Menjadi Istri PPDS: The Beginning

1 komentar
Hari ini, Rabu 25 Juni 2014 adalah hari pertama suami saya menjalankan kehidupan PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) setelah sehari sebelumnya briefing resmi baik dari departemen dan senior.

istri ppds




Apa yang berubah?


Meski tidak drastis tapi cukup masif.

Meski saya sudah mengenyam pendidikan magister, saya yang sama sekali tidak memiliki latar belakang dokter pada awalnya tidak menyangka bahwa PPDS sedemikian signifikan berbeda dari program magister reguler lainnya. Saat mengetahui suami saya akan melanjutkan PPDS, saya hanya berfikir santai. Tidak masalah, tidak akan jauh berbeda.

Semester pertama program magister adalah semester paling santai untuk saya. Ketika itu saya malah sempat bekerja paruh waktu di sebuah konsultan dan menjadi 3 asisten praktikum/mata kuliah. Semester kedua adalah semester tersibuk saya karena mengambil SKS maksimal, yakni berjumlah 16 SKS. Tidak hanya sibuk masa perkuliahan, tetapi tersibuk juga di masa ujian. Ada 8 mata kuliah karena tiap mata kuliah hanya berjumlah 2 SKS. Ujian dengan mata kuliah terbanyak, bahkan masih lebih banyak dibandingkan dengan terbanyak saat program sarjana dahulu. Semester 3 dan 4 ritmenya kembali menurun karena mata kuliah yang diambil tinggal sedikit dan tinggal mengerjakan tesis.

"Nanti pas udah masuk spesialis udah sama sekali ga bisa apa-apa. Udah ga bisa kerja juga. 6 bulan - 1 tahun itu yang paling berat. Setelah itu pelan-pelan udah mulai normal."

Mendengar hal itu dulu, rasanya kaget. Saya tidak menyangka ternyata perbedaanya sesignifikan itu. Justru 6 bulan pertama itu yang paling berat. 

"Kalian siap-siap tidak memiliki kehidupan pribadi selama 6 bulan ini. Jangan bikin janji di hari Minggu kalau kalian tidak mau kecewa."

Begitulah kutipan para senior yang mem-briefing kemarin. Saya yang menyimak cuma bisa tertawa sendiri. Tertawa entah karena kaget, sedih atau entah apa. Yang jelas bukan tertawa karena lucu. Suami saya menceritakan kalau selama 6 bulan ini dia dan angkatannya merencenakan akan stand by di kampus sejak pukul setengah 6 pagi hingga 7 malam. Hari sabtu-minggu juga akan dipakai buat berolahraga dan yang bersangkutan juga harus hadir.

"Sabar ya, mungkin selama 6 bulan akan begini terus. Bisa aja nanti tiba-tiba dikontak jam 12 malam buat jaga. Mungkin ga ketemu matahari lagi di rumah. Mungkin nanti Ramadhan ini kita ga bisa buka puasa bareng-bareng."

Sedih? Mungkin lebih tepatnya saya hampir sama sekali tidak terpikirkan untuk mengasihani diri sendiri. Yang langsung membuncah di pikiran saya adalah rasa prihatin. Memikirkan bahkan untuk mendapatkan tidur yang pantas pun sulit. Memikirkan bagaimana bisa terus menjaga kesehatannya dan mereduksi stress. Setelah poin-poin itu muncul, baru muncul yang terakhir, poin mengasihani sendiri.

Tidak akan ada banyak waktu untuk sekedar bersama-sama.

Ternyata saya harus jujur. Koar-koar tidak mengasihani diri sendiri diawal ternyata malah sebaliknya. Manusia. Hati kecil tidak bisa dibohongi.

Dari awal sebenarnya sepupu saya yang dokter serta tante saya yang spesialis dokter gigi sudah mengingatkan hal serupa. Pantas saja saya suka mendengar guyonan "jangan mau sama dokter, nanti sering ditinggal-tinggal". Ternyata itu benar adanya. Pantas 3 bulan setelah menikah benar-benar waktunya dibela-belain buat main-main dan keluar kota.

