Tampilkan postingan dengan label parenting. Tampilkan semua postingan

Pengalaman Hasan Sunat dengan Metode Smart Klamp

17 komentar

Ahad ni Insya Allah sunat 2 anak ya kita!

Itu adalah teks telegram yang dikirimkan oleh suami pada hari Jumat, 18 Desember 2020.

Wacana awal yang kami perbincangkan adalah sunat Husna, anak ketiga kami. Seperti kakaknya Bilqis, Husna akan disunat saat usia kurang lebih 1 bulan. Kami kerap bercanda dengan Hasan mengenai kapan sunat, bahkan tak jarang kami mengajak Hasan sunat biar bisa barengan dengan adiknya. Atau, kami suka bilang kalau habis sunat nanti dapat mainan.

"Adek Husna mau sunat loh bentar lagi!"

"Bang, kalau sunat nanti dikasih mainan loh, abang mau mainan apa?

Sampai suatu hari Hasan bilang kalau ia ingin sunat bersama dengan adiknya. Saya kaget. Takutnya Hasan menganggap sunat itu seperti relatif tidak dilakukan apa-apa kemudian dapat hadiah. Saya khawatir Hasan mau sunat hanya karena berorientasi mendapatkan mainan. Baiklah, saya butuh memastikan sesuatu.

"Hasan beneran mau sunat?" Tanya saya.

"Iya" Jawab Hasan.

"Emang sunat itu apa sih? Tau ga?"

"Tau, dipotong burungnya"

Saya langsung menarik nafas lega. Takutnya, alasan Hasan sunat hanya karena diiming-imingi mainan tanpa tahu harus melewati proses "pemotongan". Alhamdulillah, ternyata Hasan sudah cukup mengerti meski mendapat mainan tetap lah menjadi prioritas utamanya.

sunat smart clamp


Sunat dan Manfaatnya

Bagi umat Islam, sunat merupakan kewajiban bagi laki-laki muslim. Mengenai kapan disunat tergantung dari kebijakan masing-masing. Ada yang memilih saat bayi dengan alasan minim trauma dan penyembuhan yang cepat, ada yang memilih saat sudah duduk di bangku taman kanak-kanak atau SD dengan alasan si anak dapat lebih menghayati dan memahami hakikat dari sunat tersebut. Secara medis, tidak ada batasan umur untuk dilakukan sunat. Namun, alangkah baiknya sunat tidak dilakukan saat sudah terlalu berumur mengingat akan lebih beresiko karena rentan terjadi pendarahan akibat ukuran penis dan pembuluh darah.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda:

Buanglah darimu buku (rambut) kekufuran dan berkhitanlah. Perintah Rasulullah SAW ini menunjukkan kewajiban umatnya untuk berkhitan. 

Bahkan, Nabi Ibrahim juga melaksanakan perintah khitan meski umurnya sudah sangat senja.

Sunat yang memiliki bahasa medis sirkumsisi adalah suatu tindakan medis memotong sebagian ujung kulit (kulup) yang menutupi kepala penis. Sunat memiliki berbagai manfaat. Menurut WHO, sunat dapat membuat penis menjadi lebih bersih, mencegah fimosis, mencegah bertumpuknya kotoran di daerah ujung penis, dan mencegah terjadinya penyakit yang berhubungan dengan penis seperti kanker penis dan ISK.

Hasan sendiri sebenarnya sudah dideteksi memiliki fimosis, yaitu kulit atau kulup yang menguncup sejak dalam kandungan dengan menggunakan USG. Mungkin seharusnya Hasan sudah disunat semenjak bayi. Namun, selama 5 tahun ia belum pernah mengalami ISK. Yang kami ingat pernah sekali ujung penis Hasan sedikit merah dan gatal. Ini terjadi baru beberapa bulan yang lalu.


Metode Sunat

Saat ini terdapat berbagai macam metode sunat yang ditawarkan. Apa sajakah itu?

  • Metode konvensional, banyak dipilih oleh orang tua karena murah biayanya dan sudah umum dilakukan sejak lama.
  • Metode Smart Clamp yang akan saya bahas disini
  • Metode laser atau flashcouter yang menggunakan energi panas dan dialirkan ke besi tipis sehingga dapat memotong kulup penis tanpa pendarahan

Metode Smart Clamp

Tanggal 20 Desember 2019, Hasan disunat dengan metode smart clamp di Sunat 123 yang kebetulan lokasi di belakang Apartemen kami. Jika ditanya mengapa kami memilih metode Smart Klamp ketimbang metode lain? Jawabannya tidak ada. Alasannya sesimpel karena kebetulan di tempat sunat yang berada di dekat rumah kami menggunakan metode tersebut. Maaf ya pembaca karena tidak menjawab rasa penasarannya 😁.

Metode Smart Clamp disinyalir dapat meminimalisir rasa sakit dan terjadinya infeksi. Cara pemotongannya pun relatif sama seperti metode sunat lainnya. Perbedaannya ada pada penggunaan clamp, atau klem yang menjepit kulit penis 'kulup' menggunakan alat plastik sekali pakai. Kulup tersebut kemudian dipotong dengan pisau bedah tanpa dijahit. Luka sunat cepat kering dan sembuh sehingga banyak orang tua yang memilih metode ini.

Setelah pengerjaan, klem akan menempel 24 jam di penis anak dan baru akan dilepaskan di hari ke-5 setelah tindakan. Ini membuat anak harus 2 kali ke tempat sunat. Pelepasannya sendiri tidak sakit. Namun, bagi anak yang mengalami penolakan saat proses pemotongan, butuh trik sendiri untuk membujuk anak kembali ke tempat sunat karena artinya ia harus mengalami "proses" selama 2 kali.


Plus dan minus

Di dunia ini tidak ada yang sempurna, termasuk metode sunat. Metode Smart Clamp ini memiliki kelebihan seperti:

  • Proses pengerjaan relatif cepat, yakni 7-10 menit
  • Setelah anak dibius, anak tidak merasakan sakit ketika disunat
  • Tidak membutuhkan celana sunat, bisa langsung memakai celana
  • Pendarahan minimal, tidak memerlukan jahitan.
  • Tidak perlu perlakuan khusus saat mandi dan cebok karena bekas pengerjaan tertutup klem
Namun, tetap ada beberapa pertimbangan yang perlu dipikirkan orang tua saat memutuskan sunat anak menggunakan metode Smart Clamp. Perhatikan di bawah ini

  • Harga lebih mahal daripada metode konvensional
  • Anak relatif tidak nyaman paska pengerjaan karena ada klem yang menempel 24 jam
  • Bagi anak bisa menjadi pengalaman yang traumatis karena 2 kali pengerjaan, yakni saat pemotongan dan pencabutan klem

Sunat Hasan

sunat smart clamp


Hari Sebelumnya

"Kok mendadak banget sih, Masa keputusan mau sunat 2 hari sebelum. Aku jujur ga siap. Bahkan aku sama sekali gamang, ga ada nyiapin semacam sarung atau celana sunat." Keluh saya.
"Ya harus siap mental. Mana ada 2 hari itu mendadak. Mendadak itu beberapa jam sebelumnya kayak kamu lahiran. Ini beberapa hari sebelumnya. Mana ada tindakan ga pake persiapan. Kamu kira kamu aja yang harus nyiapin diri? Aku juga, kan aku harus ngerjain juga!" Tangkis suami.

Sabtu, 19 Desember 2019, sehari sebelumnya, hampir saja saya memohon pembatalan sunat Hasan. Untungnya setelah "diedukasi" suami, saya dapat berusaha menenangkan diri dan fokus lanjut pada keputusan Hasan dan Husna sunat esok harinya. Sore harinya pun kami sudah mengabari uti-akung dan andung-engkong Hasan perihal sunatnya Hasan dan semuanya ingin hadir mengingat ini sunat cucu pertama.

Hari H

Sunat Hasan dan Husna rencana dilakukan ba'da Zuhur. Setelah kami makan siang, saya, suami, Hasan, Husna, Akung, dan Engkong pergi ke lokasi sunat. Uti dan Andung di rumah saja karena ingin menemani Bilqis. Kami berangkat menggunakan dua mobil karena rencananya setelah sunat Husna selesai, saya pulang duluan. Toh, sunat perempuan kan sebentar, berbeda dengan sunat laki-laki.

Karena sudah janjian, kami langsung dipersilahkan untuk naik ke lantai atas untuk menunggu dipanggil. Apakah Hasan panik? Tentu saja tidak. Padahal terdengar teriakan membahana dari ruangan di ujung koridor. Saya yang panik merasa takut Hasan gentar. Kemudian saya lihat raut mukanya, ternyata Hasan tidak menampakkan air muka ketakutan sama sekali! Menurut Hasan, disunat tidak sakit sama sekali, 

Saya, suami dan Husna masuk ke ruangan duluan. Bagian kemaluan Husna diolesi salep bius dan ditunggu untuk beberapa saat. Dengan sayatan kecil dan pengolesan Betadine, sunat Husna pun selesai. Kami pun ke luar ruangan.

Saya menghampiri Hasan dahulu untuk pamit pulang duluan. Wajahnya saya perhatikan lekat-lekat. Tidak ada yang berbeda dari raut muka sebelum berangkat ke lokasi sunat. Meski agak khawatir, saya dan Husna berdua menuju mobil dan kami pun pulang. Meninggalkan Hasan yang akan sunat dengan ditemani oleh babeh, akung, dan engkong.

Sesampai di rumah, saya mendapat foto Hasan di sunat. Ternyata muka Hasan tenang sekali dan tidak menangis sama sekali! Kebetulan, suami saya juga membantu pengerjaan sunat. Hati saya pun menjadi lega.

Akhirnya rombongan sunat pun tiba di rumah. Suami menenteng mainan remote control seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya dan Hasan yang berangkat ceria sekarang pulang dengan meringis.

"Udah mulai terasa, biusnya mulai habis." Bisik suami.

Pelan-pelan mulai pecah isak tangis. Hasan diresepi painkiller berupa ibuprofen serta antibiotik sirup. Langsung Hasan diminumkan secepatnya. Namanya obat, butuh waktu sebelum bereaksi. Sampai obat bereaksi, Hasan menangis tersedu-sedu. Saya tuntun ke kamar dan kami berpelukan di kasur. Ini termasuk metode paling ampuh karena Hasan adalah tipe haus "pelukan".

Tidak ada yang bisa saya lakukan selain mendengar pecah tangisan, mengelus kepalanya dan memeluknya. Alhamdulillah, perlahan obat mulai bereaksi seiring dengan meredanya tangisan Hasan. Ia pun jatuh tertidur. Mungkin karena lelah dan capek menangis.

4 jam setelah pengerjaan, Hasan mulai meringis lagi. Kali ini saya berikan Paracetamol sebagai bekal tidurnya agar tidur lebih nyenyak. Seperti biasa, tangisan Hasan mulai pecah kembali sembari menunggu efek obat bekerja. Hasan yang biasanya bobok di kamar bebek 'sebutan untuk kamar tidur Hasan' kini tidur di kamar saya.

