Sering Batuk Pilek di Jakarta? Mungkin itu Akibat Perubahan Iklim

26 komentar
Tahun 2018, kami sekeluarga tinggal berpindah-pindah di berbagai seantero pulau Jawa karena mengikuti stase luar kota suami yang saat itu masih berstatus residen Ortopedi. Sepanjang tahun 2018 kami menyambangi 4 kota: Purwokerto, Jombang, Jogja, dan Chiang Mai selama sebulan di tiap kotanya.

Tiap kembali ke Kota Jakarta, Hasan anak sulung kami pasti batuk-pilek atau bahkan sampai demam. Hal ini juga pernah terjadi saat kami kembali ke Jakarta setelah berada di Banda Aceh selama seminggu. Hasan langsung batuk-pilek, padahal kami selama di luar kota benar-benar sibuk berpergian tiap harinya. Anehnya, anak sulung saya tetap dalam keadaan sehat selama berada di sana.

“Mungkin kah ini akibat kualitas udara di kota-kota tersebut jauh lebih bagus dibandingkan di Jakarta?” Batin saya.

 

perubahan iklim batuk pilek

Tidak hanya pada Hasan, ponakan saya juga kerap mengalami hal yang sama. Sepupunya Hasan  langganan batuk pilek selama tinggal di Jakarta. Anehnya, saat mereka pindah ke Bojonegoro selama 1,5 tahun, kedua sepupu Hasan ini hampir tidak pernah batuk pilek!

Lantas benarkah hipotesis prematur saya ini?

Setelah banyak membaca, gangguan kesehatan Hasan ini ternyata ada pengaruh dari buruknya kualitas udara Jabodetabek yang secara tidak langsung turut andil dalam perubahan iklim.

Lho, bagaimana hubungannya?

Hubungan buruknya kualitas udara dengan perubahan iklim

Perubahan iklim sedang terjadi di depan mata kita! Salah satu parameter yang paling mudah diketahui adalah kenaikan suhu global. Sebenarnya, perubahan iklim itu adalah hal yang lumrah terjadi dimana suhu, curah hujan, dan elemen lainnya berubah naik turun dalam waktu 1 dekade atau lebih. Jutaan tahun yang lalu bisa jadi lebih dingin atau lebih hangat dibandingkan suhu sekarang dan itu wajar.

Sayangnya, siklus alami perubahan temperatur global ini tidak berjalan pada koridornya. Lebih tepatnya, kenaikan suhu semakin cepat akibat diperparah oleh aktivitas manusia berupa pembakaran bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK).

Mengenal gas rumah kaca biang perubahan iklim

perubahan iklim batuk pilek
Sumber: http://kaltim.litbang.pertanian.go.id/

Normalnya, panas matahari yang diserap bumi dipantulkan kembali ke atmosfer. Alih-alih dipantulkan kembali, yang terjadi sekarang adalah panas matahari terperangkap di dalam bumi karena tidak bisa dipantulkan kembali keluar dari atmosfer. Akibatnya suhu di bumi pun menjadi meningkat.

Gas rumah kaca ini terdiri dari karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (N2O), metana (CH4) dan freon. Disebut gas rumah kaca karena keberadaan gas-gas ini mengakibatkan bumi seperti berada di dalam rumah kaca. Sederhananya, keberadaan gas-gas ini seperti membentuk mantel yang menyelimuti bumi sehingga panas matahari yang diterima oleh bumi sulit untuk dilepaskan ke atmosfer. Hal serupa juga terjadi pada Planet Venus yang menyebabkan suhunya lebih tinggi dari Planet Merkurius meski berada lebih jauh dari Matahari.

perubahan iklim batuk pilek

Banyak orang yang berpikiran bahwa perubahan iklim hanya seputar temperatur yang meningkat. Nyatanya, temperatur yang meningkat adalah kisah awal yang akan memancing terjadinya hal-hal berbahaya lain layaknya reaksi rantai. Jika suhu bumi meningkat, maka kekeringan ekstrim, kelangkaan air, kebakaran, kenaikan permukaan laut, dan berbagai malapetaka bumi lainnya hanya tinggal menunggu waktu.