Sejak bulan September tahun lalu, saya menjadi asisten riset di suatu perguruan tinggi negeri di Bogor. Hampir tiap 2 sabtu sekali saya mengajar di perguruan tinggi bilangan Jakarta. Sebelum menikah saya tiap hari pulang-pergi ke Bogor. Meski berjarak sekitar 40 km, tidak terasa jauh karena setengah perjalanan lebih melewati tol. Jarak tempuh hanya 50 menit - 1.5 jam. Setelah menikah dan saya tinggal di Lebak Bulus, saya mendapat privilege dari bos saya a.k.a ketua departemen untuk tidak masuk tiap hari dan boleh mengerjakan pekerjaan di rumah. Jika dahulu saya pulang dari Bogor sekitar jam 4 sampai 5 sore, sekarang saya pulang jam 3 karena ingin sampai dirumah sebelum suami. Setelah saya mendengar paparan kira-kira rutinitas yang suami saya akan jalani, sempat terpikirkan di saya kalau sekalian saja saya pulang dari Bogor kembali seperti dahulu. Sekalian saja saya lanjutkan mengajar di hari sabtu untuk semester berikutnya padahal sebelumnya saya ingin sampai semester ini saja. Killing time. Mungkin itu lebih tepatnya.

Apa saja yang berubah?

Dari yang paling simpel. Jam bangun dan jam tidur. Jam bangun seperti jam menyiapkan sahur. Alhamduliillah hanya selisih setengah jam. Alhamdulillah tidak terlalu signifikan karena biasanya memang suami berangkat sekitar jam setengah 6. Jam tidur jelas lebih larut karena suami pulang larut. Kalau sebelumnya pulang larut saat jaga klinik atau waktu belajar bersama persiapan PPDS, sekarang tiap hari.

Waktu bersama. Ini sih udah pasti ya.
Ada undangan nikah, harus bareng teman karena suami kemungkinan besar ga bisa. Ada tiket promo Air Asia, ga jadi karena ingat suami. Ada tempat makan layak coba, ga jadi karena ingat suami. Ada event-event menarik, ga jadi karena ingat suami. Well,, kalau udah seperti ini, agak sedikit bersyukur dengan trait alamiah saya, mandiri. Alhamduliillah saya orangnya ga manja dan cengeng yang interdependensinya besar.

Harus menjadi peran seperti apa?

Supporting factor.

Saya ingat cerita Ibu (nenek suami) sewaktu menginap di rumah beliau tempo lalu. Bapak dan Ibu sama-sama dokter spesialis. Beliau bercerita dahulu bagaimana menjadi supporting factor Bapak. Moral dan finansial. Menjadi backup. Selain itu beliau juga mengajarkan "How to be doctor wife" #eh. Meski punya pekerjaan sendiri harus siap kalau suami membutuhkan.

Pelajaraan "How to be doctor" lain juga saya dapat dari Uci (nenek suami dari pihak lainnya). Datuk juga spesialis. Uci cerita harus banyak sabar. Bisa aja nanti sudah bikin janji eh tiba-tiba bisa langsung batal. Unik. Saya cuma bisa tertawa renyah kalau mendengar cerita-cerita menarik tersebut.

Mama saya juga menasehati kalo nantinya saya harus banyak mengalah. Harus pandai-pandai menahan emosi kalau tidak ingin semuanya runyam. Well, ini menarik. Tantangan, mengingat karakteristik dasar saya yang suka menahan namun sekalinya keluar meledak-ledak. Tante dan sepupu saya juga mengingatkan harus siap-siap diminta bantuan mengerjakan tugas-tugas suami. Insya Allah bagi saya ini sih tidak masalah. Saya sudah sering meminta apa yang mau dibantu semenjak suami masih magang. Insya Allah saya bisa membagi waktu antara pekerjaan rumah, pekerjaan saya dan tugas suami.

Ini masih hitungan hari. 6 bulan sampai setahun awal yang katanya paling gila-gilaan itu masih panjang. 5 tahun minmal sampai lulus PPDS apalagi. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi berikutnya.

But I'm ready. Yes, we are about more than ready.


1 komentar