Menjelang tengah malam Hasan mulai meringis lagi. Saya kembali terbangun. Untuk persiapan, saya sudah menyediakan obat, sendok dan botol air minum di samping kasur sehingga saat diperlukan bisa langsung diberikan. Saya peluk kembali Hasan mengantar ia tidur sembari menunggu obat bekerja. Alhamdulillah, Hasan bisa tidur nyenyak sampai esok hari.

Rasa sakit masih berlangsung sampai H+2, yakni pada hari Selasa. Namun, perlahan intensitas rasa sakit dan frekuensi-nya semakin berkurang. Pada H+1 saya masih meminumkan Hasan Paracetamol 4x sehari, H+2 cuma 2x Paracetamol, H+3 sudah tidak sama sekali.

Tragedi Ngompol

sunat smart clamp


Keesokan harinya, muncul sesuatu tak terduga. Hasan ngompol! Duh, padahal saya baru mengganti seprai kamar beberapa hari yang lalu. Berhubung kami tinggal di Apartemen, mencuci seprai bisa menjadi momok karena membutuhkan lahan besar untuk menjemur sementara area menjemur kami hanya 2 petak balkon kecil, belum termasuk kepotong mesin luar AC.

H+1 dan H+2. Seharusnya intensitas dan frekuensi rasa sakit luka sunat Hasan sudah berangsur-angsur membaik. Namun ternyata keadaan tidak sepenuhnya lebih baik. Ada hal lain yang saya lupakan: rasa traumatis.

Betul, rasa trauma itu membuat Hasan takut kencing. Di hari senin sore, Hasan berkali-kali mengeluh sakit perut. Sakitnya benar-benar bikin ia meraung-raung dan meronta. Saya jelas bingung, secara dia tidak ada makan sesuatu yang aneh. Pun, tidak ada indikasi lain seperti mencret dan muntah. Lokasi sakit perut ada di bawah pusar. Saya jelas heran, padahal saya sudah meminumkan parasetamol. Alih-allih bekas sunat yang sakit, kok malah perut yang sakit. Anehnya, semua sakit perut itu sirna tiap kali ia kencing di kamar mandi. Kecurigaan saya pun mulai muncul, namun saya tak yakin benar.

Selang beberapa jam kemudian, Hasan kembali meronta-ronta mengeluhkan perutnya. Saya yang bingung hanya bisa mengelus-elus dan mendekap. Demi menguji hipotesa, saya berkali-kali menanyakan Hasan apakah ia mau kencing, tapi berkali-kali pula ia menolaknya. Sampai suatu waktu ia terperanjat hendak lari tunggang-langgang ke kamar mandi untuk kencing. Hasan yang sudah tidak pernah lagi "bocor" kini terkencing sedikit di celana. Celana dalamnya basah. Kok Hasan tiba-tiba tidak bisa menahan kencing. Seusai kencing, rasa sakit perut itu benar-benar sirna.

Hasan yang sudah merasa baikan ketimbang rebahan di kasur malah memilih terdampar di sofa ruang tengah. Karena Hasan sudah tenang, saya pun melanjutkan mengurus adek-adeknya Hasan seperti memandikan Husna dan memberi Bilqis cemilan. Sejam berlalu, Hasan tetap anteng tanpa keluhan. Saya mulai curiga, kenapa dia begitu tenang teronggok di sofa dalam waktu lama. Saat saya dekati, ternyata sofa sudah bergelimangan kencing dengan bau pesing menyengat!

Pantas Hasan bisa tenang tanpa mengeluhkan sakit perut lagi. Dari situ saya merasa hipotesa saya sudah valid terbukti. Ya! keluhan sakit perut Hasan bermuara dari kencing yang di tahan. Tekanan di kantung kemihnya mungkin?

Perawatan Setelah Sunat

sunat smart clamp


Tidak ada perawatan rumit paska sunat selain pendampingan sang anak saat berjuang menahan rasa perih. Saat mandi atau kencing, tidak usah mengkhawatirkan air mengenai penis karena sudah terlindungi klem. Namun, ada beberapa ritual yang harus dilakukan tiap selesai kencing.

Saat cebok, air dialirkan ke dalam klem untuk membersihkan residu kencing dan kemudian dibuang. Lakukan ini berulang kali sampai dirasa sudah bersih. Kemudian, sisa droplet air pada luka sunat dibersihkan dengan cara memasukkan cotton bud pada klem. Sentuh luka sunat dengan menggunakan cotton bud secara pelan sampai ujung luka sunat dirasa kering. Dengan cara yang sama, olesi betadine dengan menggunakan cotton bud. Selesai, tinggal pakai celana.


Momen kencing mungkin merupakan pengalaman traumatis lain bagi anak. Ia akan merasakan sedikit perih pada saat mengeluarkan air kencing. Oleh karena itu, tidak jarang Hasan menunda untuk bergegas ke kamar mandi saat sudah merasa sesak kencing. Tidak jarang pula ia tidak menuntaskan kencingnya sehingga menyebabkan keinginan hendak kencing lagi pada jarak waktu yang tidak lama.

Apa akibatnya? Mengompol. Selama seminggu Hasan "menginap" di kamar saya, seprai atas tempat tidur saya lepaskan meninggalkan seprai anti bocor yang membalut kasur saya. Ini saya lakukan agar tidak usah terjadi drama cuci seprai berkali-kali akibat ompolan. Jika ada ompolan, tinggal aliri air bersih, ilap, dan tunggu beberapa menit sampai bekas basuhan kering. Sebuah cara yang praktis.

Selain itu, akan ada beberapa kali anak ngompol pada saat ia sedang bermain. Dalam kurun 2 hari paska sunat, entah berapa kali Hasan ganti celana dalam dan celana luar. Agar tidak mengotori sofa atau lantai, saya menyuruh Hasan untuk menggunakan perlak sebagai alas dimanapun ia duduk. Cuci celana mudah, cuci karpet dan sofa akibat ompol ribet.

Pelepasan Klem

sunat smart clamp

Tibalah hari Kamis, 4 hari setelah sunat dan hari dimana klem akan dilepaskan. Seharusnya hari itu penis Hasan sudah tidak digelayuti klem lagi, namun karena tiba-tiba babehnya harus operasi, akhirnya pelepasan klem ditunda sampai hari Jumat.

Pelepasan klem bisa dikerjakan sendiri menggunakan tutorial di Youtube ataupun membawa anak kembali ke klinik tempat ia sunat. Sejujurnya suami agak malas pergi ke klinik lagi, ia ingin mencoba melepaskannya sendiri. Tutorial pelepasan klem di Youtube pun dibuka. Berdasarkan Youtube, anak disuruh berendam air hangat di bak mandi minimal 20 menit agar penis lebih lentur sehingga lebih mudah dicopot. Setelah 20 menit berlalu, suami bergegas ke kamar mandi untuk coba melepaskan. Seketika teriakan yang membahana seseantero rumah disertai isakan pilu selama hampir 10 menit. Sungguh tidak tega mendengarkannya. Ternyata melepaskan sendiri tidak semudah tutorial. Saya coba mengintip sedikit dari kamar mandi.

"Udah kecopot?" Tnnya saya panik.
"Belum, baru rangka putihnya aja. Plastik beningnya masih menempel."

Saya malah jadi stres. Sudahlah selama itu teriak-teriak tapi tetap belum beres. Suami menyuruh Hasan untuk terus berendam sebelum mencoba lagi melepaskan cangkang plastik bening itu dari penisnya. Saya hanya bisa memeluk Hasan yang terisak tidak karuan. Perlahan ia lebih tenang dan isakannya berhenti. Tidak lama kemudian suami datang kembali sembari membawa lotion dan minyak dengan harapan pelepasan menjadi lebih mudah. Saya langsung bergegas keluar karena tidak tahan dan tidak tega dengan apa yang akan terjadi di kamar mandi. Kembali terdengar jeritan yang keras dari kamar mandi. Saya hanya bisa membiarkan dan menunggu suami menyelasaikan pekerjaannya. Setelah saya membangun mental, akhirnya saya kembali ke kamar mandi. Disitu saya lihat cangkang plastik beningnya masih terpasang di penis.

Saya dobel stres.

Mau bawa ke klinik sekarang? Tidak mungkin. Hasan menolak mentah-mentah. Pun setelah diimingi apapun dia bergeming tidak melangkahkan kakinya. Mencoba memakaikan sendal juga sama aja karena dia melawannya. Akhirnya suami malah mengajak Hasan main Switch sebelum berusaha membujuknya nanti. Biar ia tenang dahulu, katanya.

Setelah makan siang, suami mencoba mengajak Hasan kembali dengan mengajak Hasan beli Happy Meal di McD terdekat. Tanpa perlawanan, Hasan pun ikut bersama babehnya pergi. Saya di rumah sembari cemas menunggu mereka kembali.

Setengah jam kemudian, suami dan Hasan kembali. Alih-alih muka cemberut sedih, Hasan malah terlihat bahagia. Apa yang terjadi?

Alih-alih membawa ke McD, suami langsung membawa Hasan kembali ke klinik.

"Loh, kok kesini lagi? Ini kan bukan McD." Tanya Hasan bingung.

Alih-alih melawan, Hasan tidak menolak turun dari mobil, meskipun langkahnya sedikit berat. Suami mengajak Hasan berfoto dulu menggunakan kalung badan "Alumni Sunat" di depan klinik.

"Ternyata cangkangnya bukan ditarik, tapi didorong." Ujar suami setengah tertawa.

Meski begitu, Hasan tidak menangis saat pelepasan berdasarkan testi suami. Setelah pencopotan selesai, Hasan pun dibelikan (lagi) mainan oleh suami. Kemudian mereka menuju McD untuk menepati janji di awal. Oh, pantas saja Hasan kembali dengan muka bahagia. Baru dibelikan mainan dan McD rupanya!

Yang Harus Diperhatikan!

sunat smart clamp


Sejauh yang saya perhatikan, metode Smart Clamp ini cukup mumpuni bagi orang tua yang sedang menimbang menggunakan metode sunat apa sebaiknya. Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
  1. Jangan khawatir jika merasa belum menyiapkan apa-apa untuk paska sunat. Bahkan celana sunat pun tidak perlu. Anak bisa langsung memakai celana dalam. Obat-obatan perawatan bekas luka juga biasanya disiapkan oleh klinik sunat
  2. Minim sakit saat sunat. Meski Hasan bilang tidak sakit saat sunat, orang tua juga harus menyiapkan mental apabila anak menangis dan memberontak. Sebagai contoh, anak yang gilirannya sebelum Hasan menangis dan meronta-ronta
  3. Jika punya anak laki-laki lebih dari satu, sebaiknya tidak sekaligus menyunat mereka. 2-3 hari paska sunat anak butuh perhatian dan belaian ekstra untuk menenangkan dan merawat sunatnya. Kecuali ada bantuan lainnya (misal suami atau keluarga) yang hadir 24 jam membantu mendampingi anak yang rewel akibat sunat
  4. Gunakan seprai anti bocor saat tidur. Anak yang sehabis disunat punya sedikit rasa trauma untuk kencing sehingga tidak jarang dia bocor atau mengompol
  5. Suruh anak mengalas tempat duduknya dengan perlak saat ia bermain agar efek ompolannya minimalis.

