blog saya soal review Workcoffee Jakarta haha.

Menyenangkan juga ya eksplor kafe. Jadi tertarik membuat konten kafe sekitaran tempat tinggal saya yang memiliki nuansa pinggiran, urban, dan sekaligus pusat dinamika bisnis kulner. Semoga segera muncul kontek seperti review Workcoffee Jakarta ini.


Kalau kamu, bagaimana “hadiah” kecil untuk diri sendiri yang ternyata membuat lebih produktif dan bahagia?

4 Rekomendasi Kafe di Chiang Mai: Bagaimana Kedai Kopi Berjuang Memajukan Petani Lokal

30 komentar

Saat menulis rekomendasi kafe di Chiang Mai ini, saya teringat perkataan dari Tejo Pramono, salah sorang pendiri Kedai Kopi Ranin yang terletak di bilangan Kota Bogor. 

“Petani kita menjadi tak berdaya, hasil panen kopi kita habis direguk oleh tengkulak. Tengkulak semakin kaya raya, petani tidak mendapatkan apa-apa.”
rekomendasi kafe di chiang mai

Beberapa tahun lalu, saya dan rekan saya berkunjung ke sebuah kedai kopi di bilangan Bogor bernama Kopi Ranin. Kabarnya, sang pendiri adalah mantan aktivis kampus.

Pak Tejo sang pendiri pun berkisah bagaimana ia mulai merintis usaha Kopi Ranin tersebut. Ia berkisah kalau salah satu tujuan mendirikan Kopi Ranin ini adalah untuk membantu mensejahterakan petani-petani kopi agar tidak selalu serta-merta “dijajah” oleh tengkulak.

Jiwa saya menjadi sedikit bergejolak setelah mendengarkan cerita tersebut. Paradigma saya soal kedai kopi pun berubah. Saya pun menjadi semakin selektif saat memutuskan akan menyambangi kedai kopi mana. Apakah kedai kopi budak kapitalis, atau kedai kopi yang merupakan “teman” yang sama-sama berjuang untuk kesejahteraan petani.

Ini juga mindset yang saya bawa saat menjajal kafe Chiang Mai saat kami sekeluarga tinggal disana selama sebulan.

Kamu akan tahu perbedaan nuansanya dan “jiwa” yang dibawa oleh pemilik kafe di Chiang Mai setelah menyimak cerita napak tilas saya di pelbagai kafe Chiang Mai.

Selamat datang di Chiang Mai


rekomendasi kafe di chiang mai

Chiang Mai adalah Kota terbesar kedua di Thailand yang terletak di sebelah utara Thailand dan berada di dekat gunung Suthep dan Inthanon. Kurang lebih Chiang Mai kayak Bandung lah. Udaranya juga lebih enak daripada di Bangkok (katanya).

Chiang Mai adalah kota yang kental unsur budayanya, jadi semacam Yogyakarta-nya Thailand. Bentuk kotanya juga unik. Jadi, ada area yang benar-benar berbentuk kotak dan dikelilingi oleh parit buatan. Ini merupakan denah kota Chiang Mai asli sejak jaman dulu. Alasan mereka membuat kota semacam ini adalah untuk mempertegas benteng Kerajaan Lanna. Betul, berbeda dengan Thailand yang di bawah kerajaan Siam, Chiang Mai berada dibawah Kerajaan Lanna. Kerajaan Siam dan Lanna pun punya hubungan persahabatan dan konflik masing-masing.

Tidak hanya kota yang sarat nilai historis, Chiang Mai juga dikenal dengan kultur kopinya yang terkenal. Seperti apakah kultur kopi Chiang Mai hingga sampai dikejar oleh turis mancanegara? Apa sajakah rekomendasi Kafe di Chiang Mai?

Rekomendasi Kafe di Chiang Mai

1. Graph Cafe

Alamat: 25/1 Ratvithi 1, Mueang Chiang Mai District, Chiang Mai 50200, Thailand

rekomendasi kafe di chiang mai

Graph Cafe adalah tempat persinggahan kopi pertama saya dan Hasan selama di Chiang Mai sekaligus menjadi rekomendasi kafe di Chiang Mai pertama.

Di hari itu, saya dan Hasan memiliki rencana prioritas mengunjungi museum Lanna Folklife. Karena tidak ingin rugi dalam sekali perjalanan, saya juga mencari rekomendasi kafe Chiang Mai yang dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki dari museum tersebut. Pilihan pun jatuh pada Graph Cafe.

Kami berangkat dari penginapan menggunakan songthaew sampai di depan museum. Selesai kunjungan museum, kami pun berjalan kaki menuju Graph Cafe.

Graph Cafe berlokasi di sebuah gang yang tenang dan damai di tengah hiruk pikuk arus turis yang berlalu lalang. Hampir kesulitan mencari, akhirnya saya menemukan kafe ini di pinggir gang dengan plang kecil yang menonjol. Wajar kafe ini agak sulit dicari. Kamar saya bahkan lebih luas dari Graph Cafe. Luas kafe Chiang Mai ini hanya 2,5 x 4 m saja mungkin?

Kami pun segera memasuki ruangan kecil itu. Tampak 2 pegawai kafe yang hadir. Satu bertindak sebagai barista, satu lagi di kasir atau melayani pelanggan. Di meja barista terdapat beberapa mesin khas kedai kopi seperti mesin Espresso. Terlihat juga jejeran brownies yang dibungkus plastik beserta setoples kaca berisi kukis. Di dalam kafe hanya ada beberapa meja kotak dan kursi bulat untuk pelanggan karena besar ruangan yang terbatas.

Di sisi seberang meja kopi, terdapat nakas kayu jati yang berisikan jejeran kamera analog, timbangan manual dan mesin penggiling kayu. Nuansa ruangan ini mengingatkan saya kepada laboratorium air Teknik Lingkungan ITB yang berada di gedung lama dan memiliki nuansa Belanda yang khas.

rekomendasi kafe di chiang mai

Untung saya dan Hasan mendapatkan tempat duduk meski tempat duduk amat terbatas. Di depan kami duduk seorang pria pirang paruh baya dengan seorang anak laki-laki yang berusia belasan tahun.

Setelah melihat-lihat menu, akhirnya saya memesan Sompetch yang merupakan minuman dingin dengan campuran jeruk segar, coklat, susu, dan espresso. Di bagian pusat rasa terasa espresso dengan note berry. Campuran jeruk segarnya memperkaya rasa asidik dari espresso tersebut. Kemudian, jalinan rasa tersebut dilembutkan oleh rasa creamy susu dan dipertegas oleh rasa coklat. Bold, sour, sweet, dan soft dalam satu regukan.

rekomendasi kafe di chiang mai


Saya memang membawa botol minum milik Hasan, tapi saya juga membelikan ia sepotong kue brownies yang kemudian dipertanyakan status kehalalannya oleh suami sesampainya kami di rumah.

