Kesempatan Kedua Hari Ini

Tidak ada komentar
Dari awal saya sudah faham, Hasan bukan tipe penyelesai kepingan Puzzle.

Kalau saat Hasan berusia 2 tahun dan anak-anak seusianya banyak yang bisa menyelesaikan puzzle, Hasan tertarik saja juga tidak. Sampai sekarang hampir genap 3 tahun, Hasan tak kunjung tertarik akan puzzle. Namun beberapa hari terakhir ini ia kerap kali minta diambilkan puzzle impor yang sudah berbulan-bulan lamanya teronggok di sudut almari. Puzzle bergambarkan suasana ladang dan peternakan dengan warna cerah, ilustrasi menarik dan kepingan yang besar pula. Sesaat setelah Hasan menyerakkan seluruh kepingan Puzzle itu ke lantai, ia langsung berteriak memanggil saya minta disusunkan. Mencoba sekali memasangkan, langsung bingung dan tidak mengerti.



Mungkin sejak baca buku How to Talk so Kids Will Listen and Listen so Kids Will Talk saya jadi sedikit lebih terobsesi dengan kemandirian anak. Hasan sebenarnya pada dasarnya relatif lebih mandiri, mau apa-apa sendiri dan terjadwal. Makanya setelah membaca buku tentang Montessori saya merasa Hasan cocok sekali jika menggunakan metode tersebut. Namun, sejak membaca buku How to Talk karangan Adele Faber tersebut, obsesi saya bertambah dengan membiarkan anak memecahkan masalahnya sendiri.


Akhirnya saya memutuskan untuk mengajarkan Hasan bermain Puzzle. Benar-benar tahap demi tahap, konsep, tetapi saya tidak ambil andil dalam tindakan fisiknya, jadi seperti mengajarkan verbal saja.

Mulailah saya bimbing ia, keping demi keping. Memberi petunjuk gambar yang saling berkaitan hingga hal yang paling dasar seperti keping yang arah gambarnya harus seragam. Ternyata tidak semulus itu. Tiap saya kasih arahan gambar yang bersambung bahkan sudah ditunjukkan bagian mananya, ia bingung. Tiap kepingan bahwa harus seragam arah gambarnya, ia bingung. Hampir semua keping diputar-putar seperti tidak ada acuan. Padahal kan dengan arah yang sudah seragam membuat kepingan puzzle lebih jelas harus ditaruh dimana. Perintah yang berulang-ulang seperti tidak ada yang dipahami ditambah hormon saya yang entah kenapa sedang kacau balaunya, meledak lah saya. Volume saya jadi meninggi dan sudah bukan seperti kegiatan belajar, malah terdengar seperti anak yang dimarahi karena salah melakukan sesuatu. Di kepala saya terngiang-ngiang, "Duh, masa konsep dasar gitu aja ga ngerti sih. Masa udah umur segini ga paham-paham. Kok sia-sia banget sih kayak ga ngerti-ngerti dikasih tau sampai berbusa."

Saat puzzle hampir selesai Hasan mulai tampak tergugu. Tidak menangis, tetapi mukanya tampak kalut. Minatnya tampak hilang buat memegang puzzle. Emosi saya masih agak tinggi, sehingga fokus saya malah mengatakan ayo selesaikan cepat, tinggal beberapa keping lagi. Beberapa detik kemudian emosi saya mulai menurun. Akhirnya saya menawarkan pilihan, mau dilanjutkan atau dibereskan masuk ke kotak. Hasan menjawab dibereskan. Saya sedikit kaget karena biasanya justru dia tidak mau puzzle itu dibereskan karena senang meletakkan mobil-mobil diatasnya. Karena saya mulai memasuki zona insaf dan waras, langsung rasanya tercabik dan sangat menyesal. Saat itu saya telah menghancurkan keinginan anak saya untuk belajar meski dia tau dia tidak bisa. Hasan merasa patah semangat. Karena sudah jam makan akhirnya saya ajak makan.

Saat duduk di meja makannya, saya bertanya,
"Hasan senang main puzzle?"
"Senang (seperti setengah hati jawabnya)."
"Nanti abis makan mau main puzzle lagi?"
"Ga mau, ga bisa."

Sontak rasanya ingin menjerit di dalam hati. Perih sekali rasanya. Benar-benar seperti dosa segunung dilemparkan ke muka saya.

Ya, saya telah menghancurkan minat belajar anak saya.

Akhirnya di meja makan saya peluk anak saya, minta maaf dengan apa yang sudah saya lakukan. Kemudian saya terima perasaannya dan saya jelaskan bahwa dia hebat karena bisa menyelesaikannya, buktinya puzzlenya beres. Oh ya, menerima perasaan dan menunjukkan secara deskriptif merupakan salah satu kemampuan yang diterangkan di buku How to Talk. Kalau menerima perasaan kayaknya sudah saya lakukan dari sebelum saya baca buku. Tiap Hasan kesal, sakit karena terantuk, dan lainya, saya selalu peluk dia dan menerima apa yang dia rasakan. Sampai umur 3 tahun ini Hasan tidak pernah tantrum. Entah karena Hasan memang model anak minim tantrum atau karena keampuhan teknik menerima perasaan anak ini.


Setelah Hasan makan dan bermain kembali di ruang tengah, saya ambil kotak puzzle dan saya serakkan ke lantai.

"Hasan, susun yuk!"

Tidak disangka, Hasan langsung mendekat. Dalam hati saya berjanji untuk mengontrol diri untuk sesi kali ini. Saya juga berniat mempermudah dengan cara memberikan potongan puzzle (jadi Hasan tidak mencari sendiri di tumpukan keping puzzle) untuk kemudian ia cari tahu sendiri diletakkan di mana. Tidak disangka, Hasan malah dengan cepat memasangkan keping puzzle meski bagiannya acak dan dilongkap. Bahkan beberapa ia pasang sebelum saya selesai memberi tahu gambar mana yang bersambung. Drama kepingan puzzle yang diputar-putar karena dia bingung arah juga hampir tidak ada. Saya terpana. Saya terharu. Ah, entah yang mana lah. Detik itu juga saya sadar, saya telah lupa kalau Hasan adalah pembelajar yang sangat cepat. Kilat malah.


Hasan telah memberi saya kesempatan kedua untuk membenahi kesalahan saya.

Saya lupa Hasan pernah bisa belajar menyumpit playdoh hanya dalam hitungan menit.
Saya lupa Hasan bisa mengikuti saya murojaah satu juz terakhir meski cuma tidur-tiduran atau sambil main.
Saya lupa Hasan bisa menyendok sendiri makanan utamanya di hari pertama saya menginstruksikannya (bagi anak pada umumnya ini remeh temeh sekali, tapi bagi yang tahu sejarah Hasan makan semenjak MPASI yang tidak pernah minat memasukkan apa-apa ke mulut pasti faham pencapaiannya).

Dan Hari ini kemampuan puzzle Hasan meningkat bagaikan balap mobil pakai nitro.

Anak-anak butuh pendukung dan dukungan dalam proses pembelajarannya. Bisakah kita mendukungnya dan tidak menghancurkan minat belajar mereka secara verbal? Tiap anak berbeda, dan menangani pembelajarannya juga berbeda. Saya beruntung memiliki Hasan sebagai anak yang suka belajar dan seorang pembelajar cepat. Benar-benar PR bagi saya bagaimana saya mengontrol emosi dan verbal saya kali lain agar kejadian serupa tidak terjadi.

Karena belum tentu Hasan akan memberi kesempatan kedua bagi saya dan dirinya.

Tidak ada komentar