"Hasan, sakit ga sunat?"

"Engga, cuma sakit dikit pas disuntik."


Lahiran Anak ke-3, dari Tandem Menyusui sampai Lahiran Gratis di RSUD

28 komentar

Sabtu, 7 November 2020 pukul 16.02

Alih-alih liburan ringan ke tempat yang tidak terlalu jauh, saya malah mengalami pengalaman mendebarkan dan tidak terlupakan seumur hidup saya. Alih-alih tidur di kamar hotel, saya malah tidur di "barak".

Husna A R hadir di tengah kami tanpa terduga. Hadir 2-3 minggu lebih cepat dari dugaan saya dan suami. Rencana liburan pekan itu boleh gagal, namun Allah menghadirkan rencana lebih baik yang indah dikenang.

Lahiran gratis rsud


Pengalaman Baru

Kehamilan yang tidak terduga

Kami baru diberikan rejeki kehamilan Hasan setelah 8 bulan menikah. Saya hamil Bilqis setelah setahun lebih  berusaha meski kami tidak menggunakan KB sama sekali. Isakan demi isakan saya lalui tiap bulannya saat mengetahui saya menstruasi. Siapa yang menyangka kalau saya hamil lagi saat Bilqis berusia 1 tahun kurang? Berbeda dengan saya yang tidak pernah mengingat-ingat jadwal menstruasi saya, suami hampir selalu ingat sehingga kenyataan saya hamil cukup membuat ia terkejut. Berdasarkan hitungan dia, harusnya saya tidak hamil. Tapi kenyataanya berkata lain.


Punya anak jarak dekat

"Kenapa ya jarak Hasan (anak pertama) dan Bilqis (anak kedua) jauh. Kan kalau selisih umurnya sedikit enak bisa sekalian, sekalian capek." ujar saya


Saat Hasan lahir, saya dan suami memang berencana untuk memberikan Hasan adik dengan usia tidak jauh, sekitar 2 tahun. Pun, saya tidak menggunakan KB dan tidak berencana menunda kehamilan melihat rekam jejak sebelumnya dibutuhkan waktu cukup lumayan sebelum hamil Hasan.

Ternyata manusia hanya bisa berencana dan Allah-lah yang menentukan. Saya yang sebelum hamil Hasan memiliki siklus sangat teratur tiba-tiba kacau balau setelah mendapat haid paska melahirkan Hasan. Gejolak  hormon yang tidak tentu ditambah dengan menyusui membuat kami belum diberi rezeki hamil adiknya Hasan agar berjarak 2 tahun. Alhamdulilah, 2-3 bulan setelah Hasan lulus menyusui 2 tahun, saya diberi rezeki hamil adik Hasan. Betapa senang hati kami, akhirnya penantian kami terbayar. Yah, tidak mengapa selisih Hasan dan adiknya 3 tahun, meski terbersit rasa berat karena selisih 3 tahun artinya kami akan bayar uang pangkal sekolah Hasan dan adiknya secara bersamaan!

Qadarullah, dokter menyatakan janin tidak berkembang dan harus dikuret beberapa hari setelah diagnosa. Betapa mencelosnya hati saya. Rasanya dunia tidak adil. Sudahlah kami bukan tipe cepat mendapatkan momongan, kini harus dihadapkan dengan kenyataan abortus. Mana keadaan kami pada saat itu relatif pas-pasan. Biaya untuk kuretase cukup mahal namun tidak menghasilkan "apa-apa", alias tidak ada bayi. Rasanya kayak buang uang sia-sia.


Menyusui saat hamil

"Bisakah aku menyempurnakan penyusuan sampai 2 tahun?" ujar saya dalam hati.

Berangkat dari keinginan awal ingin memiliki anak dengan jarak usia 2 tahun, saya kerap berpikir apakah saya bisa menyusui saat hamil, atau bahasa populernya Nursing While Pregnant (NWP)? Kalau anak jarak usia 2 tahun otomatis sudah hamil meski masih dalam keadaan menyusui anak sebelumnya.

Apakah menyusui saat hamil berbahaya?

Dari hasil baca-baca dan mendengar pengalaman yang lain, menyusui saat hamil tidak berbahaya asal tidak membahayakan kehamilan dan asupan gizi masuk memadai. 

Saya baru tahu kalau saya hamil pada bulan April berdasarkan hasil testpack, kira-kira Bilqis berusia 1 tahun. Kami memang menginginkan menambah anak dalam kurun waktu tidak lama, tapi yah tidak secepat itu mengingat kami memiliki beberapa rencana ke depan yang terasa lebih baik apabila belum menambah anak lagi. Baik suami dan saya tidak ada yang menyangka.

Awalnya kami berencana untuk konsul di dokter kandungan langganan kami di Cibubur, namun karena yang bersangkutan tidak praktek dahulu dalam jangka waktu lama, akhirnya kami memutuskan untuk mengecek kehamilan di RS Islam Cempaka Putih yang berlokasi sangat dekat dengan apartemen kami. Mengingat tahun 2020 ini dunia sedang dikepung pandemi COVID, saya memutuskan untuk berangkat sendiri ke Rumah Sakit. Untung pada saat itu masih diberlakukan Work From Home (WFH) bagi suami, sehingga ia bisa menjaga anak-anak di apartemen.

Alhamdulillah, ternyata benar ditemukan kantung hamil. Kabar buruknya, terlihat gumpalan warna hitam di bagian bawah yang artinya ditemukan pendarahan pada rahim.

"Tapi selama ini tidak ada darah yang keluar, dok!", ujar saya tidak percaya.

Akhirnya dokter memberikan progesteron sebagai penguat kandungan. Saya pun mulai curiga, apakah akibat saya masih menyusui anak kedua saya. 

"Sebenarnya tidak juga.", jawab sang dokter.

Secercah kabar baik bagi saya. Pada saat itu saya agak sedih, masa harus secepat itu "berpisah" dengan anak kedua saya? Masa dia hanya menerima penyusuan setahun? Akhirnya di dalam hati saya mencoba mengambil jalan tengah, tetap menyusui tapi mengurangi frekuensi menyusui, hanya 2 kali saja yaitu saat menjelang tidur siang dan tidur malam dengan harapan tidak melukai janin.

Sebulan kemudian, saya kembali kontrol. Alhamdulillah, pendarahan sudah tidak terlihat lagi di USG. Rasanya lebih tenang hamil sembari menyusui Bilqis. Kontraksi? Tidak. Mungkin sedikit lebih menantang saat usia kehamilan bertambah besar karena harus memposisikan Bilqis sedemikian rupa agar tidak menindih perut saya.

Ujian NWP juga terjadi saat trimester tiga. Entah mengapa, puting terasa lebih sensitif sehingga terasa nyeri tiap Bilqis menyusui. Mana Bilqis tipe menyusui seenaknya, alias banyak gaya. Benar-benar bikin saya harus memposisikan Bilqis sedemikian rupa agar rasa nyeri tidak semakin menjadi-jadi.

Menyusui tandem

"Gimana ya rasanya menyusui tandem? pasti enak deh, 2 anak nyusuinnya ga genap 4 tahun" pikir saya bertahun-tahun lalu.

Husna lahir saat Bilqis berusia 19 bulan. Itu artinya saya harus melakukan penyusuan tandem!

Saya memiliki sejarah dua kali sulit menyusui. Beberapa alasan saya kenapa ingin menyusui tandem adalah memudahkan si adik untuk menyusui (karena bentuk puting akan lebih memudahkan) dan menyelesaikan berbagai permasalahan awal menyusui seperti payudara bengkak, breast engorgement bahkan mastitis lebih cepat!

Pengalaman pertama menyusui tandem baru saya alami saat Husna berumur 4 hari. H+1 kami mengeluarkan diri secara "paksa" dari rumah sakit. H+2 hingga H+4 Husna harus mendapatkan terapi sinar.

Saya membawa Husna ke dokter anak pada H+2 kelahiran karena ingin minta dilakukan screening awal dan vaksin hepatitis B yang tidak diberikan oleh RSUD saat kelahiran. Ternyata bilirubin Husna tinggi, nilainya 22! Akhirnya Husna harus disinar selama 2 hari. Berbekal pengalaman Bilqis yang bingung puting karena murni 24 jam menggunakan ASIP dot, saya memutuskan memberi ASIP baik secara langsung maupun dot saat Husna disinar. Untuk memudahkan itu, saya meminta izin untuk menginap di Rumah Sakit.

Saya dan Husna pulang pada H+4 sorenya. Entah kangen atau bagaimana, Bilqis langsung "buka puasa" dan langsung menyusui saat saya pulang ke rumah 😝.

Maka dimulailah antrian menyusui terjadi setiap harinya. Berhubung Husna masih bayi baru dan Bilqis masih terlalu kecil untuk mengerti perkara kecemburuan, saya tidak pernah menyusui sekaligus dua-duanya. Selain saya tidak bisa mengangkut Husna satu tangan, menyusui Bilqis beriringan malah bikin Bilqis mendorong dan menggencet Husna. Jadi pilihan yang saya ambil adalah "nomor antrian menyusui".

Opsi ini ada plus minusnya. Sisi baiknya Bilqis jadi tidak dorong-dorong adeknya saat menyusui. Sejak hamil Husna, Bilqis cuma menyusui sebelum tidur saja, jadi 2-3x sehari. Nah, tiap mau mendekati waktu tidur lah prahara terjadi. Saya selalu memprioritaskan menyusui Husna dahulu karena sekali ia lapar, relatif tidak ada opsi untuk menenangkan. Sementara Bilqis bisa minta tolong Hasan untuk ajak dia main. Atau, dengan cara memberikannya baju kotor saya dan kemudian ia luntang-lantung di kasur menunggu gilirannya haha. Setelah Husna tidur, saya pergi ke kamar anak-anak untuk menyusui Bilqis sampai ia tertidur dan menyuruh Hasan tidur menemani adiknya.

Sekarang Bilqis berusia 21 bulan, bismillah menggenapkan penyusuan Bilqis sampai 2 tahun!

Labour on the run

lahiran gratis rsud

telah lahir anak kami yang bernama x di RSUD y

itu adalah kira-kira pesan di sebuah WAG yang saya ikuti. Loh, dia kan orang Jakarta, kok lahiran di RSUD di sesuatu daerah Jawa. Ternyata si teman lahir saat hendak keluar kota.

"waduh gimana itu ya rasanya. Tidak terencana, malah bisa jadi ga siap bawa perlengkapan lahir", pikir saya saat itu.

Sangat tidak disangka, ini terjadi kepada saya!

Berdasarkan perhitungan kasar, kira-kira saya akan melahirkan pada pertengahan atau akhir November 2020. Saat usia kehamilan 36-38 minggu. Kami diajak berlibur di daerah Rancamaya saat perkiraan usia kehamilan 36-37. Ah, dua anak sebelumnya juga baru melahirkan di usia kehamilan 39, santai lah . Kami pun menyanggupi ajakan tersebut. Malam sebelum keberangkatan, pikiran saya sedikit masygul. Kok perut saya tidak enak sekali. Rahim berkali-kali kontraksi. Tidak sakit sih, cuma karena terus menerus membuat saya merasa tidak nyaman.