Konsentrasi gas rumah kaca sudah mencapai titik tertinggi dalam 2 juta tahun terakhir dan akan terus meningkat berdasarkan data yang dihimpun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Akibatnya, dunia akan 1,1 °C lebih hangat dibandingkan saat tahun 1800. 1,1 °C mungkin terasa tidak signfikan, tapi cukup mampu menenggelamkan Kota Jakarta jika kita tidak bergerak mencegah terjadinya perubahan iklim. Jika kita semua tidak bertindak untuk menyelamatkan bumi ini, maka diperkirakan kenaikan suhu akan mencapai 4,4 °C di akhir abad ini.

Kenaikan temperatur global yang tidak main-main ini menghasilkan keputusan yang dikenal dengan Paris Agreement. Paris Agreement bervisi agar kenaikan temperatur global HARUS dibawah 2 °C dibandingkan dengan jaman pra-industri. Salah satu tujuan utama yang hendak dicapai agar perubahan iklim tercapai adalah mengurangi emisi GRK. Indonesia sendiri sudah berkomitmen untuk memenuhi mimpi ini bersama-sama.

Salah satu gas rumah kaca adalah CO2. Berdasarkan data Badan Pengawas Lingkungan Hidup (BPLHD) Jakarta, 60-70% dari CO2 pada kota-kota besar yang dihasilkan berasal dari gas pembakaran kendaraan bermotor. Hasil gas pembakaran ini menyumbang emisi CO2 sebanyak 71 ton dengan konsumsi energi sebanyak 179 juta sbm (Setara Barel Minyak). Ini merupakan jumlah yang masif dan sudah pasti Kota Jakarta ikut ambil andil dalam terjadinya perubahan iklim. Pada akhirnya, kesehatan warga Jakarta pula lah yang dipertaruhkan.

Kualitas udara yang buruk akibat kendaraan bermotor di Kota Jakarta

perubahan iklim batuk pilek

Saya pernah mengambil topik penelitian kualitas udara Jakarta untuk tesis S2 saya. Di penelitian tersebut, saya menggunakan data sekunder yang diambil dari BPLHD Jakarta. Ada 2 data stasiun pemantauan yang saya gunakan, yaitu stasiun Bundaran HI dan Ragunan.

Sebelum mendapatkan data tersebut, saya sudah memprediksi bahwa konsentrasi CO2 di sekitar Bundaran HI akan sangat tinggi mengingat itu adalah gas utama buangan kendaraan bermotor. Benar saja, konsentrasi CO2 berada di puncaknya pada jam berangkat dan pulang kerja. Konsentrasi CO2 juga sangat tinggi di jam makan siang.

“Itu namanya Power lunch, dimana lalu lintas cukup tinggi karena orang-orang keluar menggunakan kendaraan bermotor untuk mencari makanan siang”, ujar dosen pembimbing saya pada saat itu.

Sementara untuk data stasiun Ragunan, konsentrasi gas ozon (O3) cukup tinggi. Senyawa ozon  merupakan gas sekunder yang dihasilkan dari proses reaksi kimia, jadi bukan seperti CO2 yang langsung keluar dari mulut knalpot mobil dan motor. Ini disebabkan oleh banyaknya vegetasi di daerah Jakarta Selatan yang memancing proses kimia yang menghasilkan zat ozon di lapisan troposfer.

Penduduk kota Jakarta bisa meningkat menjadi 6-7 kali lipat dari jumlah penduduk aslinya. Mayoritas warga yang berasal dari Megapolitan Jakarta memilih menggunakan mobil atau motor pribadi saat ke kantor. Tak heran, kemacetan memuncak saat menuju jam masuk kantor dan setelah jam pulang kantor.

Selain menghasilkan emisi utama berupa CO2, kendaraan bermotor juga mengeluarkan PM2.5 yang jelas dapat mengganggu kesehatan. PM2.5 (Particulate Matter) adalah partikel polusi dengan diameter lebih kecil dari 2.5 mikrometer. Kehadiran PM2.5 ini yang didukung dengan kenaikan konsentrasi gas rumah kaca CO2 akan saling bersinergi membuat tingginya konsentrasi PM2.5 yang nantinya akan berdampak letal bagi kesehatan manusia.