“Is this the first time you here?”, ujar sang pria di depan saya membuka pembicaraan.

Kami pun akhirnya banyak berbincang. Ternyata pria di depan saya berasal dari Australia yang sedang berlibur panjang bersama anak laki-lakinya yang sedang duduk disampingnya. Mereka melakukan perjalanan menyusuri Sungai Mekong dengan mengunjungi kota-kota sekitarnya. Setelah perjalanan menyusuri Sungai Mekong tersebut, mereka akan kembali dahulu ke Melbourne, Australia selama beberapa bulan untuk kemudian tinggal sebulan di Bali.

“Hah, kok orang bule tajir-tajir ya, liburan bisa sampai sebulan begitu. Kita aja perasaan semingguan aja engap uangnya”, pikir saya dalam hati.

Belakangan saya baru tahu kalau biaya hidup yang sangat rendah di negara ASEAN termasuk Indonesia  membuat warga negara Australia yang memiliki living cost lebih tinggi pasti merasa duitnya tidak habis-habis dengan hidup di negara-negara ASEAN.

“This is the second time we are coming to Graph Cafe, but not this branch.”, timpal seorang gadis berusia tiga puluhan yang duduk di belakang saya. Ia duduk berdua dengan seorang rekan perempuannya yang berusia sama. Mereka berasal dari Singapura dan pada hari itu juga mereka langsung menuju Bandara Internasional Chiang Mai untuk melanjutkan perjalanan ke negara berikutnya,

Ternyata ada 2 cabang Graph Cafe di Chiang Mai. Satu di Ravithi 1, tempat yang saya kunjungi ini, dan satu lagi di Nimmanhaemin yang ternyata dekat sekali dari tempat kami menginap. Saya kira cabang di Nimmanhaemin lebih luas, ternyata kurang lebih sama saja.

Di Graph Cafe, ini kali pertamanya saya merasakan suasana ngopi yang “intim” dimana para orang asing bertegur sapa bahkan tak jarang membagikan ceritanya. Berbeda sekali dengan kedai kopi terkenal punya nama bernuansa modern yang sarat nuansa kapitalis yang biasa saya rasakan di tengah kota Jakarta.

Graph Cafe yang berukuran kecil tidak menawarkan koneksi wifi dan tidak ramah “laptop” selayaknya kebanyakan imej kedai kopi. Kafe ini memiliki value yang hangat, bersahaja, dan akrab.

2. Ristr8to

Alamat: 15/3 Nimmanahaeminda Road, Tambon Su Thep, Mueang Chiang Mai District, Chiang Mai 50200, Thailand

rekomendasi kafe di chiang mai

Chiang Mai University yang menempati lahan seluas 14 kilometer persegi dan terletak tepat di depan gunung Suthep (Doi Suthep) membuat universitas ini memiliki pemandangan yang mengagumkan. Di jantung kampus terdapat Reservoir Ang Kaew \yang memiliki pemandangan menakjubkan.

Tepat dugaan saya, ternyata Chiang Mai University menawarkan tur dalam kampus dengan menggunakan mobil listrik. Pintu timur kampus hanya berjarak 1 kilometer lebih dari tempat penginapan. Saya pun memutuskan untuk melakukan tur kampus bersama Hasan. Tidak lupa saya mencari rekomendasi kafe di Chiang Mai yang berlokasi di sekitar kampus. Pilihan pun jatuh pada Ristr8to.

Apes, ternyata saya kurang riset. Portal untuk naik mobil listrik tur kampus ada di sebelah utara kampus sementara saya memasuki kampus dari sisi timur. Alhasil saya pun harus berjalan sejauh 2.5 kilometer sembari mendorong stroller demi menuju reservoir. Sisi baiknya, saya jadi lebih menikmati suasana kampus sambil sesekali mengambil foto.

rekomendasi kafe di chiang mai

Setelah sampai di reservoir dan menikmati suasana, saya pun memutuskan menggunakan jasa GrabCar meski jarak ke Ristr8to tidak jauh-jauh amat.

Kenapa saya pilih Ristr8to sebagai rekomendasi kafe di Chiang Mai persinggahan kami? Ternyata Ristr8to seterkenal itu pada jamannya karena sang barista yang juga sekaligus pemilik kafe memenangkan berbagai kontes barista. Tidak cuma di Chiang Mai saja, Ristr8to terkenal satu Thailand! Tidak heran kafe ini ramai sekali baik di tempat duduk luar ataupun dalam ruangan. Nimmanhamnida ini adalah lokasi turis dimana banyak berlokasi puluhan resto dan kafe. Kurang lebih seperti Kemang di Jakarta.

Di bagian eksterior, tampak plang jalan berwarna hitam yang menunjukkan arah berbagai asal biji kopi yang digunakan di kafe ini. Pemilik kafe juga dengan bangganya mencantumkan Australia Latte Art Champion dan World Champion Coffee Bean di plangnya. Ternyata tidak hanya kafe, tapi Ristr8to juga menjual biji kopinya serta mengadakan sekolah barista. Pantas saja kalau Ristr8tto menjadi rekomendasi kafe di Chiang Mai oleh banyak orang.

rekomendasi kafe di chiang mai

Eksterior yang menarik, membuat saya tertarik lebih melangkah untuk membuktikan klaimnya.

Interior Ristr8to memiliki nuansa industrial hitam dengan aksen kayu. Saya suka guratan kapur di dinding interior yang berwarna hitam berisi informasi dan infografik seputar proses kopi, jenis biji kopi, hingga daftar menu. Pelayan dan barista juga menggunakan kaos bebas berwarna hitam.

rekomendasi kafe di chiang mai

Menu kopi yang dijual oleh Ristr8to sangat lengkap. Mulai dari menu klasik seperti espresso dan cappucino, kreasi kopi yang diikutsertakan dalam kontes barista, hingga coffee liquor. Saya memesan segelas Dopper yang diklaim pernah menang di kejuaraan.

rekomendasi kafe di chiang mai

Menariknya, di halaman daftar menu kopi juga ada daftar 10 kedai kopi yang disarankan untuk Ristr8to agar disambangi juga. See? They empowered each other. This is the priceless coffee culture in Chiang Mai!