"Aku capek yang malam ini. Kontraksinya kayak terus-terusan.", ujar saya kepada suami.

Sembari menyiapkan koper untuk esok harinya, saya berdoa di dalam hati. Ya Allah, aku ingin sekali liburan. Plis ya bisa liburan dengan tenang. Di sisi lain saya agak yakin ini cuma kontraksi palsu namun terus-menerus. Pasalnya, salah seorang teman pernah mengalami ini di kehamilan keduanya. Saat dicek ke Rumah Sakit malah tidak ada bukaan sama sekali. Ia baru melahirkan bulan berikutnya. Ah mungkin kasus kami sama.

Tapi ternyata saya salah dan doa saya tidak dikabulkan Allah.

Dalam perjalanan menuju Rancamaya, saya mulai intensif memperhatikan frekuensi kontraksi rahim. Sangat frekuentif dan teratur. Hati saya semakin masygul. Setelah hampir setengah jam rentetan kontraksi teratur, akhirnya kontraksi tidak seintens itu frekuensi. Fyuh, saya bisa bernapas agak lega.

Yakin, meski doa saya tidak dikabulkan, ini adalah jalan terbaik dari Allah.

Saat saya bersantai di playground indoor hotel, hati saya kembali kalut. Sembari memesan makanan siang melalui aplikasi Gojek, saya merasakan perut saya yang kembali mengeras secara rutin. Tapi ah, saya abaikan saja.

Kami kembali ke kamar setelah mengambil pesanan makanan dan memberi anak-anak makan siang di kamar. Bilqis sempat agak rewel sehingga saya harus beberapa kali menggendongnya. Tiba-tiba saya merasa perasaan ingin kencing besar saat menggendong Bilqis. Tunggang langgang saya ke kamar mandi. Dengan hati yang tidak karuan, saya intip air wc sebelum saya siram.

Ah benar saja, air berwarna merah!

Saya segera lapor ke suami. 

"Oke, ayo kita berangkat!" ujar suami sembari melihat gawai untuk mengecek rumah sakit terdekat. Sebenarnya suami juga agak kalut meski raut wajahnya sangat tenang.

Lantas bagaimana dengan nasib anak-anak?

Sebenarnya kami tidak liburan sendiri, akan ada mertua beserta adik-adik suami serta satu adik suami lainnya bersama keluarganya. Tapi pada saat itu baru kami yang sampai Rancamaya. Anak-anak pun terpaksa kami boyong ke RSUD Ciawi, satu-satunya  Rumah Sakit terdekat dari Rancamaya.

"Kamu ga apa-apa kan ngurus sendiri? Aku harus nungguin anak-anak." Tanya suami masygul.
"Gapapa, tungguin aja anak-anak. Aku ga masalah ngurus sendiri dulu."

Akhirnya suami menunggui anak-anak sampai nanti salah satu adiknya sampai dan menjemput anak-anak. Saya sendiri ke IGD untuk mengecek bukaan. Waktu itu jam 2 sore.

"Kata susternya udah bukaan 3, terus katanya karena ini RS rujukan COVID mau lanjut disini ga. Soalnya mesti rapid test sama ronsen dulu." tanya saya kepada suami melalui  Telegram.

Karena sudah bukaan 3 dan melihat rekam jejak melahirkan saya sebelumnya, suami tidak berani ambil risiko memindahkan saya ke rumah sakit lain. Dalam hati pun berat rasanya jika harus pindah rumah sakit. Jalanan sangat macet di depan RSUD Ciawi, kira-kira bisa dibutuhkan 45 menit untuk menuju Rumah sakit langganan saya yang berada di Cibubur, Bekasi. Tidak cuma itu, saya ingat bahwa harus dilakukan dahulu prosedur swab PCR sebelum diurus proses lahiran. Hah, jangan-jangan sampai sama sudah bukaan 7 atau 8, kemudian harus melewati prosedur melelahkan lainnya? Jujur saya tidak kuat membayangkannya.

Setelah suami memberikan persetujuan kepada suster untuk melanjutkan prosedur melahirkan, saya segera diarahkan untuk mengurus pendaftaran awal pasien di kasir yang berada di pintu masuk IGD dari sisi luar. Untung saja tidak rame dan saya bisa langsung dilayani.

Proses lahiran (hampir sendiri)

lahiran gratis rsud


"Tolong pak, saya mau lahiran. Susternya bilang slip merah (didahulukan). Tolong diurus cepat ya!" Pinta saya.

"Ibunya sendirian saja?" Tanya petugas keheranan.

"Iya mas, suami saya lagi nungguin anak-anak di mobil. Nunggu ada saudara yang bisa ambil anak-anak."

Petugas resepsionis langsung menyerahkan formulir untuk diisi dan meminta KTP serta kartu BPJS saya. Meski kami semua terdaftar BPJS Kesehatan, tapi kami tak pernah memakainya. Praktis saya tidak pernah membawanya, tersimpan rapi di rak lemari kamar.

"Ini pak, saya ada kartu BPJS tapi saya tidak bawa. Nanti menyusul ya!" Ujar saya sembari menyodorkan KTP.

Saya langsung membuka gawai untuk mengabarkan suami soal BPJS ini. Ternyata suami sudah mengirimkan soft copy BPJS saya. Luar biasa inisiatifnya suami. Saya segera menyodorkan gawai dengan gambar pindaian kartu BPJS saya kepada petugas. Tidak lama kemudian, urusan administrasi awal selesai dan saya langsung menuju ke IGD Ponek (bagian kebidanan).

Saya disuruh berbaring oleh suster karena mau diambil darah untuk rapid test. Tidak lama kemudian suami video call untuk memastikan saya baik-baik saja. Pas sekali, adik suami sudah tiba di RSUD dan bisa mengambil anak-anak untuk dititipkan sementara waktu. Tidak lama kemudian suami sudah berada di ruang IGD.

Suster mengisyaratkan bahwa dia hendak memasang infus ke tangan saya. Sontak saya kaget, buat apa. Lahiran anak pertama baru dipasang saluran infus karena bukaan 8 saya kurang bagus, jadi saluran infus sebagai selang masuk cairan induksi. Sementara lahiran anak kedua, saya tidak menggunakan infus sama sekali karena kelahiran Bilqis begitu mengagetkan membuat bahkan suster bidan di ruangan pun kalang kabut.

"Mau disiapin buat induksi Pak, Bu. Biar cepat lahirannya" ujar perawat.

Lah, buat apa. Suami menjelaskan histori kelahiran sebelumnya yang cenderung cepat prosesnya. Walaupun kalau proses bukaan tidak bagus, keputusan induksi bisa diputuskan nanti. Terlalu prematur keputusan melakukan induksi sekarang. Kami kompak menolak. Namun akhirnya karena malas berdebat, tangan saya tetap dipasangkan infus yang katanya untuk pemberian nutrisi. Ya sudahlah. Rugi menghabiskan energi disini.

"Pak, bisa isi ini, ini dan ini ga. Terus ini saya tulisin perlengkapan buat ibu dan bayinya. Bisa dibeli sekitar sini." Pesan perawat.

Yhaa,, suami baru datang sudah disuruh pergi lagi buat "belanja" haha. Yak betul, saya sendiri lagi. Tidak lama kemudian saya dibawa oleh suster menggunakan kursi roda untuk foto ronsen. Tidak jauh, tapi lumayan memakan waktu karena harus menunggu sampai peralatan siap. Selesai ronsen, saya kembali lagi ke IGD dengan rasa dan frekuensi kontraksi  yang semakin intens.

Lahiran pertama saya hanya tergeletak di kasur rumah sakit semenjak datang pada bukaan 3.

Lahiran kedua saya sudah lebih banyak membaca sebelumnya, jadi saya memutuskan berjalan-jalan di ruangan saat rasa sakit kontraksi mulai mengganggu. Bukaan 5 atau 6 mungkin?

Lahiran ketiga saya berencana mempraktekkan gerakan-gerakan yang saya ketahui saat mengikuti zoom prenatal excercise. Gerakan tersebut seperti jongkok atau prenatal flow lainnya. Tapi rencana hanya tinggal rencana.

"Sus, saya boleh minta tolong tangga (yang buat turun dari kasur) dipindahkan ke sebelah kiri ga?" pinta saya memelas.

Infus di tangan kiri, tangga di sebelah kanan kasur. Kalau saya turun otomatis infus tertarik kan? Makanya saya meminta tangga dipindahkan ke sisi lain.

Permintaan pertama saya diabaikan. Saya ulang lagi permintaan tersebut untuk kedua kalinya dengan suara agak keras dan setengah memaksa. Akhirnya baru permintaan saya dilakukan, meski menunggu 5 menit dahulu semenjak saya utarakan untuk kedua kalinya.

Ah, saya sudah keburu malas buat turun. Rasa kontraksi semakin menggangu. Saya berpegangan erat pada tiang infus sembari konsentrasi melakukan hirup-hembus nafas untuk meredakan rasa sakit kontraksi. Di kasur sebelah saya ada ibu lainnya yang sedang hamil. Total perawat ada 3 orang. Selain yang berada di belakang meja, 2 perawat lainnya sedang melayani ibu tersebut.

"Sus, ini kok rasanya udah dibawah banget ya. Bi..sa.. tolong... cek ga?" ujar saya sedikit terengah-engah.

Satu perawat yang sedang mengurus di ranjang sebelah saya menghampiri dan mengecek bukaan saya. Sudah bukaan 8 ternyata.

"Yak! hasil tes negatif, segera bawa ke ruang melahirkan!" tandas perawat yang berada di belakang meja.

Kemaluan saya rasanya sudah berat sekali, seperti ada yang hendak keluar. Saya meminta agar lahiran di ruang IGD saja. Dengan rasa sedemikian rupa, tak kuat membayangkannya jika sang bayi keluar di kursi roda. Tapi perawat bersikeras. Saya turun sendiri (iya tidak dibantu! haha) dari kasur dan diarahkan ke kursi roda. Tas saya pun disuruh pegang sendiri. Untung salah satu perawat mau dimintai tolong pegang setelah saya minta. Tergopoh-gopoh kursi roda saya didorong menelusuri koridor. Saya sembari berdoa saat menunggu pintu lift terbuka. 
"Untung ga lahiran di Ponek, bisa repot kita!" Terdengar sayup-sayup percakapan para perawat

Akhirnya sampai juga di ruang bersalin. Pintu kaca dibuka, terlihat koridor ruangan bersalin dengan stasiun perawat di sebelah kanan. Saya segera masuk ke bangsal yang berjejer 2 baris dengan tiap baris terdiri dari 3 kasur. Terdengar sayup-sayup suara suami dari ujung koridor. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa bersama suami lagi. Namun suami tidak langsung bisa bersama saya. Tampaknya dia harus mengurus sesuatu dulu di satsiun perawat.