Kualitas udara buruk, perubahan iklim, dan efeknya pada kesehatan

perubahan iklim batuk pilek

PM2.5 dapat masuk ke saluran pernapasan manusia hingga mencapai paru-paru. Paparan partikel berukuran halus ini dapat mengakibatkan efek kesehatan jangka pendek berupa  iritasi mata, hidung, dan tenggorokan, batuk, bersin, hidung meler, hingga sesak napas seperti yang dilansir dari Departemen Kesehatan New York di situs resminya.

Tercantum juga di dokumen WHO, polutan PM2.5 menyebabkan dampak kesehatan jangka pendek dan jangka panjang berupa kematian yang disebabkan oleh serangan jantung dan pernapasan.

Tidak hanya menghasilkan CO2 dan PM2.5, asap buangan bermotor juga dapat mengeluarkan emisi NOx yang juga dapat mengakibatkan masalah di sistem pernapasan.

Berarti cukup valid lah ya hipotesis prematur saya yang menduga bahwa udara Kota Jakarta sebagai biang batuk-pilek anak saya sepulang dari luar kota dan flu langganan yang dialami ponakan saya.

Gas buangan kendaraan bermotor memproduksi CO2 secara masif yang berkontribusi aktif meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca. Gas rumah kaca ini memicu kenaikan suhu secara global. Naiknya suhu dapat membuat konsentrasi PM2.5 yang juga diproduksi oleh kendaraan bermotor semakin terperangkap sehingga konsentrasi PM2.5 juga lebih besar.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Cina pada tahun 2019 menggabungkan parameter perubahan iklim, kualitas udara yang buruk, serta efeknya terhadap kesehatan. Hasilnya cukup mencengangkan. Lebih dari 85% penduduk Cina akan merasakan dampak kesehatan akibat konsentrasi PM2.5 yang tinggi di tengah abad ini.

Efek gas rumah kaca akan menyebabkan stagnansi pada lapisan atmosfer serta serangan gelombang panas yang nantinya akan memicu gangguan kesehatan yang disebabkan oleh polutan PM2.5 menjadi lebih fatal.

perubahan iklim batuk pilek

Naiknya suhu global akan berdampak pada meningkatnya proses evaporasi dan uap air atmosfer sehingga curah hujan pun akan meningkat. Hujan gila-gilaan ini adalah salah satu indikator perubahan iklim yang jarang disadari oleh manusia seperti yang dilansir dari United States Environmental Protection Agency (US EPA). Pola curah hujan yang tidak biasanya ini dapat mengakibatkan kecepatan angin berkurang sehingga konsentrasi PM2.5 lebih mudah terperangkap dan tinggi pula konsentrasinya.

Perubahan iklim merupakan ancaman kesehatan terbesar yang menghadang umat manusia, salah satunya adalah ancaman kesehatan seperti yang tertera di situs resmi PBB. Lebih dari 90 persen manusia menghirup udara yang tidak sehat yang sudah dikontaminasi oleh hasil dari pembakaran bahan bakar fosil.

Apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki kualitas udara Kota Jakarta?

Sektor transportasi berkontribusi menyumbang 20 persen dari emisi karbon lokal seperti tertera di situs resmi PBB. Bahkan, emisi CO2 di Jakarta sebanyak 60-70% dihasilkan oleh sektor transportasi menurut BPLHD Jakarta..

Dengan jumlah karbon dioksida yang cukup masif ini, banyak hal yang dapat kita lakukan sebagai bentuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor.

Warga Kota Jakarta bisa kok lebih bijak dalam mengurangi emisi buangan kendaraan bermotor dan berkontribusi dalam pencegahan terjadinya perubahan iklim. Simak caranya!

1. Memprioritaskan penggunaan transportasi publik

perubahan iklim batuk pilek
Sumber: jakartamrt.co.id

Perlu saya akui, jaringan transportasi publik di Megapolitan Jakarta (Jakarta dan kota satelitnya) semakin lengkap. Pilihan transportasi publik tersebut juga cukup banyak, mulai dari Kereta Listrik (KRL), MRT, LRT, bus pengumpan, hingga angkot. Jaringan transportasi publik ini akan terus diperluas dan dibenahi ke depannya.