Tidak lama kemudian, pelayan datang membawakan segelas Dopper dengan gelas beling yang beralaskan tatakan kayu. Lucunya, tatakan kayu ini terdapat guratan identitas dari kopi tersebut. Tampak kolom dengan tulisan Acidity, Saltiness, Sweetness, Bitterness yang diberi ceklis oleh barista dengan pensil tingkat lemah atau kuatnya.

rekomendasi kafe di chiang mai

Konsep yang sungguh menarik. Sebelum menyeruput kopi, pelanggan mendapatkan gambaran visual kira-kira apa yang akan dirasakna oleh indra pengecap.

Dopper ini cukup unik, pada penjelasanyang tertulis di menu menunjukkan bahwa cara terbaik menikmatinya adalah dengan langsung menghirup selagi panas!

3. Omnia Cafe & Roastery

Alamat: 181/272 Photharam Rd, Mueang Chiang Mai District, Chiang Mai 50300, Thailand

rekomendasi kafe di chiang mai

Sejujurnya saya juga tidak menyangka bahwa Omnia Cafe ini berada di daftar rekomendasi kafe di Chiang Mai. Kenapa?

Karena letaknya.

Bertepatan dengan libur panjang akhir pekan di Chiang Mai, suami pergi ke luar kota (baca: Phuket) untuk mengikuti sebuah seminar disana. Benar-benar libur panjang karena akhir pekan ditambah dengan 2 tanggal merah memperingati kematian Bhumibol Adulyadej atau dikenal dengan Rama IX. Rakyat Thailand tampaknya sangat mencintai sosok ini. Lihat saja, liburnya sampai dua hari.

Tinggallah saya dan Hasan hanya berdua selama 3 hari. Dibanding bengong di penginapan, saya memutuskan untuk menyusun jadwal berpelesir selagi ditinggal suami.

Salah satu tujuan saya adalah The Highland People Discovery Museum. Saya sengaja merencanakan kunjungan museum ini di akhir-akhir minggu tinggal di Chiang Mai. Soalnya museum ini terletak sedikit jauh ke luar kota. Museum ini menampilkan sejarah suku asli yang awalnya menempati Chiang Mai. Kenapa disebut Highland People? Karena suku-suku ini menempati di area pegunungan.

Seperti biasa, saya mencari rekomendasi kafe yang berlokasi di sekitar sana. Ketemu! Pilihan saya jatuh kepada Omnia Cafe yang dapat ditempuh sekitar 1,2 km dengan jalan kaki. Jadi, mulailah perjalanan saya menggunakan Grab sampai ke museum dan kemudian berjalan kaki ke Kafe Omnia.

Kami menempuh perjalanan dengan sinar matahari yang menyengat, dan hawa panas yang kering. Lokasinya benar-benar tampak sudah di luar kota. Saya bahkan bagaikan menyebrang jalan protokol pantura. Setelah berpeluh keringat, akhirnya tampak juga kafe mungil dengan plang bertulisan “Omnia Cafe & Roastery”.

rekomendasi kafe di chiang mai

Kafe mungil dengan nuansa rumahan ini tampak hangat. Saya disambut dengan satu orang perempuan yang tampaknya pelayan dan satu orang pria yang merupakan baristanya. Setelah memarkir stroller di luar, saya dan Hasan memilih tempat duduk. Lebih tepatnya bebas memilih tempat duduk karena kami satu-satunya (dua) pelanggan di saat itu!

Sembari santai, saya memilih menu kopi yang ditawarkan dari daftar menu yang menggunakan kertas coklat daur ulang tebal dan dijepit dengan papan jalan. Ya mirip papan kalau mau ujian namun lebih estetik.

rekomendasi kafe di chiang mai


Meski habis bermandi peluh, saya urung memesan kopi dingin. Akhirnya pilihan jatuh pada Cappuccino (saja).

Tidak lama kemudian, pelayan datang dengan membawa secangkir hitam Cappuccino dengan 2 gelas air minum dingin bertatakan nampan kayu. How thoughtful! Pelayan membawa dua gelas karena menghitung juga pelanggan kecil yang datang aka Hasan.

rekomendasi kafe di chiang mai

4. Akha Ama Coffee (La Fattoria)

Alamat: 175/1 Rachadamnoen, Tambon Si Phum Mueang Chiang Mai District, Chiang Mai 50200, Thailand

rekomendasi kafe di chiang mai

Bisa dibilang, ini adalah kedai kopi terfavorit saya di daftar rekomendasi kafe di Chiang Mai yang saya buat ini.

Tidak terasa, sudah memasuki minggu terakhir saya dan sekeluarga di Chiang Mai. Saya sangat ingat itu adalah hari Jumat karena saya janji ketemuan dengan suami sehabis ia salat Jumat di masjid area Chang Khlan yang merupakan wilayah pemukiman yang banyak dihuni oleh Muslim.

Berdasarkan jarak dormitori dan Masjid Chang Khlan, kedai kopi yang berada di tengah-tengah adalah Akha Ama Coffee. Akha Ama Coffee sendiri seperti Ristr8tto dan Graph Coffee, memiliki beberapa cabang. Namun yang saya datangi adalah cabang yang berada di Kota Tua. Jarak dari dormitori ke Akha Ama La Fattoria kurang dari 2 km. Oleh karena itu, saya memutuskan berjalan kaki saja sambil mendorong Hasan di stroller. Saya selalu senang berjalan kaki karena dengan berjalan kaki, saya dapat menikmati dan mengamati berbagai hal serta melakukan street photography. Apalagi kurang dari seminggu lagi kami akan meninggalkan Chiang Mai kembali ke tanah air.

Selama perjalanan, saya baru menyadari bahwa di depan Rumah Sakit Maharaj Nakorn terdapat jajaran kedai makan kaki lima. Saya mencium bau babi yang diolah menjadi berbagai makanan dimana bau seperti ini tidak pernah saya hirup selama tinggal di Jakarta.

rekomendasi kafe di chiang mai
Rumah Sakit Maharaj Nakorn

Penampakan saya yang tidak warga lokal banget membuat seorang turis asing menghentikan sepedanya.

“Do you know where Wat Suan Dok is?”

1 bulan kami di Chiang Mai, 1 bulan pula kami tidak pernah mengunjungi kuil. Tapi saya tahu kami tinggal di area Suan Dok. Pun, saya yang hobi “berjalan-jalan” via Google Map pun dengan mudah menemukan dimana Wat Suan Dok.

“Just keep straight and you can turn left in front of the University Dentistry building.”