Lagi-lagi saya harus turun kursi roda dan naik ke atas kasur sembari memegang botol infus. Dengan sedikit agak mengeluh, saya setengah membanting botol infus ke atas kasur. Saya tidak bisa berfikir, rasanya berat harus melakukan rentetan yang seharusnya ringan itu dalam keadaan kepala bayi akan keluar beberapa menit lagi. 

"Ya kalau lahiran di Rumah sakit harus begini. Kalau mau lahiran enak ya di bidan." Sungut seorang perawat, jelas terdengar di telinga saya.

Ehem,, 2 kali lahiran sebelumnya di Rumah Sakit kok, tapi ya jauh sekali dari begini.

Akhirnya saya dapat rebahan kembali di kasur. Tampak suami di pintu bangsal masuk. Alhamdulillah suami dapat menemani saya.

Setelah satu kontraksi di kasur, bidan memberi aba-aba bahwa bukaan sudah lengkap dan saya bisa mengejan. Saya genggam erat tangan suami. Ejanan pertama, belum keluar. Ejanan kedua, terasa sedikit perih di bagian kemaluan dan keluarlah Husna pada pukul 16.00 diiringi dengan suara hujan lebat dari luar. Saya menarik nafas lega.

Tinggal satu tahapan lagi. Jahitan. Proses jahitan bagi saya adalah penutup yang sebenarnya bersifat anti klimaks jika dibandingkan dengan proses lahiran. Suami saya disuruh suster untuk segera mengurus proses administrasi rawat inap. Namun, saya meminta suami untuk bersama saya sebentar lagi, setidaknya sampai disuntikkan anastesi sebelum dijahit. Meski luka robek tidak besar, tetap keinginan saya untuk melahirkan tanpa jahitan belum terealisasi sampai lahiran anak ketiga. Mungkin nanti lahiran anak keempat? Insya Allah.

Husna diambil oleh perawat untuk dievaluasi di ruangan yang sama. Ditimbang dan diukur serta diteteskan polio. Husna lahir dengan berat badan 2,8 kg dan tinggi badan 48 cm. Dibandingkan kakak-kakaknya, Husna termasuk paling kecil dan lahir saat usia kehamilan paling muda. Hasan lahir saat usia kehamilan 39 minggu dengan BB 3,45 kg dan TB 50 cm. Bilqis lahir saat usia kehamilan 39 minggu dengan BB 3,05 kg dan TB 49 cm.

Setelah suami pergi, saya melalui proses penjahitan sendiri. Dari ketiga jahitan, entah kenapa proses jahitan kali ini paling tidak enak. Paling lama dan paling menggangu. Bahkan saat saya cebok setelah buang air kecil, terasa aneh sekali tutupan jahitannya.

Beberapa bulan lalu saya mengobrol dengan seorang teman yang berdomisili di Jepang mengenai kelahiran di masa pandemi. Ia bercerita bahwa ia melakukan semuanya sendiri mulai dari berangkat ke Rumah Sakit hingga pulang dari Rumah Sakit. Ia baru bertemu suami dan anak sulungnya pada saat menjemput dirinya yang telah selesai menghabiskan 5 malam di Rumah Sakit. Saya benar-benar tidak habis pikir, entah bagaimana rasanya melalui semuanya sendirian.

Ternyata saya (hampir) merasakan yang dirasakan teman. Melahirkan (hampir) sendiri.

Pulang dari rumah sakit kurang dari 24 jam

lahiran gratis rsud


"Kamu pasti mutung ya, kesannya kok aku tega banget biarin di ruangan kelas 3 RSUD?" Tanya suami setelah kita keluar dari Rumah Sakit keesokan paginya.

Setelah proses penjahitan selesai, Husna diantarkan dan ditaruh ke dada saya untuk IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Cukup lama Husna berada di dada saya, hampir setengah jam mungkin? Entah karena apakah IMD selama itu atau memang saya dianggurkan karena perawat entah mengurus apa di luar sana 😑. Setelah sekian lama, akhirnya perawat datang untuk memakaikan baju serta membedong Husna.

"Baju dedeknya mana ya bu?" Tanya perawat.
"Saya disini lahiran mendadak sus, benar-benar ga bawa apa-apa. Tadi suami saya udah keliling apotik di sekitar sini juga ga ketemu yang jual baju bayi, cuma ada pampers. Tolong sus, ada ga bedong sama baju satu aja stok dari sini? Nanti saya beli juga gapapa." Pinta saya memelas.

Padahal saya sudah meminta dengan keinginan serupa saat masih menahan kontraksi bukaan di Ponek. Mereka bersikukuh kalau Rumah Sakit tidak menyediakan pakaian bayi. Alhamdulilah Husna dipakaikan sepotong baju dan bedong dari Rumah Sakit. Lega saya melihatnya, anakku bisa berpakaian dengan layak. Setelah selesai dipakaikan, Husna diletakkan di bed bayi yang berada disamping saya. Perawat pun meninggalkan saya. Akhirnya saya dapat berbaring dengan lega seraya menatap Husna yang sedang tertidur dengan pandangan teduh. Kulitnya agak gelap seperti Hasan, bentuk mukanya bulat dengan secuil pipi menyembul. Hidungnya mancung seperti kakak-kakaknya yang lain.

Saya bersantai sejenak menunggu suami datang sebelum dipindahkan ke ruang rawat inap. Tas yang berada di meja samping saya gapai dan resletingnya dibuka untuk mengambil gawai. Begitu banyak notifikasi muncul di layar gawai. Ternyata orang tua dan mertua ingin mengunjungi saya di Rumah Sakit. Karena terlalu lama dianggurkan, saya baru bisa memegang gawai saat itu. Padahal saya ingin menitip agar dibawakan beberapa bedong dan baju bayi yang tertinggal di rumah ortu, namun ortu terlanjur sudah dalam perjalanan ke RSUD.

Mertua datang setelah berwisata melihat jembatan gantung di Sukabumi. Mereka juga menginap di Rancamaya. Jadi sebelum ke hotel, mereka mampir dulu ke RSUD yang jaraknya lumayan dekat meski menjadi terasa jauh karena banyaknya volume kendaraan di sekitar yang membuat jalanan macet berat. Mengingat ini situasi pandemi, mertua saya hanya sebentar di ruang bersalin untuk kemudian kembali ke hotel. Tidak lama kemudian orang tua saya datang membawa titipan saya yang dibeli dari apotek sekitar. Breast pad dan pembalut bersalin. Azan maghrib berkumandang. Suami mengajak ortu saya untuk sholat di mesjid RSUD sembari berpesan ke saya agar menunggu kedatangan mereka sebelum dibawa ke rawat inap.

"Ruangan sudah siap! yuk kita ke ranap." Ujar suster.

Saya menyampaikan pesan suami, sekitar 10 menit kemudian akhirnya suami dan ortu datang dan kami bersama-sama ke ruang rawat inap. 

Sebuah pengalaman yang berbeda dibandingkan kelahiran pertama dan kedua saya. Jika sebelumnya saya masuk ruangan dengan kamar mandi dalam, terdiri dari 1 ranjang dan ber-AC, sekarang saya memasuki kamar yang terdiri dari 4-5 ranjang, kamar mandi dalam dan tidak ber-AC. Meski begitu, saya tidak mengatakan apa-apa di dalam hati. Saya malah kepikiran ingin menyuruh suami saya untuk pulang saja ke hotel dan menemani Hasan dan Bilqis tidur. Suami menolak dan saya baru menyadari tepatnya keputusan itu setelah keesokan hari. 

Ternyata mandi dengan selang infus di tangan sangat sulit. Untung saja ada suami saya yang setia membantu melepas-memakaikan baju. Akhirnya saya beres mandi juga setelah seharian memakai baju yang penuh peluh dengan bercakan darah sana sini akibat proses persalinan. Badan segar, rasanya jadi lebih bisa tidur meski tanpa AC. Alhamdulillah saat itu di kamar hanya ada 1 pasien lain yang ditemani oleh suaminya. Suami saya jadi bisa tidur di tempat tidur kosong di samping saya. Setelah menyusui dan mengganti popok Husna, saya mencoba tidur seraya mendekatkan rannjang bayi ke dekat tempat tidur saya.

"Bapak, ibu, barang-barang pribadinya dijaga ya, takut ada orang niat jahat ambil." ujar satpam dari daun pintu bangsal.

Hah, ada apa ini? Rasanya jadi deg-degan. Ini pengalaman yang sama sekali baru. Suami segera mengambil gawai saya dan memasukkannya di tas tangan saya yang berada di laci. Karena ranjang saya berada paling dekat dengan pintu bangsal katanya.

Jendela bangsal dibuka oleh pasien yang ranjangnya di dekat sana agar udara mengalir. Deru mobil dan motor bersahut-sahutan. Apalagi saat tengah malam. Alih-alih tidur saya terbangun karena tangisan bayi, saya malah lebih terganggu dengan suara motor yang kebut-kebutan di tengah malam. Pada dua kelahiran sebelumnya saya merasakan sedikit nyeri di kemaluan akibat jahitan pada malam pertama. Sekarang malah hampir tidak terlalu terasa mengganggu. Allah maha baik dan adil, saya dipermudah oleh-Nya disaat keadaan sedang kurang enak dan mendukung.

Bangsal yang gerah, suara kendaraan yang gaduh di malam hari, kurangnya privasi, membuat saya tidak sabar menuruti saran suami untuk langsung pulang esok paginya.

"Memang bisa pulang besok pagi?" Tanya saya tidak percaya.
"Bisa, pulang paksa aja lah! Syarat BPJS yang penting udah nginap sehari." Tandas suami.

Matahari menunjukkan sinar paginya. Kumandang Azan terdengar di ufuk sana. Gawai suami berbunyi menandakan saatnya bangun dan salat Subuh. Saya kembali memejamkan mata karena tidak harus salat Subuh. Jam 7 saya kembali dibangunkan suami. Suami menginginkan pulang secepat mungkin. Namun apa daya, meski jam 7, belum ada petugas terlihat. Pintu koridor rawat inap masih terkunci. Setelah mandi, mulai tampak perawat lalu lalang. Mereka pun meminta ranjang bayi diantarkan ke stasiun perawat untuk dimandikan.

"Cuma ada pampersnya ya, bajunya mana bu?" Tanya perawat keheranan.

Teriris hati saya mendengarnya. Husna tidak ada baju ganti karena dari kemarin kami tidak dapat menemukan baju bayi di jual disekitar RSUD. Bahkan ortu saya yang datang juga tidak dapat menemukan di toko sekitar. Karena alasan ini pula lah yang membuat saya semakin yakin bahwa pagi inilah kami harus pulang ke Cibubur (rumah ortu saya). Kasian Husna. Saya ingin sesegera mungkin Husna memakai baju dan bedong ganti yang bersih. Karena tidak ada baju ganti, Husna kembali memakai baju dan bedong yang sama. Sedih melihatnya.

Alhamdulillah, seusai Husna mandi, suami pun selesai mengurus administrasi untuk keluar ranap. Kami segera membereskan barang bawaan. Saya menggendong Husna, suami membawa tas.