Modern people do commute”, ujar suami saya tempo hari.

Jika diperhatikan, malah justru kota-kota besar di dunia sudah memiliki jaringan transportasi publik yang baik sehingga mayoritas penduduknya sudah melakukan commuting menggunakan transportasi publik.

Menggunakan transportasi publik lebih murah ketimbang menggunakan kendaraan pribadi. Bahkan, tak jarang juga lebih cepat dibanding harus menempuh kemacetan di jalan raya. Jika harus membawa mobil saat pergi ke tempat kerja, suami saya kerap memilih untuk memarkirkan mobil di dekat stasiun MRT, kemudian melanjutkan perjalanan dengan MRT.

“Lebih cepat dan stress-free ketimbang bawa mobil terus ke ke kantor. Udah gitu jarak tempuhnya juga lebih cepat’, celetuk suami saya.

Menggunakan transportasi publik juga memicu masyarakat untuk lebih banyak untuk berjalan kaki sehingga akan  lebih sehat pula.

Dengan semakin lengkapnya jalur transportasi publik didukung dengan pilihan ojek daring dan taksi daring, maka alasan apa lagi yang harus diutarakan untuk tidak menggunakan transportasi publik?

2. Menggunakan sepeda sebagai moda transportasi ke kantor

perubahan iklim batuk pilek
Sobat setia Suami

Penduduk Kota Jakarta membengkak 6-7 kali lipat di hari kerja. Bisa ditebak, jumlah kendaraan yang beredar di jalan raya pada jam berangkat dan pulang kerja juga meningkat drastis sehingga kemacetan pun terjadi dimana-mana.

Selain memilih opsi transportasi publik, masyarakat bisa memilih opsi bersepeda ke kantor seperti opsi yang suami saya pilih. Pengendara sepeda juga tidak mesti harus sepenuhnya menggunakan sepeda saat ke kantor, tapi bisa juga combo menggunakan MRT yang sudah sangat bike-friendly.

Dari Cinere, suami menggenjot sepeda lipatnya sampai ke stasiun Fatmawati. Kemudian ia naik MRT bersama sepedanya hingga stasiun Dukuh Atas. Setelah itu, ia menyelesaikan perjalanan ke RSCM kembali dengan menggenjot sepeda.

Opsi ini selain sebagai wujud bentuk kita mengurangi dampak terjadinya perubahan iklim, secara tidak langsung juga lebih sehat karena membuat pelakunya olahraga kardio hampir setiap hari!

3. Menggunakan kendaraan pribadi hanya saat penggunaan transportasi publik tidak memungkinkan

perubahan iklim batuk pilek

Realistis saja, opsi penggunaan kendaraan pribadi bisa menjadi opsi terbaik, salah satunya jika ingin bepergian dengan keluarga. Apalagi jika jarak tempuh cukup jauh.

Dengan tidak menempatkan penggunaan kendaraan pribadi sebagai prioritas pertama, setidaknya kita menjadi lebih bertanggung jawab saat menggunakan kendaraan pribadi.

4. Hemat BBM

perubahan iklim batuk pilek

Salah satu yang dapat kita lakukan agar lebih mindful saat menggunakan kendaraan pribadi adalah hemat BBM. Langkah-langkah Hemat BBM pernah saya tulis di blog ini. Beberapa langkah yang bisa ditempuh adalah mengisi jenis bahan bakar sesuai dengan jenis mesin mobil, melakukan servis berkala, memastikan ban tidak kempes, tidak membawa beban berlebihan dan menerapkan eco-driving.

Banyak masyarakat yang memilih menggunakan Premium (RON 88) dengan dalih lebih murah. Padahal, penggunaan bahan bakar RON 88 di kendaraan dengan jenis Euro 2 dan Euro 3 malah akan merusak mesin mobil dan membuat pembakaran tidak sempurna. Pembakaran tidak sempurna ini juga akan membuat penggunaan bahan bakar fosil menjadi boros.