Setengah jam berlalu, saya dan Hasan pun sampai di depan Akha Ama La Fattoria. Posisinya mudah ditemukan. Banyak turis yang sedang bercengkrama sembari menyesap kopi di teras. Kami pun masuk. Beruntung kami langsung mendapat tempat duduk sembari memesan Cafe Latte.

rekomendasi kafe di chiang mai

Bagi saya, Akha Ama bagaikan gerai kopi Indie idealis. Pendiri Akha Ama Coffee adalah Lee Ayu Chuepa yang merupakan anak “desa” suku Akha Suku Akha sendiri adalah suku asli Thailand utara. Ia termasuk orang pertama di kampungnya pada saat itu yang mengecap pendidikan perguruan tinggi.

Ia pernah bercerita di TEDx Talks bahwa petani kopi di kampungnya sama sekali tidak pernah menikmati kopi. Mereka hanya bertani untuk menjaga roda perekonomian kampungnya. Lee Ayu pun tergerak untuk membuat kedai kopi yang benar-benar memberdayakan petani lokal. Tersirat dari motto Akha Ama Coffee: Socially. Empowered. Enterprise.

Di sudut kiri tempat saya dan Hasan duduk terlihat rak yang sebagian besar berisikan bijih kopi yang berasal dari berbagai ladang kopi di Thailand. Ada juga beberapa bungkus bijih kopi impor. Selain itu, saya juga melihat buku resep makanan Thailand vegetarian yang dikarang oleh orang Thailand juga.

rekomendasi kafe di chiang mai

Akha Ama Coffee La Fattoria sungguh terasa hangat. Pelayannya ramah juga diimbangi dengan rasa kopi berkualitas yang disajikan.

rekomendasi kafe di chiang mai

Saya perhatikan, sebagian besar kedai kopi lokal di Chiang Mai didesain bukan untuk bekerja, tetapi lebih untuk bersosialisasi. Terlihat dari ukuran yang tidak terlalu besar, meja yang kecil, dan jarak antar tempat duduk yang dekat.

Saya merasa sangat beruntung diberi kesempatan untuk ke Chiang Mai selama sebulan, termasuk melakukan perjalanan dari kedai kopi ke kedai kopi lainnya di kota yang kental akan budayanya serta terkenal akan kedai kopinya. Makanya, saya merasa butuh menulis daftar rekomendasi kafe di Chiang Mai ini.

Kedai kopi yang saling mendukung satu sama lain, ruangan kedai kopi yang ramah dan cuaca yang menyenangkan. Pantas saja kultur kopi di Chiang Mai menjadi incaran banyak turis.

Jadi sekarang kamu sudah mulai tahu kan pesona Chiang Mai? Ayo kunjungi Chiang Mai dan pastikan mengunjungi salah satu rekomendasi kafe di Chiang Mai di atas!

Travelling bersama Balita: Tips dan Trik

3 komentar
Bagi sebagian orang, jalan-jalan bersama balita itu hanya bagaikan mengasuh balita tetapi pindah tempat. Padahal kita bisa memanajemen perjalanan supaya berpelesir bersama balita menjadi suatu hal yang menyenangkan. Setidaknya meminimalisir kerepotan yang akan dihadapi. Terutama jika hanya berdua saja tanpa bantuan suami.

travelling bersama balita
Sepanjang tahun 2018, saya memiliki cukup banyak pengalaman berwisata hanya berdua dengan Hasan, anak pertama kami. Di tahun itu suami mendapat tugas stase luar kota, yakni: Purwokerto, Jombang, Jogja-Klaten dan Chiang Mai selama 1 bulan untuk masing-masing kota. Saya dan Hasan juga turut serta, hanya stase Banyumas yang kami tidak ikut. Saat itu Hasan baru berusia 2.5-3.5 tahun. Karena pada dasarnya suami disana bekerja, otomatis waktu luang bertiga untuk jalan-jalan hanya akhir pekan. Itu pun belum tentu. Sabtu dan Minggu juga harus visit pasien. Cuma stase Klaten dan Chiang Mai saja yang sabtu-minggu benar-benar kosong. Otomatis waktu wisata bersama sangat amat terbatas.

Dengan hanya keluar rumah 2-3 hari di hari kerja selama sebulan benar-benar membuat kami bisa mengekspolorasi tempat-tempat wisata menarik suatu kota. Mungkin sekitar 80-90% dari tempat-tempat yang kami minati. Biasanya waktu berpelesir hanya sampai jam makan siang. Kenapa hanya sampai jam makan siang? Dalam rangka berhemat! Hehe. Saya malas membeli makan siang khusus untuk Hasan, apalagi jika kuliner yang hendak saya jajal bercita rasa pedas, membuat tidak bisa berbagi piring. Dibanding mahal beli menu lain, mending pulang dan makan siang menu yang sudah saya masak sebelum berangkat.

Baca tentang Perjalanan di Purwokerto
Baca tentang Perjalanan di Chiang Mai

Sebagai introver dan penjelajah tipe perkotaan, mengeksplorasi kota-kota ini sangat amat menyenangkan bagi saya. Tidak hanya untuk saya, tapi bagi Hasan. Ia bisa mendapat pengalaman-pengalaman baru di tempat baru dengan pengalaman yang belum pernah didapatkan di Jakarta, kota kami tinggal. Bergerak hanya berdua bersama Hasan di hari kerja benar-benar suatu kegiatan untuk kami. Sebagai ibu beranak satu pada saat itu, berjalan bersama Hasan adalah "the new introvert thingy". Alhamdulillah dikaruniai anak yang tidak rewel diajak wisata. Eksplorasi yang kami lakukan adalah wisata museum, wisata kuliner, eksplorasi pusat perbelanjaan, kunjungan taman dan tempat-tempat edukasi, berpergian menggunakan transportasi umum hingga berjalan-jalan santai di trotoar tengah kota. Karena keterbatasan waktu, biasanya kami berdua mengunjungi tempat wisata dan kuliner yang tidak begitu diminati suami. Wisata bersama suami dilakukan pada akhir pekan, biasanya wisata alam atau tempat yang relatif agak jauh. Pokoknya yang amat sayang jika tidak dikunjungi bertiga.

Sebelum berpelesir berdua di tengah kota, saya dan Hasan sering berpergian berdua selama di Jakarta tanpa bantuan. Ke mal, belanja, ataupun ke restoran. Bedanya, tempat yang kami kunjungi di Jakarta tempat yang familiar dan sering kali tanpa perencanaan sebelumnya. Beda dengan kota baru yang benar-benar harus mempelajari peta dan melakukan perencanaan matang. Sering saya mendapat saran agar membawa turut serta asisten rumah tangga (waktu itu ada ART yang bekerja) saat bepergian berdua. Entahlah, saya merasa tidak nyaman saja. Saya jadi seperti kehilangan momen kesendirian.