Ah lega, nyaman sekali menghirup udara luar, pikir saya dalam hati sembari duduk di mobil. Masuk jam 4 sore, keluar jam 9 pagi. 17 jam. Kurang dari 24 jam saya sudah keluar dari rumah sakit paska persalinan. Masuk dalam keadaan perut gendut, keluar dalam keadaan menggendong bayi.

"Aku lapar, sarapan dulu yuk!" Ujar saya

Kemudian mobil meninggalkan Rumah Sakit dan menuju hotel. Ternyata Husna ingin menikmati suasana hotel juga.

Lahiran gratis

Tidak pernah terbayangkan sama sekali oleh kami, lahiran anak ketiga ini gratis dan tidak mengeluarkan uang sepeserpun kecuali biaya belanja perlengkapan kelahiran dadakan. Kartu BPJS yang sudah 3 tahun teronggok di dompet saya akhirnya di gunakan juga. Karena okupasi suami, dirinya beserta keluarganya harus didaftarkan ke BPJS kesehatan kelas 3. Tidak terbayangkan juga, akhirnya kartu tersebut terpakai untuk kebutuhan lahiran anak ke-3.

Alhamdulillah, ini bagian dari rejeki Husna. Lahiran lancar, cepat, dan gratis. Biaya lahiran yang telah disiapkan oleh suami sebelumnya jadi bisa dialokasikan ke pos lain. Kebetulan sekali, kebutuhan kami untuk tahun 2021 cukup banyak, Memang benar, tiap anak membawa rejekinya masing-masing.

Lahiran di RSUD

lahiran gratis rsud


Saya melahirkan anak pertama dan kedua di RS Permata Cibubur. Meski jauh dari apartemen, kami rutin kontrol dan pada akhirnya melahirkan disana karena dokter Obgyn langganan kami praktek disana. Pun, lokasinya sangat dekat dengan rumah orang tua. Kami bisa menunggu di rumah ortu dulu sebelum jadwal kontrol. Kami pun tidak perlu mengantri dan menunggu lama di rumah sakit.

Lahiran anak ketiga secara tidak terduga terjadi di tempat yang tidak terbayangkan sama sekali, jauh dari rencana lokasi. Ini pertama kalinya lahiran di Rumah sakit milik pemerintah. Saya lahiran di RSUD Ciawi. Suami yang bekerja di instansi rumah sakit pemerintah membuatnya cukup terbekali bagaimana sistem Rumah sakit di daerah sehingga membuatnya dapat bertindak lebih taktis dalam mengambil keputusan. 

Meski lahiran ketiga melalui standar prosedur yang jauh berbeda dibanding lahiran sebelumnya, tidak terbersit pun di benak saya sampai sekarang untuk menyesal dan mengeluh. Toh wajar saja, kan gratis sementara yang sebelumnya bayar. Lahiran di RSUD benar-benar sangat berkesan karena memberikan pengalaman yang menarik bagi kami berdua. Ah bukan, bertiga.

Secercah Harapan ke Depan

Segala bentuk rasa penasaran saya yang terpikirkan sebelumnya sebagian besar terjawab di kelahiran ketiga. Apakah lebih baik? Sesuaikan dengan bayangan saya? Menurut saya semua ada kelebihan dan kekurangnya. Yang sama jelas satu, pengalaman yang indah dikenang.

Meski begitu, jika dipikir-pikir masih ada beberapa keinginan seputar hamil-menyusui-melahirkan ini. Lahiran di negeri orang dan lahir tanpa jaitan. Lahiran di negeri orang tampak mustahil. Pun, sudah akan lahiran anak keempat. Saya juga tidak menginginkan kehebohan ekstra pada anak keempat.

Tinggal lahiran tanpa jaitan. Saya masih penasaran bagaimana cara dan rasanya. Meski menurut saya Allah memberikan kemudahan pada tiga kelahiran saya, saya tetap belum merasakan pengalaman lahiran tanpa jaitan. Lahiran anak keempat mungkin?

Eh gimana sih, ini Husna juga baru 2.5 bulan? 😏

lahiran gratis rsud

Let's Read: Berpetualang Tanpa Harus Berpelesir ala Karl May

17 komentar

Saya pernah ke Amerika di era Wild West loh bertemu suku Indian Apache!

Begitu juga dengan Karl May, penulis berkebangsaan Jerman yang menulis serial buku Winnetou. Meski berlatar belakang Amerika jaman Wild West, Karl May tidak pernah menjejakkan kakinya sama sekali di Amerika saat proses pembuatan buku. 

Winnetou adalah seorang tokoh fiksi yang menjadi kepala suku Indian Mescalero Apache setelah ayahnya Intschu-tschuna dan adeknya Nscho-tschi dibunuh oleh bandit. Setelah kejadian yang cukup dramatis, Winnetou bersahabat dengan seorang insinyur kereta api "kulit-pucat" (Bangsa Eropa) berkebangsaan Jerman yang nantinya dikenal dengan nama Old Shatterhand.

lets read budaya membaca

Mengenal Karl May dan Budaya Membacanya

budaya membaca lets read

Karl May (1842-1912) adalah penulis berkebangsaan Jerman yang membesut tokoh terkenal Winnetou dan Old Shatterhand. Ia didaulat sebagai Penulis Jerman yang karyanya paling banyak dibaca. Menulis sekitar 70 buku yang telah terjual lebih dari 200 juta kopi di seluruh dunia dan telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa. Karakter-karakternya se-terkenal Harry Potter-nya JK Rowling atau Luke Skywalker-nya Star Wars. 

Kehidupan pribadi Karl May cukup misteri karena ia hidup lebih dari 180 tahun yang lalu dan kisah hidupnya tidak terekam dengan baik. Karl May muda sering keluar-masuk penjara untuk kejahatan-kejahatan kecil. Pada tahun 1870, ia menghabiskan 4 tahun di penjara, waktu terlamanya.

Berbeda dengan yang lain, Karl May malah memanfaatkan waktunya selama di penjara, waktu yang tidak pernah ia dapat saat ia berada di luar penjara. Ia menjadikan penjara sebagai perpustakaan, membaca sebanyak mungkin, riset mendetil terutama soal geografis yang mana menyiapkan dirinya untuk menulis buku petualangan dan mengantarkannya menuju kesuksesan.

Uniknya, semua novel fiksi fenomenalnya tercipta di penjara, bukan melalui perjalanan yang eksotik. Perjalanan mengelilingi dunia hanya terjadi di ruang imajinasinya. Ia mencurahkan waktunya melakukan riset yang teliti pada buku geografik, catatan perjalanan hingga novel-novel petualangan klasik. 

Tenggelam dalam Petualangan Old Shatterhand dan Winnetou

budaya membaca lets read

Usia yang labil dan sarat penjajakan diri.

Saya ingat sekali, pertama membaca karya-karyanya Karl May pada saat duduk di bangku SMA, mungkin usia 14 tahun. Bahkan saking sukanya saya dengan tokoh Old Shatterhand, saya sampai mencari nama beken di dunia maya semacam Old Shatterhand. Old, bukan menunjukkan bahwa si penyandang gelar tua, tapi menunjukkan kalau ia disegani dan ahli. Shatterhand, kaena karakter utamanya memiliki tangan yang handal. Akhirnya saya sampai kepada kesimpulan Young Shatterbrain. Memakai Young karena saya masih muda dan tidak populer penyandangan "old/tua" untuk orang yang ahli atau disegani. Shatterbrain, karena cuma otak saja yang (agak) bisa diandalkan, tangan saya cenderung biasa-biasa saja, tidak handal. Tapi pada akhirnya itu hanya berakhir hilang di otak saya saja karena Young Shatterbrain terdengar sangat aneh 😜.

Budaya membaca yang sudah ditanamkan kepada saya dan abang saya sejak kecil membuat Gramedia sebagai tempat rekreatif bagi kami. Saya ingat betul, kalau tidak salah kami ada jatah untuk membeli buku. Jika buku itu mahal dan membeli buku dalam jarak dekat, saya sampai bela-bela menabung.

Saya dan Buku Winnetou seperti layaknya orang yang baru bertemu dan seketika itu memiliki "chemistry". Terpampang jelas di sudut rak Gramedia, sebuah buku berwarna merah marun dengan gambar patung kepala suku Indian. Penasaran gerangan buku apakah itu, saya pun mengambilnya dan melihat sampul belakang berharap mendapatkan jawaban tentang apa buku tersebut. Alih-alih berisi resensi buku, Winnetou I hanya berisi cuplikan tulisan di buku dan komentar para tokoh literasi Indonesia. Menurut saya sampulnya tidak menarik. Pun, tidak ada petunjuk seperti apa keseruan buku ini bagi saya. Saya juga bukan pecandu kisah-kisah tentang Indian. Tapi entah kenapa hati saya tergerak untuk menaruh buku ini di keranjang belanjaan.

budaya membaca lets read

Merah, biru, hijau. Buku ini adalah trilogi. Winnetou IV dicetak sedikit belakangan, menceritakan kisah paska wafatnya Winnetou. Ternyata, Winnetou pernah dicetak sebelumnya oleh Penerbit Pradnya Paramitha pada tahun 80-an. Namun, yang dicetak adalah edisi resensi, makanya bukunya pun tipis-tipis. Berbeda dengan Winnetou baru terbitan Pustaka Primatama yang 1 buku bisa sekitar 400-500 halaman. Ternyata, penggagas sekaligus pemilik penerbit tersebut itu adalah ayahnya (rahimahullah) seorang teman dimana baru berkenalan baik ayahnya ataupun anaknya di beberapa komunitas saat saya kuliah.

Serial Harry Potter mulai booming saat itu. Namun, ternyata saya lebih menikmati keseruan membaca Winnetou. Jika suatu buku tidak begitu menarik, saya kerap sekali menghitung berapa lembar lagi tersisa sampai bab berakhir. Anehnya, ini tidak berlaku pada buku serial Winnetou. Padahal untuk buku setebal ini hanya terdiri dari tiga bab saja! Pun, di dalamnya terdiri dari sub-bab yang tiap sub-bab terdiri dari puluhan lembar. Harusnya saya bosan kan membaca buku semacam ini? Namun tidak sekalipun saya menghitung berapa lembar yang tersisa. Saya hanyut di dalam jalinan ceritanya. Di dalam kisah heroik dan penuh tragedi Old Shatterhand dan Winnetou.

Betapa nyatanya gambaran geografis yang "dilukiskan" oleh Karl May. Tentang perjalanan mereka, sifat dan ciri khas tiap suku kulit merah (Indian) dan kulit pucat (Bangsa Eropa penjajah). Tentang situasi mencekam penyerangan dan perang suku. Suku Indian sebagai suku asli juga memiliki teknik-teknik "GPS" untuk bertahan di alam bebas. Semisal dengan merunduk, "mencium" jejak, dan "membaca" bentang alam. Semuanya terasa nyata. Siapa yang menyangka, ini semua ditulis oleh orang yang belum pernah menjejakkan kaki di Wild West Amerika, tapi di penjara suatu benua nun jauh disana.