Alih-alih ingin berhemat, selamat, kamu sudah berpartisipasi dalam memperburuk perubahan iklim!

Bagaimana dengan penggunaan mobil listrik?

Penggunaan mobil listrik dilabeli sebagai sebuah cara untuk mengerem laju perubahan iklim. Tapi tepatkah jika digunakan di Indonesia?

Nyatanya, kita juga harus berpikiran realistis. Tahukah kamu bahwa energi fosil menyumbang 85% listrik di Indonesia menurut Tirto? Pembangkit Listrik Tenaga Batubara menempati posisi pertama sebagai sumber listrik di Indonesia yang menyuplai sebanyak 49,67% total kapasitas nasional. Posisi berikutnya dipegang oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbasis energi fosil. PLTU menyuplai sebanyak 6,47% kapasitas kapasitas terpasang.

Memperbaiki kualitas udara Kota Jakarta = berpartisipasi dalam mencegah kenaikan suhu global

Ancaman terjadinya iklim sudah di depan mata. Kita tidak bisa diam saja, apalagi menafikannya. Semua lapisan harus bergerak, mulai dari masyarakat, industri, hingga pemerintah. Memang penelitian yang menghubungkan antara polusi udara yang disebabkan oleh kendaraan bermotor dan kesehatan masih terbatas, tapi bukan tidak mungkin akan banyak penelitian-penelitian serupa yang akan mempertegas hubungan tersebut.

Jika semua pihak saling bersinergi dan bahu-membahu untuk mencegah terjadinya perubahan iklim seperti yang menjadi visi Paris Agreement, bukan tidak mungkin bumi kita kembali menjadi lebih sehat.

Kita bukan akan egois, tapi kita sedang menyiapkan bumi ini menjadi lebih layak untuk anak dan cucu kita. Oleh karena itu, masalah perubahan iklim ini adalah milik semua kalangan, mari kita lakukan yang terbaik #UntukmuBumiku. It’s time for #TeamUpforImpact !

Referensi

Data BPLHD 2009

Hong Chaopeng, et al., 2019. Impacts of Climate Change on Future Air Quality and Human Health in China. PNAS. 116 (35) 17193-17200

Ismiyati et.al., 2014. Pencemaran Udara Akibat Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. Jurnal Manajemen Transportasi & Logistik Vol.1 No.3

https://www.epa.gov/climate-indicators/climate-change-indicators-heavy-precipitation diakses 19 April 2022

http://kaltim.litbang.pertanian.go.id diakses 18 April 2022

https://www.health.ny.gov/environmental/indoors/air/pmq_a.htm#:~:text=Particles%20in%20the%20PM2.5%20size%20range%20are%20able%20to,nose%20and%20shortness%20of%20breath diakses 19 April 2022

https://www.un.org/en/climatechange/science/key-findings diakses 18 April 2022

https://unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement/the-paris-agreement diakses 19 April 2022

https://tirto.id/energi-fosil-sumbang-85-listrik-ri-per-mei-2020-terbanyak-pltu-fU1K diakses 20 April 2022

Thobarony, Zeneth Ayesha. 2013. Penggunaan Artificial Neural Network sebagai Metode Prediksi Konsentrasi Ozon di Jakarta. Tesis ITB

WHO. 2021. WHO global air quality guidelines: particulate matter (‎PM2.5 and PM10)‎, ozone, nitrogen dioxide, sulfur dioxide and carbon monoxide.
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/345329/9789240034228-eng.pdf

26 komentar

  1. Udara di Jakarta memang terasa banget semakin panas, panasnya bener-bener yang bikin kewalahan, sampe harus ganti baju atau mandi bolak balik krn kegerahan, rupanya akibat perubahan iklim. Semoga kita semua sama2 bisa mewujudkan visi Paris Agreement ya mba. Minimal dengan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi

    BalasHapus
  2. Saat pertama pindah ke Jakarta 16 tahun lalu, komplek perumahan saya panasnya..Suami akhirnya menanam pohon di sekitar lingkungan rumah kami. Dua tahunan ada hasilnya, akhirnya Pak RT menghijaukan area dengan bibit pohon. Alhamdulillah kini hijau dan sejuk di sekitar area rumah. Meski ke arah jalan raya dan pusat keramaian memang terasa panasnyaaa
    Senangnya bisa naik sepeda+public transport sauminya, Mbak..Memang kontribusi kita sekecil apapun akan berdampak pada kebaikan bumi tercinta.