Bagaimana tips dan trik agar nyaman bepelesir berdua hanya dengan balita tanpa bantuan suami? Yuk simak tips dibawah ini!

1. Kenali Anak dengan baik

Tiap anak itu unik, meski lahir dari rahim yang sama, anak pertama dan kedua bisa memiliki karakteristik yang berbeda bagai air dan api. Hasan anak yang tidak rewel, bisa dibilang Hasan itu salah satu rekan pelesiran terbaik. Berpergian bersama tidak berasa bawa beban, lebih seperti pendamping hanya lebih kecil dengan kecepatan jalan lebih rendah dari orang dewasa. Salah satu permasalahan Hasan adalah ia cukup sulit jika harus makan di luar rumah hingga usia 3 tahun. Inilah alasan utama kenapa saya kerap memilih memberi Hasan makan siang di rumah. Minim drama.

Kenali fisik anak. Apakah ia kuat berjalan jauh, apakah dia gampang rewel. Kalau rewel, bagaimana menyiasatinya. Hasan dikaruniai fisik yang cukup kuat, pada usia 2.5 tahun ia sudah bisa jalan hingga 1 kilometer. 3 tahun bisa 1.3 kilometer. Hasan sendiri tipe anak tidak rewel dan malas ngemil, jadi biasanya saya cuma bawa kudapan seadanya serta air minum.

Baca juga: Traveliving, travel sebulan

Sebagai contoh, Saat di Chiang Mai saya hendak keluar rumah hanya untuk menukar uang di tempat penukaran. Jarak terukur sekitar 1 km dengan menggunakan Google Map. Berhubung itu adalah jarak yang masih ideal untuk Hasan berjalan kaki, saya memutuskan membawa Hasan turut serta dengan berjalan kaki. Hasan tidak menggunakan stroller pada saat itu karena trotoar Chiang Mai yang kecil dan berundak, hanya membuat mendorong stroller lebih berat.

2. Kenali Diri dengan Baik

Selain mengenal anak, kita juga harus mengenal diri sendiri dengan baik. Apakah fisik kita cukup kuat untuk melakukan perjalanan yang hendak dilakukan. Menggunakan pakaian, tas dan alas kaki yang nyaman juga tidak kalah penting, apalagi untuk perjalanan yang jauh.

Saat saya hendak berbelanja relatif banyak ke supermarket besar di Chiang Mai, Jarak Google Map sih kurang dari 1 km yang merupakan jarak ideal untuk Hasan berjalan kaki sendiri. Tapi berhubung barang bawaan akan sangat banyak dan akan membebani saya berjalan kembali 1 km kurang ke tempat tinggal, saya memilih membawa stroller meski trotoar sempit dan jalan berundak. Sepulang dari supermarket, apakah Hasan naik stroller atau berjalan tergantung banyak dan beratnya barang belanjaan. Saya menggunakan stroller Aprica Karoon, stroller yang ringan dengan dimensi relatif kecil, cocok untuk perjalanan di jalan-jalan Asia yang tidak ramah stroller. Sangat cocok juga untuk berpelesir. Belanjaan biasanya saya masukkan ke kantong bawah dudukan (muatan kecil) dan digantung di pegangan stroller. Kalau barang belanjaan sangat banyak dan besar, saya memilih menaruh barang di dudukan stroller dan menyuruh Hasan berjalan. Menggantungkan barang sedemikan berat dan besar di stroller hanya akan merusak stroller, cepat atau lambat.
travelling bersama balita
Menggunakan carrier bagi saya pada saat itu bukan lah opsi, selain Hasan sangat betah naik stroller, saya juga sedang hamil 4 bulan. Waktu itu saya juga belum mengenal gendongan semacam Onbuhimo dan woven wrap yang bisa membawa anak tanpa harus melilitkan melalui perut.
travelling bersama balita

3. Rencanakan Perjalanan dengan Detail

Merencanakan perjalanan saat berpelesir seorang diri adalah penting.
Merencanakan perjalanan saat berpelesir berdua dengan balita adalah amat penting.
Merencanakan perjalanan saat berpelesir berdua dengan balita dengan angkutan umum adalah sangat penting.

Saya memiliki hobi berpelesir di kota yang hendak dikunjungi melalui aplikasi Google Maps sejak jauh-jauh hari. Entah terlalu semangat atau penuh persiapan. Setidaknya, saat saya menerima info akan pergi, saat itu jari saya akan mengetuk Google Maps pada gawai. Dengan menjelajah Google Maps, saya merasa kota baru tersebut menjadi lebih familiar. Tidak hanya melihat jalan, tetapi juga menggunakan fitur Google View. Saya bergerilya mencari tahu lokasi suami bekerja, lokasi tempat tinggal potensial, supermarket, pasar, tempat wisata, taman, restoran, kafe, dan sebagainya.

Saat mengikuti stase Klaten (kami tinggal di Yogya, lebih tepatnya seberang Bandara Adi Sucipto), kami berencana berpelesir ke Solo di akhir pekan. Karena tiba-tiba suami harus masuk ke RSUD Klaten dahulu pagi hari, saya berencana untuk pergi duluan bersama Hasan agar bisa berwisata  sembari menunggu kedatangan suami. Menggunakan Kereta Api Prambanan Express (Prameks) adalah satu-satunya opsi. Prameks ini mirip-mirip KRL lah, menghubungkan Kota Solo, Yogyakarta, dan Kutosari. Tidak ada tiket kursi, hanya tiket naik. Nanti kami akan bertemu suami di penginapan di Solo yang sudah kami reservasi sebelumnya. Suami ke Solo menggunakan mobil pribadi setelah membereskan urusannya di Klaten. Perencanaan matang dimulai dari sini.
travelling bersama balita
sumber: goodnewsfromindonesia.id
Saya melihat jadwal Prameks menggunakan daring, setelah memutuskan jam keberangkatan, saya mengestimasi waktu kosong sebelum bertemu suami di penginapan. Kemudian melalui Google Maps, saya melihat objek wisata apa saja antara stasiun Purwosari (penginapan kami lebih dekat ke stasiun ini ketimbang Solo Balapan) dan penginapan. Karena tidak bersama suami, otomastis objek wisata yang hendak kami datangi adalah objek wisata yang kurang diminati, atau dengan kata lain objek wisata yang apabila tidak didatangi oleh suami, yang bersangkutan tidak berkeberatan. Akhirnya pilihan jatuh kepada Museum Radya Pustaka, Museum Pers dan Paragon Mall. Paragon Mall bukan buat wisata sebenarnya, tapi tempat singgah kami mencari makan siang :D.
travelling bersama balita
Pekerjaan berikutnya adalah mengukur jarak. Naik apa? Bawa Stroller atau tidak? Karena tahu akan naik Prameks, sudah pasti saya tidak membawa stroller. Kami naik Prameks di Stasiun Maguwo, yaitu stasiun terluar kota Yogyakarta sebelum berangkat menuju di Klaten dan Solo. Sudah hampir pasti kereta sudah terjejali oleh penumpang-penumpang dari stasiun sebelumnya, ditambah lagi itu adalah hari Sabtu. Betul saja, saya dan Hasan cuma dapat jatah berdiri haha. Beruntung kami, saat Hasan minta duduk dan saya berjongkok agar ia bisa duduk, ada seorang bapak baik hati menawarkan tempat duduknya kepada kami. Alhamdulillah, kami bisa duduk sampai tujuan, padahal saya sudah menyiapkan mental untuk terus berdiri selama hampir sejam 😆.