Saking "jatuh cintanya" saya pada buku ini, sampai-sampai saya mencari serial yang lain. Pustaka Primatama juga menerbitkan buku Karl May lainnya, seperti serial Kara Ben Nemsi yang dikenal sebagai Winnetou di jazirah Arab. Begitu juga cerita-cerita pendek lainnya yang di kurasi pada buku berjudul "Kumpulan Cerita Gurun & Prairie". Tidak sampai disitu, saya juga sampai memburu buku-buku karangan Karl May yang diterbitkan oleh penerbit terdahulu, Pradnya Paramitha. Buku-buku dengan ilustrasi jadul tapi tetap menarik di mata saya. Jangan ditanya bagaimana saya mendapatkan buku tersebut, saya juga lupa 😏.

lets read budaya membaca

Namun, sekarang saya sudah tidak tahu dimana rimba koleksi buku Karl May saya akibat terlalu sering berpindah-pindah. Saya harus pindah karena kuliah di kota yang berbeda. Sejak itu saya tidak pernah menyentuh buku-buku saya yang tersimpan di rumah.

Budaya membaca untuk melatih imajinasi dan kreativitas anak

lets read budaya membaca

Rasanya sulit membayangkan saya dan banyak penggemar Karl May di seluruh dunia bisa hanyut di dunia petualangan yang dikarang oleh seseorang dalam penjara tanpa pernah mengunjungi tempat-tempat tersebut. Sebegitunya efek membaca dalam menumbuhkan imajinasi dan kreativitas.

Begitu juga untuk anak.

Sangat penting melatih imajinasi anak sejak usia dini karena dapat menumbuhkan kreativitas dan kemampuan anak untuk menganalisis hingga memecahkan masalah. Mengasah imajinasi anak melalui buku cerita adalah salah satu cara yang jitu. Melalui bacaan, anak tak hanya fokus dalam alur cerita, tapi juga berimajinasi seolah terlibat di dalamnya. Menurut Eugene Schwartz, orang tua juga memegang andil penting dalam menumbuhkan imainasi anak saat mebacakan buku. Misalnya membaca degan intonasi yang menarik dan menghubungkan bacaan kepada kejadian-kejadian di sekitar.

Saat membaca novel, proses yang terjadi di otak berbeda dengan saat membaca buku pelajaran dan koran. Ketika membaca novel dan buku cerita, kita sedang melatih otak kanan karena berperan dalam kemampuan kreatifitas, imajinasi, dan fantasi. Selain berimajinasi, kita juga melibatkan otak kiri untuk menganalisis dan melogikakan jalan cerita. 

Para dokter di Klink Cleveland merekomendasikan para orang tua untuk membacakan anak-anak buku sejak dari bayi hingga usia sekolah dasar. Membaca buku bersama anak membuat anak memandang buku sebagai sumber atmosfer hangat dan menyenangkan. Ini dapat meningkatkan kesukaan anak-anak untuk membaca buku di kemudian hari. Selain itu, ternyata kesenangan membaca di rumah dapat meningkatkan performa di sekolah loh. Dapat menambah kosa kata, meningkatkan tingkat kepercayaan diri, memperbaiki kemampuan berkomunikasi, dan memperkuat fungsi otak.

Manfaat membacakan buku untuk anak

lets read budaya membaca

1. Melatih imajinasi anak

Proses pembentukan kreativitas tidak hanya melalui deretan kalimat pada novel. Untuk anak berusia dini bisa menggunakan komik atau buku bergambar. Buku bergambar ini juga turut membantu anak untuk bisa membaca sendiri karena anak terlatih mengaitkan gambar dan tulisan. Imajinasi anak akan terus terangsang saat menyimak tokoh-tokoh dan cerita yang menarik.

2. Meningkatkan pemahanan dan daya ingat

Saat membaca, anak juga berlatih untuk memahami bacaan dan meningkatkan daya ingatnya. Sebagai contoh, anak bisa menceritakan kembali cerita yang pernah ia baca atau diceritakan oleh orang tuanya. Oleh karena itu, sebagai orang tua kita juga bisa melatih pemahaman dan daya ingat anak dengan cara menanyakan kembali cerita yang sudah dibacakan hingga meminta anak untuk menceritakan kembali.

3. Memperluas kosa kata

Kosa kata yang digunakan saat percakapan jauh lebih sedikit dan simpel ketimbang kosa kata yang ada di dalam buku. Dengan membaca, kita memperluas kosa kata kita dengan kosa kata yang lebih kompleks dan memiliki kedalaman yang berbeda. Ini akan meningkatkan kemampuan berbicara dan literatur anak.

Mari Membangun Budaya Membaca

Dengan semakinnya berkembangnya zaman, semakin bertambah pula kemudahan untuk membaca buku. Sebagai contoh sekarang sudah hadir aplikasi  Let's Read yang bisa diunduh melalui gawai pula. Namun sayang, aplikasi ini baru tersedia di Play Store. Karena saya pengguna iOS, maka saya biasa membacakan anak melalui versi daring.
lets read budaya membaca

Aplikasi Let's Read ini sangat menarik karena bisa mengelompokkan buku digital sesuai kelompok umur atau kemampuan membaca anak. Selain itu, koleksinya banyak sekali yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk Indonesia. Let's Read juga memiliki tim relawan sendiri yang bertugas menerjemahka dan menyunting buku digital. Jika kamu bersemangat membangun budaya membaca anak-anak Indonesia, kamu bisa daftar menjadi tim relawan loh!

Jika anak sangat tertarik untuk membaca, kita tidak perlu pusing lagi untuk membawa buku fisik terutama saat berpelesir. Kita bisa mengakses Let's Read melalui gawai atau untuk lebih gampangnya kita bisa mengunduh dahulu sehingga buku digital tetap bisa dibaca meski ketiadaan koneksi internet, sebagai contoh di atas pesawat.

Anak masih setia dengan buku fisik? Jangan khawatir, jika tetap ingin membaca koleksi buku digital dari Let's Read, kita bisa juga mencetaknya di kertas untuk kemudian di bundel rapi.

Nah, apa lagi alasan kita sebagai orang tua? Mari kita bangun bersama budaya membaca di Indonesia! Perkenalkan buku, budayakan membaca, mari berpetualang!

Saya telah berbicara, howgh! - Winnetou

Let's Read! Menumbuhkan Minat Baca Anak sejak dalam Pangkuan

12 komentar
Saya suka turut sedih jika mendengar cerita-cerita orang tua yang memaksakan anaknya untuk bisa membaca di usia sedini mungkin. Semakin cepat anak bisa membaca, semakin bangga orang tua. Bahkan tak jarang cara-cara yang digunakan malah dapat "mencederai" anak ketimbang mendidik dengan penuh kasih sayang. Menurut seorang psikolog anak, David Elkind, dalam bukunya The Hurried Child, kecenderungan masyarakat untuk mendorong anak agar secepatnya bisa membaca menjadi lebih buruk dibanding 2 dekade tahun yang lalu. Entah karena tuntutan sekolah atau demi kebanggaan semu orang tua semata.

Sedikit yang mengetahui bahwa proses untuk bisa membaca adalah proses panjang yang terbina sejak dari duduk dalam pangkuan. Otak anak kecil mempersiapkan kemampuannya untuk membaca jauh lebih dini ketimbang yang kita kira. persepsi, konsep dan kata menjadi bahan mentah proses kemampuan membaca. Dalam perjalanannya, anak-anak menggabungkan berbagai pandangannya menjadi bahasa tertulis yang biasa kita gunakan.
Bisa cepat membaca itu bonus, yang penting pemahaman dan pembiasaan! - Indri Ayu Lestari, Pegiat Literasi Anak
minat baca anak

Buku adalah Keluarga Kami

minat baca anak
Tinggal di apartemen, terkadang banyak tamu yang mengeluhkan betapa terjejalinya ruang apartemen kami dengan buku. Saya tumbuh dan besar di lingkungan buku. Sejak belum bisa membaca, katanya saya sering sekali minta dibacakan buku hingga bisa baca sendiri tanpa diajari detail saat akan memasuki usia 5 tahun. Meski saya bukan tipe pembaca cepat, saya rutin baca buku sampai sebelum digempur oleh tren media sosial, saat saya menduduki bangku perkuliahan. Beruntung beberapa tahun belakangan ini, saya berhasil menata kembali diri saya untuk mengurangi aktifitas media sosial dan kembali memfokuskan untuk menuntaskan buku-buku yang belum selesai.

Suami saya juga pada dasarnya pecinta buku, sampai sekarang ia juga rajin belajar melalui text book meski kadang lebih suka main komputer.

Meski masih banyak buku di rumah yang belum saya baca, tapi saya secinta itu dengan buku.

Saya mulai membiasakan Hasan dengan buku semenjak ia masih bayi, mungkin sekitar 6 bulan. Dimulai dari buku kain, board book, hard cover hingga buku kertas biasa. Kebetulan, Hasan memiliki motorik halus yang sangat baik sehingga saya bisa menyajikan buku kertas biasa lebih cepat. Dengan kemampuan membuka tiap halaman dengan baik, Hasan jarang sekali merobek buku. Hanya sesekali saja jika "kecelakaan". Hampir tiap hari saya membacakan buku untuk Hasan. Dari saya yang menawarkan hingga ia memilih bukunya sendiri untuk minta dibacakan. Dari yang hanya betah dibacakan 3 lembar buku sedikit tulisan, hingga menagih selesai 1 buku dengan halaman penuh tulisan. Semua itu butuh proses. Ketika Hasan tumbuh menjadi anak yang memiliki minat baca tinggi, rasa keingintahuan besar dan senang belajar, rasanya proses yang sudah dibina sejak dini menjadi tidak sia-sia.

Patut saya akui, saya mengalami panic buying dalam membeli buku untuk Hasan, anak pertama kami, bahkan di bulan-bulan awal kelahiran dia. Buku yang belum menjadi jangkauan usianya juga kerap saya belikan. Pameran buku BBW, lapak cuci gudang buku, semua saya jabanin. Bahkan ada beberapa buku yang harganya cukup lumayan, tetap saya beli. Seiring dengan perkembangan usia Hasan dan penuhnya rak apartemen kami secara signifikan, saya mulai menjadi pembeli buku anak yang penuh perhitungan. Saya sudah lebih memahami buku  macam apa yang Hasan butuhkan di umurnya. Apalagi, Hasan sudah mulai bisa memilih buku yang ia sukai.

Apakah saya menyesal?
Tidak sepenuhnya.

Sudah banyak sekali buku di apartemen, dibanding penuh begitu, masukin aja ke kardus sebagian.

Saya mendengar ujaran tersebut saat Hasan kira-kira berusia 3.5 tahun. Saat itu saya merenung sejenak, hingga akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa meski ada seratus lebih buku anak di apartemen kecil kami, ternyata TIDAK SATU PUN yang luput oleh Hasan untuk minta dibacakan. Tidak satu pun buku yang belum pernah minta dibacakan. Saya tertegun sedikit tidak menyangka. Sampai sekarang pun Hasan suka minta dibacain buku di tumpukan entah mana yang bahkan saya tidak ingat sama sekali pernah membelikan buku itu.