    BalasHapus
  3. Memperbaiki kualitas udara juga perlu diseluruh daerah. Yang bisa diaplikadikan dengan cepat untuk diri sendiri adalah, penggunaan kendaraan pribadi seperlunya. Makasi kak infonya bermanfaat banget.

    BalasHapus
  4. Belum pernah menetap lama di Jakarta sih kalo aku, tapi kalo misal disana kayanya aku bakalan kayak anak sulung mbak juga jadi sering batuk pilek

    BalasHapus
  5. Ternyata dampak perubahan iklim bisa sangat mempengaruhi kesehatan secara nyata ya. Dan untuk menjaga iklim agar tetap ramah pada generasi selanjutnya dibutuhkan kerjasama dari segala pihak. Dan kita bisa mulai langkah kecilnya dari diri sendiri, salah satunya dengan rajin menggunakan transportasi publik ke mana2. Semoga ke depannya transportasi publik di Indonesia bisa semakin merata dan lebih baik lagi kualitasnya.

    BalasHapus
  6. Pernah daku ke Jakarta era 2000 an awal Mbak, puanas banget yah Jakarta ini, sehingga saya nggak betah. Pemanasan global bisa juga ya? apalagi butuh penghijauan juga agar lebih adem.

    BalasHapus
  7. Beneran ya kualitas udara pengaruh pada kesehatan pasti. Detail banget nih, makasih mbak tambahan wawasannya.

    BalasHapus
  8. Artikelnya lengkap sekali, Mbak. Terima kasih sudah membagikan informasi ini. Reminder bagi saya dan semua jika perubahan iklim merupakan ancaman kesehatan terbesar yang menghadang umat manusia, salah satunya adalah ancaman kesehatan.

    BalasHapus
  9. btw, mbak. aku jadi inget dulu pernah tinggal di kawasan industri Cikarang sekitar 6 bulan. padahal aku kira udaranya nggak kotor2 amat, tapi ternyata aku sakit sinusitis yg disebabkan salah satu faktornya kualitas udara yang kurang bersih. huhu
    memang tips di atas perlu banget kita terapkan supaya udara nggak makin kotor

    BalasHapus
  10. Iyes mbak, salah satu sisi positif kota besar itu memang tyransportasi publiknya yang lumayan bagus, terawat, dan terjangkau. Suamiku ngantor juga pakai KRL, minim capek katanya

    BalasHapus
  11. Aku jadi banyak belajar nih dari artikel mb Zeneth. Kualitas udara Jakarta memang udah buruk banget ya. Aku dulu tinggal di Jakarta Timur belum semacet sekarang. Engga heran ya penduduknya naik 7X lipat, pastinya juga polusi udara meningkat.
    Keren suaminya Mbak, bike to work...

    BalasHapus
  12. Semarang aja sekarang juga makin rame dan padat mbak jalanannya. Btw, sebulan ini aku bapil nggak sembuh2, bisa jadi karena ada efeknya sama perubahan iklim juga ya. Biasanya seminggu paling sembuh, ini sampai sebulan kok timbul tenggelam terus penyakitnya.

    BalasHapus
  13. Jadi ingat di kala awal pandemi tahun 2020, langit Jakarta sempat cerah dan biru, bahkan diklaim tingkat pencemarannya menurun.. Memang ya, kendaraan bermotor itu sangat berpengaruh pada kualitas udara di sekitar kita. Semoga kita semua bisa ikut ambil bagian dalam solusi perbaikan lingkungan.

    BalasHapus
  14. Batuk pilek si tidak, hanya kalau pas ke Jakarta saya pasti kegerahan. Keringat yang keluar begitu beda, lebih lengket. Beda pas udah sampai di Cianjur, wah adem...