Saya mengukur jarak Stasiun Purwosari ke Museum Radya Pustaka hampir 2 km, jarak yang lumayan jauh, apalagi Hasan sudah menempuh perjalanan kereta dahulu. Kami memutuskan menggunakan Grab car. Jarak Museum Radya Pustaka menuju Museum Pers hanya  750m, berjalan kaki adalah pilihan yang baik bagi kami. Terakhir jarak Museum Pers menuju Paragon Mall hanya 1 km, baiklah kami jalan kaki saja. Tapi tunggu, ternyata jalur tersebut dilalui oleh Bus Trans Batik Solo. Baiklah, kami menggunakan opsi naik bus saja. Lumayan kan, sekali jalan bisa merasakan naik Grab, jalan kaki, dan bus umum :D. Jarak Paragon Mall menuju penginapan anggap saja tidak dihitung, karena jaraknya hanya 200m!

Jika memiliki mobil yang bisa digunakan saat berpelesir, misalnya mobil sendiri atau mobil sewa, perencanaan perjalanan tidak sepanjang jika harus menggunakan kendaraan umum. Seperti saat kami di Purwokerto. Alhamdulillah kami mendapatkan pinjaman mobil. Mau kemanapun, kafe, warung, pusat perbelanjaan, hingga pasar tidak harus berpikir panjang. Tinggal siapkan diri dan naik mobil. Di Yogya kami juga menggunakan mobil pribadi yang di(bantu di)bawa dari Jakarta. Karena jika ingin berpelesir harus antar jemput suami ke Klaten, terkadang saya memilih menggunakan angkutan umum saja. Bisa menggunakan grab/gocar, Trans Jogja, ataupun berjalan kaki.

Mungkin banyak yang bertanya, kenapa tidak menggunakan grab/gocar saja, kan praktis dan anti ribet. masalahnya, rata-rata dalam sekali perjalan saya bisa mengunjungi 2-4 tempat. Bisa dibayangkan, berapa ongkos yang saya habiskan untuk perjalanan sehari. dalam 1 minggu, saya bisa keluar 3 hari kerja (akhir pekan pergi bersama suami, tentu menggunakan mobil pribadi). Betul, alasan saya merencanakan moda perjalanan sedemikian detailnya adalah untuk alasan penghematan. Saya berusaha mengoptimalisasi kemampuan fisik kami dan biaya semaksimal mungkin. Oleh karena itu, memperhitungkan rute-rute yang dikunjungi sekali jalan dengan sangat detail menjadi penting. Biaya minimal, usaha maksimal, wisata maksimal!

Saat saya berada di Chiang Mai, suami sempat harus melakukan perjalanan dinas selama 4 hari ke Phuket. Saya dan Hasan hanya berdua tanpa keluarga dan kendaraan di negara asing. Saat itu sedang tanggal merah dan libur panjang memperingati kematian Raja Bhumibol Adulyadej (Rama IX) di Thailand. Suasana libur ;anjang begini sayang sekali untuk dilewatkan hanya di tempat penginapan, padahal minggu depannya kami harus kembali ke Indonesia. Oleh karena itu saya dan Hasan melakukan perjalanan panjang di hari Sabtu.

Merencanakan perjalanan menggunakan angkutan umum di Chiang Mai rumit nan menantang. Angkutan termurah dan terfleksibel, Songthaew (semacam angkot) cukup mahal, yakni 10-15 ribu sekali jalan, sementara kali ingin mengunjungi 3 tempat saat itu. Akhirnya saya mendapat benang biru dengan cara naik songthaew sampai Chiang Mai University, naik Bus umum ke Central Festival Mall, naik free shuttle dan berjalan kaki ke Pasar Malam Sabtu, dan pulang menggunakan Songthaew. Berangkat pagi pulang malam. Bayangkan! Perjalanan sepanjang itu pada akhirnya hanya menghabiskan ongkos transpor 35 ribu saja. 2 kali naik songthaew (30 ribu) dan 1 kali naik bus umum (5 ribu). Anak-anak tidak dihitung. Lumayan sekali kan!
travelling bersama balita
Free Shuttle Van yang menghubungkan Central Mall
Baca Menggunakan Transportasi Umum di Chiang Mai

3. Fleksibel

Karena kita sedang membawa makhluk kecil yang terkadang muncul keinginan dan kelakuan random, dari awal kita harus memiliki pola pikir bahwa apa yang dilakukan tidak harus tepat 100% dengan apa yang direncanakan. Perlu ada penyesuaian yang harus dikerjakan di tengah jalan. Kecepatan pengambilan keputusan juga penting demi kenyamanan bersama.