Membaca sejak di Pangkuan

minat baca anak
Semuanya bermula dari hangatnya pangkuan orang yang mereka cintai. Banyak riset yang membuktikan  bahwa waktu yang dibutuhkan oleh seorang anak mendengarkan cerita dari orang tua-nya dapat menjadikan prediktor kemampuan baca mereka. Sedikit sekali yang mengetahui bahwa seorang anak kecil yang duduk mendengarkan cerita sembari melihat gambar berwarna telah belajar bahwa dari tiap halaman terdiri dari berbagai huruf, huruf menjadi kata, kata menjadi kisah, dan suatu kisah tersebut dapat diceritakan berulang-ulang kali. Tahap ini menjadi prekursor penting perkembangan kemampuan baca seorang anak.

Proses berikutnya adalah meningkatnya kemampuan memahami gambar. Sistem visual sudah berfungsi penuh sejak usia 6 bulan. Sistem pemerhati ini akan menempuh jalan panjang untuk pematangannya. Sistem konseptual mereka juga tumbuh hari hari ke hari. Saat kemampuan atensi dan perseptual anak berkembang, mereka akan semakin tertarik dengan prekursor terpenting dalam membaca, perkembangan bahasa dini, dan kemampuan mengaitkan bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki nama. Misalnya yang bisa diminum itu air minum, yang bisa dimakan itu makanan. Sebenarnya,  anak baru akan menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini punya nama pada saat berusia 18-24 bulan. Ini didasari bahwa pada saat itu otak mulai mampu menghubungkan dua atau lebih sistem untuk mendapatkan pengetahuan baru. Otak anak akan mampu mengintegrasikan beberapa sistem seperti penglihatan, kognisi dan bahasa.

Dari munculnya konsep penamaan ini, keberadaan buku menjadi sangat penting. Semakin banyak seorang anak berbicara, semakin faham ia bahasa oral. Semakin banyak anak membaca, semakin berkembang kemampuan kosa kata-nya. Jalinan antara bahasa oral, bahasa tertulis dan kognisi membuat masa awal tumbuh kembang anak sebagai masa emas perkembangan bahasa. Perkembangan bahasa meliputi perkembanga fonologi, semantik dan gramatikal.

Anak mempelajari emosi melalui cerita-cerita di buku. Bayangkan seorang anak berusia 3,5 tahun yang duduk di pangkuan orang yang sering membacakannya cerita. Anak ini perlahan akan paham bahwa gambar tertentu berkaitan dengan cerita tertentu. Cerita tersebut akan menggambarkan emosi dan perasaan melalui tulisan. Disinilah hubungan berkesinambungan antara perkembangan emosi dan membaca. Anak kecil yang belajar merasakan emosi melalui membaca, mempersiapkan diri mereka untuk lebih memahami emosi yang lebih rumit.
minat baca anak
Tahap terpenting lainnya dalam membaca bisa membeli nama alfabet. Setelah anak mampu, pertanyaan berikutnya adalah seberapa dini anak dapat membaca sendiri. Sebuah pertanyaan yang menjadi harapan bagi para orang tua, bahkan menjadi bahan iklan program-program pra-membaca. 

Membaca merupakan ketergantungan kemampuan otak untuk menghubungkan dan mengintegrasikan beberapa sumber informasi, terutama visual dengan auditori, linguistik, dan area konseptual. Proses integrasi ini sangat tergantung dengan pematangan tiap bagian, wilayah asosiasi, dan kecepatan tiap bagian-bagian otak untuk saling terhubung. Menurut neurolog perilaku Norman Geschwind, bagian-bagian ini tidak akan terhubung dan terintegrasi penuh hingga usia sekolah, yaitu antara 5-7 tahun bagi sebagian besar anak. Geschwind juga memiliki hipotesis bahwa biasanya anak laki-laki lebih lambat untuk lancar membaca dibandingkan anak perempuan. Anak perempuan akan lebih cepat melakukan tugas penamaan dibanding anak laki-laki hingga usia 8 tahun.

Ketika anak-anak mencapai usia taman kanak-kanak, yakni 5-6 tahun, semua prekursor terjadinya proses membaca mulai terkoneksi. Jika sebelumnya anak-anak tidak mengerti saat diajari cara-cara membaca, pada usia ini mereka mulai tampak paham, seperti bagaiana menggabungkan huruf menjadi suku kata, suku kata menjadi kata, hingga kata menjadi kalimat. Kata dan kalimat yang masing-masing memiliki maknanya masing-masing.

Metode Membacakan Buku untuk Hasan

minat baca anak
Di usianya yang sebentar lagi genap 5 tahun, saya menggunakan beberapa pendekatan metode dalam membacakan Hasan. Untuk buku Bahasa Indonesia dengan tulisan sedikit dan diulang-ulang, saya menggunakan metode read-aloud (membaca nyaring) sembari menunjukkan tulisan seiring saya baca. Sesekali di kata yang berulang-ulang saya menyuruh dia menebak. Jika buku berbahasa Indonesia dengan kalimat panjang, saya membacakan utuh persis seperti yang tertulis. Untuk buku Bahasa Inggris dengan sedikit kalimat, saya membacakan utuh dengan Bahasa Inggris sambil sesekali bertanya menggunakan Bahasa Inggris. Jika buku berbahasa Inggris dengan tulisan panjang, biasanya jenis ensiklopedi, saya menceritakan atau mendongeng sambil menunjukkan ilustrasi gambar. Di luar itu, Babehnya Hasan juga kerap kali membacakan Hasan dengan cara mendongeng. Baik itu buku Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Inggris

Seperti yang dilansir pada Asian Parent, Menurut Rosie Setiawan, pakar yang mendalami membaca nyaring, metode membaca nyaring memiliki segudang manfaat seperti menstimulasi otak anak agar berkembang secara maksimal serta memperkenalkan anak pada kemampuan dasar literasi, yaitu mendengarkan. 90% dari perkembangan otak anak terjadi pada usia 0-6 tahun, sehingga membiasakan membacakan kepada anak harus segera dilakukan.

Manfaat lain dari membaca nyaring adalah meningkatkan kedekatan antar orang tua dan anak serta menumbuhkan rasa cinta membaca. Begitu bayi duduk di pangkuan sang pembaca, bayi tersebut akan mengasosiasikan kegiatan membaca sebagai bentuk curahan cinta. Menurut Jim Trealease pada bukunya Read-Aloud Handbook, metode membaca nyaring juga dapat meningkatkan kosakata anak. kosa kata yang digunakan saat berbicara jauh lebih sedikit dibandingkan kosa kata pada buku. Ini sangat membantu tingkat literasi anak, bahkan orang dewasa. Menurut para ahli, dibacakan buku adalah salah satu tahap mempersiapkan anak untuk membaca.

Minat Baca Anak dan Literasi Indonesia

Budaya literasi Indonesia sangat rendah jika dibandingkan peringkat dunia. Penelitian yang dilakukan oleh UNESCO pada tahun 2016 terhadap 61 negara di dunia, Indonesia menduduki peringkat ke-60, hanya satu tingkat diatas Bostwana. Kemendikbud menyusun Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca). Kegiatan literasi dipengaruhi beberapa faktor: akses, alternatif, dan budaya. Kategori Indeks Alibaca terdiri dari sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. DKI Jakarta menduduki peringkat tertinggi dengan nilai hampir mencapai 60%. Sementara rata-rata indeks Alibaca nasional hanya mencapai 37,32% yang tergolong rendah.

Jika dibandingkan negara lain, sistem pendidikan Indonesia kurang menitik beratkan tentang pentingnya membaca. Jika melihat buku terbitan Amerika atau Inggris, kita sering melihat buku tersebut ada di tingkatan mana. Tingkat pengenalan (usia prasekolah), tingkat 1, tingkat 2 atau tingkat 3
  • Tingkat 1: Siap membaca Prasekolah-TK
  • Tingkat 2: Membaca dengan bantuan (Prasekolah-Kelas 1)
  • Tingkat 3: Membaca sendiri (Kelas 1-3)
  • Tingkat 4: Membaca paragraf (Kelas 2-3)
  • Tingkat 5: Siap untuk membaca bab (Kelas 2-4)
minat baca anak
Diambil dari Julius Jr. Howdy-Doodle-Doo
Tiap tingkatan memiliki karakteristik model bacaan tersendiri. Seperti pada tahap 1, buku akan disertai dengan tulisan berhuruf besar, berima dan gambar untuk menebak bacaan. Di tahap 2, buku akan terdiri dari kosa kata dasar, kalimat pendek, serta cerita yang sederhana untuk dimengerti oleh anak. Tingkat 3 dimana anak sudah dapat membaca sendiri, karakteristik bacaan mulai lebih rumit seperti perngkarakteran tokoh, plot cerita yang mudah, dan topik-topik populer. Pada tahap 4 anak sudah mulai bisa membaca paragraf sehingga kosa katanya lebih menantang, jalan cerita juga lebih menarik. Di tahap 5, anak sudah dipersiapkan untuk membaca dalam bagian bab, otomatis paragraf akan lebih panjang.

Aplikasi Let's Read

minat baca anak
Saya jarang menemukan pengkategorisasian seperti ini pada kebanyakan buku anak di Indonesia. Namun, sekarang sudah ada aplikasi Let's Read yang bisa diunduh disini. Sementara hanya tersedia untuk pengguna Android. Untuk pengguna iOS jangan khawatir, kita bisa membukanya melalui daring. Di aplikasi ini kita bisa banyak menemukan buku anak-anak dari pengarang seluruh dunia yang sudah dikategorikan sesuai bahasa maupun tingkatannya. Dengan banyaknya ragam buku yang disertai ilustrasi menarik, semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses buku berkualitas. Untuk membaca semua buku juga gratis tanpa dipungut biaya. Aplikasi ini juga cocok buat berpergian. Tanpa harus membawa banyak buku fisik, kita bisa memberikan pilihan bacaan kepada anak. Buku cerita bisa diunduh dalam format epub untuk memudahkan penggunaan tanpa sinyal.

Saat saya menunjukkan aplikasi ini melalui gawai kepada Hasan, ia sungguh tertarik untuk mengeksplorasi buku apa saja. Pilihan pertama jatuh pada judul Ayo, Sini Pus! karangan Karen Lilije, tentang kucing peliharaan seorang anak yang dicuri oleh monster. Buku ini secara cerdas tersirat menjelaskan kepada anak pentingnya membuang sampah di tempatnya, dengan alegori berupa semakin banyak sampah maka semakin besar monster. 

Mari Tingkatkan Minat Baca Anak Indonesia!

Melihat rendahnya tingkat literasi Indonesia, perlu langkah taktis dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, selain mengandalkan pemerintah, ada baiknya kita sebagai orang tua kembali membudayakan membaca dan mendorong agar anak-anak kita menjadi generasi melek literasi. Dengan membaca, kita lebih memahami persoalan. Dengan membaca, kita menjadi generasi bukan penyebar hoax. Dengan membaca, kita siapkan generasi yang adaptif terhadap perubahan.

Daftar Pustaka:
Maryanne Wolf (2008). "Proust and The Squid: The Story and Science of The Reading Brain.".Iconbooks. Hal.81-101