    BalasHapus
  15. Sebelum pandemi, selama lebih dari lima belas tahun saya tinggal di Jakarta, selalu memakai masker saat di tempat publik. Kualitas udaranya memang 'luar biasa'. Hehehe. Belum debu-debunya.

    BalasHapus
  16. Ini jadi salah satu alasan kami untuk tidak tinggal di JKT, walau suamiku kerja di Jkt. Tapi tetap masih ada sebenarnya daerah di Jakarta yang hijau. Hanya saja persentasenya sedikit

    BalasHapus
  17. Ini bukan hanya di Jakarta aja, tapi di Bandung juga sama dan daerah lainnya, biar jadi reminder buat kita semua agar lebih melakukan aksi walau dari hal yang kecil

    BalasHapus
  18. Perubahan iklim juga mengancam kesehatan kita ya mbak
    Bisa batuk pilek contohnya
    Kalau nggak segera kita cegah dgn aksi nyata, dampaknya bakal lebih besar lagi ya mbak

    BalasHapus
  19. Perilaku keseharian memang punya imbas terhadap kondisi lingkungan. Apalagi kalau di kota besar ya, rata-rata penggunaan kendaraan bermotor sangat tinggi. Asap yang dihasilkan makin menambah kandungan CO2 di bumi, yang akhirnya berpengaruh juga pada efek rumah kaca dari tahun ke tahun.

    BalasHapus
  20. Bener sekali kak, beberapa waktu lalu hampir seluruh keluarga batuk pilek, begitu juga teman-teman. Kirain salah makan apa, ternyata Karena perubahan iklim ya

    BalasHapus
  21. Jakarta kayanya cukup kompleks ya kak perubahan iklimnya. Apalagi dengan padatnya penduduk di sana dan ramainya kendaraan, duuh polusinya :(

    BalasHapus
  22. Jangankan di Jakarta, di tempat tinggal saya di Lombok yang kalau dibilang tuh udaranya masih jauh lebih bersih, ya gampang aja kitanya batuk pilek. Saya pribadi sih paling ngerasain sekarang tuh panas banget ya, tahun 2009an dulu di sini gak gitu. Panas, tapi biasa aja. Angin juga masih berasa, sejuk, sepoi-sepoi.

    BalasHapus
  23. Climate change kini sudah semakin mengkhawatirkan hingga climate crisis yang mengharuskan kita semua bergerak bersama saling menjaga dan mengingatkan melalui media yang kita miliki akan pentingnya menjaga kelestarian alam.

    Meski kecil, meski sedikit dan mungkin belum bisa berdampak yang terasa gimana-gimana, tapi semoga kebiasaan baik ini menurun pada anak-cucu dan generasi selanjutnya.

    BalasHapus
  24. sebagai kota besar yang macetnya luar biasa memang udara Jakarta itu benar-benar nggak sehat ya, mbak. jadi ingat dulu pas awal corona dan diberlakukan kebijakan WFH udara jakarta jadi agak bersih karena nggak banyak yang pakai mobil dan ke luar rumah

    BalasHapus
  25. Ternyata sebegitu banyakanya dampak dari perubahan iklim. Salah satunya bisa memengaruhi kesehatan kita.

    Terima kasih sharingnya Mbak. InsyaAllah dari beberapa langkah itu, ada hal yang bisa diusahakan untuk mengurangi dampak perubahan iklim ini

    BalasHapus
  26. Suami termasuk yg kalo ngantor lebih suka naik MRT atau transJ. Krn kalo bawa kendaraan sendiri capeek dia bilang, macetnya ga kuat. Dulu pas masih kerja, akupun pake transJ, Krn kebetulan melewati kantor. Jadi enak. Kecuali rutenya ga dilewati, baru deh mau ga mau pakai kendaraan lain.

    Ngeri memang Ama perubahan iklim skr ya mba. Berasa bangettt kok suhu semakin tinggi. Udah beberapa kali ke Jepang saat winter, itu sangat terasa perbedaan suhunya. Kalo 2017 aku msh ngalamin salju tebal di Takayama, 2019, aku kesana di bulan yg sama, blass ga ada salju. Suhunya juga ga sedingin sebelumnya :(.

    BalasHapus