Pada perjalanan yang terakhir saya ceritakan di atas, sebenarnya itu bukanlah rencana awal. Rencana awal saya adalah wisata kampus Chiang Mai University, belanja sesuatu di Central Mall, kemudian pulang untuk makan siang. Ternyata keseluruhannya memakan banyak waktu. Wisata kampus menggunakan mobil elektrik harus mengantri 1 giliran dulu hingga perjalanan bus umum yang memakan waktu 1,5 jam! Saya agak kurang perhitungan sih yang ini, jarak Chiang Mai University ke Central Mall benar-benar dari ujung ke ujung. Selain itu harus melewati jalur terminal bus dahulu. Kebayangkan macetnya! Saya tidak bawa stroller pada perjalanan kali ini, soalnya wisata kampus pakai mobil elektrik dan bisa meminjam stroller kalau dibutuhkan di mall. Saat perjalanan di bus, saya memutar otak. Hasan saya pangku (demi cuma bayar 1 tiket!😝) dan alhamdulillah ia bisa tidur siang selama perjalanan. Kemudian saya memproyeksikan kami makan siang dan shalat jamak Zuhur-Ashar di Central Mall. Sebelumnya kami pernah kesana sekali saat orang tua saya berkunjung, jadi sudah tahu bahwa ada satu kantin halal di food court dan ada mushola. Karena terlanjur pasti akan sampai sore disana, akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke pasar malam sabtu (Wua Lai Night Market) setelahnya karena ada yang hendak dibeli. Naik shuttle van yang saya tahu gratis. Saya mengambil brosur jadwal keberangkatan di meja depan. Kemudian sembari menunggu Hasan bermain bersama bocah-bocah Chiang Mai di playground, saya memutar otak mencari jalur van yang mengarah ke pasar malam. Akhirnya saya memutuskan mengambil jadwal keberangkatan 16.20 rute 3: Old City Road
travelling bersama balita
Jadwal free shuttle
Alhamdulillah, sesampai kami di terminal shuttle, van belum berangkat dan kami tidak menunggu lama sebelum berangkat. Selama perjalanan saya kembali menjelajah Google Map untuk mencari tahu titik pemberhentian mana yang terdekat dengan pasar malam. Akhirnya saya memutuskan turun di U Hotel. Menurut Google Map, kami tinggal jalan ke selatan sedikit dan voila, sampailah kami di Pasar Malam. Eh, ternyata turis-turis bule yang duduk di depan kami juga ingin melanjutkan ke pasar malam, mereka bertanya ke Supir dan supir membenarkan untuk berhenti di U hotel. Ya sudahlah, tidak ada yang sia-sia 😏. Di Chiang Mai bawaannya memang agak malas bertanya-tanya mengingat sedikit sekali yang tanggap Bahasa Inggris.

Itu adalah kali ketiganya kami ke Pasar Malam Sabtu. Pertama bertiga bersama suami dan kedua ramai-ramai saat kunjungan orang tua. Saya sudah mengetahui bahwa banyak stand makanan halal. Karena Hasan suka martabak cokelatnya, saya membelikan Hasan itu untuk makan malam. Sementara saya pesan mi goreng di stand dekatnya. Setelah barang terbeli dan perut kenyang, kami pulang menggunakan songthaew. Karena sudah pengalaman naik dan menawar songthaew dari sini, it's piece of cake! 😎

travelling bersama balita

Travelling bersama Balita, kenapa tidak?

Setelah berkali-kali hilir mudik hanya bersama Hasan, berpelesir berdua bersama balita sangatlah menyenangkan. Perjalanan bersama balita bisa sama-sama menyenangkan baik bagi orang tua dan anak apabila disertai dengan perencanaan yang baik, meski dituntut memiliki kefleksibelan tinggi yang diambil dengan keputusan tepat dan cermat. Rekan jalannya kooperatif dan tidak rewel. Saya sama sekali tidak kapok. Sayangnya, setelah mengakhiri tahun 2018, kami tidak ada jadwal berpelesir bersama lagi :). 3 April 2019 saya melahirkan anak kedua kami, Bilqis. Jadi otomatis berakhir sudah berpelesir berdua (dan bertiga bersama suami). Setelah itu saya berniat menulis tentang berpelesir bertiga bersama bayi dan balita. Tapi entahlah, di situasi pandemi ini, akankah ada perjalanan lagi? 😮

Derajat Tertinggi Liburan: Liburan Santai

3 komentar
Liburan macam apa yang menjadi favoritmu?

Liburan santai. Menurut saya.
Ini kami alami saat (liburan) di Yogya selama sebulan Juni 2018 silam.

Loh, memang ada liburan tidak santai?

liburan santai

Ada banyak sekali alasan yang mendasari saat merencanakan liburan. liburan keluarga atau liburan solo. Liburan mewah atau liburan hemat. Tiap jenis liburan memiliki motivasi masing-masing dibaliknya. Liburan keluarga, fokus mempererat ikatan antara keluarga. Liburan solo, fokus  mencari jati diri sembari mengeksplorasi beragam tempat dan pengalaman baru. Liburan mewah, fokus bersantai, perawatan diri dan menikmati hidup. Liburan hemat, fokus memperbanyak pengalaman dengan konsekuensi sedikit bersusah payah. Tiap individu membutuhkan satu atau beberapa dari jenis liburan itu. Sekarang butuh liburan keluarga, mungkin berikutnya hendak liburan solo. Sekarang butuh liburan mewah, tahun depan mungkin butuhnya liburan irit. Pilihan ada di tanganmu.

Bagi saya, derajat tertinggi liburan adalah liburan santai. Kenapa? Karena untuk mendapatkan liburan ini butuh beberapa kondisi dasar:

  1. Waktu menetap lama
  2. Kunjungan kesekian ke kota tersebut
  3. Bukan musim puncak liburan

Liburan Santai: Prasyarat

Waktu Menetap Lama

liburan santai

Mungkin tidak jika dari awal merencanakan liburan keluar kota selama sebulan? Mungkin sih, tapi bagi standar kebanyakan orang Indonesia rasanya hampir mustahil. Biasanya dibutuhkan 2-4 hari untuk dalam negeri dan 1-2 minggu untuk luar negeri.

Kami berkesempatan tinggal sebulan di Yogya. Hanya fokus di satu kota dan memiliki banyak waktu membuat saya mempunyai kebebasan untuk mengunjungi banyak tempat tanpa terburu-terburu. Tempat tersebut tidak hanya objek-objek favorit wisata. Tetapi juga kerumunan, pasar, taman dan tempat kuliner. Tempat terkenal sampai tempat anti-mainstream yang banyak orang tidak tahu.

Berhubung suami harus masuk kerja di hari kerja, seringnya saya jalan-jalan hanya berdua bersama balita yang pada saat itu berusia 3 tahun kurang. Biasanya kami jalan-jalan keluar 3 hari dari 5 hari kerja. Pagi habis sarapan dan mandi berangkat, kemudian sudah makan siang dirumah. Sisanya ya seperti hari-hari biasa. Tidur siang kemudian beberes sembari menunggu suami pulang. Meski waktu masih panjang tapi tetap harus efektif dan efisien kan. Hampir tiap malam saat menemani Hasan tidur, saya menghabiskan waktu untuk gugling dan gugling map lokasi wisata yang ingin dikunjungi. Tidak hanya tempat wisata, wisata kuliner juga. Biasanya saya mencari wisata kuliner yang makanannya suami tidak terlalu suka. Yang suami suka mending nunggu suami dan pergi makan bersama. Sehari bisa mengunjungi 2-3 tempat, oleh karena itu saya selalu mencocokkan tempat-tempat tersebut di Google Map.

Kami biasanya berdua melancong di Yogyakarta menggunakan mobil atau transportasi umum. Jika hendak menggunakan mobil, pagi-pagi saya antar suami dulu di RSUD Klaten, nanti pas pulang saya jemput atau ia pulang bersama temannya. Sementara kalau bawa mobil sendiri relatif lebih fleksibel. Apabila menggunakan transportasi umum, maka saya harus riset Google dan Google Map lebih lama. Riset tempat, lokasi, antar lokasi harus berjalan kaki atau bis Transjogja, dan nanti naik Transjogja apa. Rumit sih, tapi ini yang sangat saya nikmati :).

Sebagai contoh, tujuan tempat wisata kami adalah jalan-jalan di Malioboro. Kami berjalan kaki menuju halte bis Transjogja terdekat, kemudian naik bis sampai halte paling selatan di Malioboro, jalan kaki di sepanjang jalan, mampir beli Gudeg Mbah Lindu, menyeruput kopi di Wanderlust Coffee, kemudian ke Istana Paku Alaman menggunakan Transjogja.

Jarak tempat wisata pun bukan masalah. Di hari-hari terakhir tinggal di Yogya, saya masih sempat mengunjungi Museum H.M Soeharto yang terletak di Wates, sebelah barat Yogya, padahal kami tinggal di timur Yogya. Tidak lupa kami mampir ke Bakpia Kemusuk, yang mana merupakan bakpia klasik langganan keluarga Cendana.

Kunjungan Kesekian ke Kota Tersebut

liburan santai

"Gw kayaknya bawa anak kali ini ke Tokyo pengen santai-santai aja. Ke taman, people watching, cafe hopping. Pokoknya santai."

Itu adalah pernyataan dari seorang teman yang hendak ke Jepang untuk ke-tiga kalinya.

Siapa sih yang mau ke tempat baru untuk pertama kalinya cuma untuk hilir mudik di kota tanpa agenda ambisius? Mahal-mahal beli tiket pesawat dan akomodasi, cuma untuk bersantai dan melakukan kegiatan yang kurang lebih sama dengan di tempat asal.

Oleh karena itu, salah satu prasyarat tercapainya liburan santai adalah sudah berkali-kali ke kota tersebut. Sudah pernah mengunjungi lokasi favorit wisatawan. Sudah pernah mencoba tempat hip. Kini saatnya santai, menikmati momen. Mengamati sekitar, memperhatikan tingkah laku masyarakat. Makan di kafe, berbicara dengan orang asing, bertemu teman lama.

"Ada yang komentar, yang gw lakuin itu sama aja kayak di tempat tinggal, bukan liburan dong namanya."

Saya kembali menanggapi, tentu itu liburan. Pada hakekatnya liburan adalah memecah mata rantai dari rutinitas harian. Biasanya yang harus pagi-pagi berangkat kerja dan sibuk mengurusi urusan rumah tangga, sekarang bisa bersantai untuk sejenak di lingkungan yang berbeda dari tempat tinggal. Memecah kejenuhan, memulai rutinitas dengan semangat yang terbaharukan nantinya.

Bukan Puncak Musim Liburan

liburan santai

Sejujurnya saya tipe wisatawan urban yang ingin menikmati wahana tanpa harus terlalu bersinggungan dengan hiruk pikuk manusia, bahkan untuk kegiatan harian saya. Alih-alih belanja bulanan dengan dibantu suami mengingat anak sudah dua, saya lebih memilih berbelanja bersama si adik
disaat abangnya sekolah. Lebih memlih mendorong troli sendiri dan mengangkat belanjaan sendiri ke lantai 21 apartemen kami. Semuanya dilakukan agar saya bisa menikmati momen belanja. Menikmati melihat dan memilih barang belanjaan.

Suami pun kebetulan tipe yang sama. Itulah mengapa kami jarang berwisata di hari dan musim puncak liburan. Macet, berdesak-desakan, menghabiskan waktu untuk mengantri. Uh, rasanya menjadi terkekang. Alhasil biasanya kami berwisata karena kesempatan. Ke Bandung karena harus berobat gigi. Ke Banda Aceh untuk seminar suami. Ke Medan karena mudik.

Kesempatan. Suatu rejeki yang harus disyukuri. Kami yang tinggal sebulan di Yogya karena rotasi stase suami dan teman saya yang ke Tokyo untuk ke-tiga kalinya karena sekalian mengikuti suaminya rapat. Karena kesempatan semacam itu, kami jadi bisa menikmati liburan santai di Kota. Ada yang karena pekerjaannya membuat berpindah-pindah sehingga bisa berliburan santai tanpa beban, ada pula yang karena mendapat beasiswa keluar negeri membuat dirinya bisa melancong kesana kemari. Kesempatan adalah sesuatu yang harus dihargai dan digunakan semaksimal mungkin. Tahun ini dapat kesempatan, belum tentu tahun depan akan bertaburan tawaran yang sama.


liburan santai

Tempat Wisata Historis:
  • Benteng Vredeburg
  • Museum Perjuangan
  • Museum Nasional Jogja Kembali (Monjali)
  • Museum Sandi
  • Museum Biologi
  • Museum Sasmitaloka Sudirman
  • Keraton
  • Museum TNI AU
  • Ullen Sentalu
  • Museum Merapi
  • Taman Sari
  • Museum Sonobudoyo
  • Museum Soeharto

Tempat Wisata Lainnya:

  • Kebun Binatang Gembira Loka
  • Malioboro
  • Taman Pelangi
  • Sindhu Kusuma Edupark (SKE)
  • Alun-alun Lor dan Kidul
  • Pasar Beringharjo
  • Punthuk Setumbu
  • Taman Gardhu Pandang Kaliurang

Wisata Kuliner:

  • Gudeg Djuminten
  • Gudeg Yu Djum
  • Gudeg Sagan
  • Gudeg Pawon
  • Gudeg Tekluk
  • Gudeg Mbah Lindu
  • Sate Klathak Pak Pong
  • Sate Klathak Pak Bari
  • Bakmi Djowo Mbah Mo
  • Bakmi Djowo Mbah Gito
  • Soto Kadipiro
  • Jejamuran
  • Sate Bathok Mbah Katro
  • Mie Ayam Tumini
  • Angkringan
  • Raminten
  • Tempo Gelato
  • Nanamia
  • Roemi Ice Cream
  • Silol Cafe
  • Simetri Cafe
  • Wanderlust Cafe
  • Roaster and Bear Cafe