Filosofi Memasak

Tidak ada komentar
Kehidupan memasak saya resmi berubah selepas tanggal 22 Maret 2014, yakni tanggal pernikahan saya dan suami. Kalo boleh jujur, kehidupan masak-memasak saya tergolong menyedihkan. 

Latar Belakang

Saya tumbuh besar dari keluarga yang menekankan bahwa kebanggaan diri seorang wanita ada pada dapur. Ibu saya yang Ibu rumah tangga yang handal untuk urusan memasak, baik makanan ataupun kue. Hal ini berangkat dari edukasi nenek saya. Nenek saya sangat lihai untuk memasak makanan dan kue. Beliau bahkan punya "buku sakti" yang berisi resep makanan, kue kampung, tradisional sampai kue jaman dahulu (kue Belanda). Yang paling telaten membuat kue, ibu saya. Yang telaten membuat makanan tante dan wak perempuan saya. Tante saya sekarang single parent dan dokter gigi, tapi beliau terkadang masih sempat memasakkan makanan anak-anaknya. Wak perempuan saya wanita karir yang sibuk, tapi di hari libur beliau menyempatkan diri memasakkan makanan untuk keluarga berangkat karena senang. Wak saya yang laki-laki juga pandai memasak. Beliau yang memasakkan ibu saya ketika beliau hamil dan ditinggal pergi ayah saya ke luar negeri.

Awal Mula

Tapi entah kenapa rantai masak memasak tampak putus di generasi berikutnya. Saya, dan sepupu-sepupu saya. Entah karena perihal luput atau apa. Mungkin kalau untuk saya, karena selepas SMA, saya kuliah S1 dan S2 pisah dari orang tua, yakni di Bandung. Kehidupan kos pun hanya sekitar 8 bulan, selebihnya tinggal bersama tante dan sepupu-sepupu saya. Saat kos, entah kenapa keinginan saya memasak masih belum tumbuh, padahal kamar kos saya disamping dapur persis. Setelah menginjak tingkat 3, keinginan tersebut muncul. Lebih tepatnya keinginan belanja sendiri ke pasar, berkhayal akan masak apa, masak sendiri kemudian dimakan. Sebenarnya keinginan ini dipacu karena saya melihat banyak justru teman lelaki saya seperti Dewa dan Gandhi malah senang memasak. Namun saya berasa sudah telat. Menyesal dulu tidak rajin memasak semasa jaman kos. Pada saat itu saya sudah tinggal di rumah,  ada mbak sehingga pergerakan dapur saya terbatas dan semakin menimbulkan alasan malas masak karena sudah ada yang masak.

Kehidupan Per-kue-an

Sebenarnya, saya memulai kehidupan dapur saya sejak SMA, dan itupun hanya terbatas perihal memasak kue. Kue pertama saya yang saya masak dari awal sampai akhir adalah black forest. Sebelumnya saya hanya bantu Ibu saya memasak kue semenjak masih SD. Biasanya cuma di bagian mixing dan... mencolek adonan .____. Saya cuma suka masak kue basah. Karena kue kering menurut saya repot di pembuatan dan di finalisasi aka membentuk-bentuknya. Beberapa kue yang saya biasa masak dapat dibaca di blog saya sebelah. Waktu favorit saya masak kue adalah pagi atau sekalian malam. Pagi kalau kue itu membutuhkan waktu relatif lama dan dalam kuantitatif banyak. Biasanya kue basah semacam black forest, red velvet, dan lain lain. Malam jika kue sederhana seperti cupcake. 

Red Velvet
Black Forrest

Dahulu ketika SMP, kelas akselerasi saya mendapat semacam ekstrakurikuler wajib tiap sabtu. minggu ganjil elektronika, minggu genap tataboga. Untuk tata boga, 1 kelas dibagi 4 kelompok. Kemudian kita dituntut membawa perlengkapan makan, taplak meja dan dekorasi meja, serta bahan makanan. Tiap pertemuan ditentukan tiap temanya. Pada saat tema spongecake, cuma kelompok saya saja yang kuenya tidak bantet alias mengembang #bukansombong hehe.

Tingkat 2 sampai awal tingkat 4 orang tua saya tinggal di luar negeri. Atas permintaan tante saya, kompor oven ibu saya diangkutlah ke Bandung. Rasanya senang sekali, saya menjadi bebas masak kue sesuka saya. Saat orang tua saya kembali ke tanah air, kompor oven tersebut diboyong kembali ke Jakarta. Semakin susah rasanya kalau ingin masak kue kembali. Akhirnya hanya menyisakan masak cupcake yang bisa menggunakan microwave oven tante saya. Adapun perjuangan masak kue basah selain itu luar biasa karena harus mengangkut adonan ke rumah sepupu saya yang sekomplek untuk menggunakan ovennya.

Kehidupan Pernikahan

Entah kenapa, menjelang pernikahan saya, persiapan saya untuk masak-memasak cenderung nihil. Sering dikasih tau sih, cuma moodnya kayak belum ada aja. Kemudian setelah saya menikah semua mendadak berubah. Saya sebetulnya ditawari asisten rumah tangga oleh ortu. Mertua pun juga menyarankan. Tapi saya menolak mentah-mentah tawaran itu. Memang berat rumah sebesar itu jika saya yang urus semua. Tapi ternyata ada penjaga rumah laki-laki yang biasa membersihkan rumah tiap pagi. Saya tinggal hanya membersihkan kamar dan kamar mandi dalam kamar. Cuci gosok juga saya kerjakan sendiri. Jadi Insya Allah masih bisa kehandle sendiri meski saya juga bekerja. Saya baru mengiyakan tawaran tersebut jika sudah waktunya. Saya ingin merasakan jadi kepala dapur. Mengontrol rumah sendiri. Dan terbukti keputusan saya tepat. Yang awalnya tiap hari terpikirkan "masak apa ya" hari ini (pikiran khas emak-emak :p) menjadi "mau coba masak ini ah besok". Lama kelamaan menjadi rileks dan seru. 

Saya mulai menyadari potensi saya. Masak itu semenyenangkan itu ketimbang harus mencuci piring setelahnya (eh). Saya jadi sadar, ternyata saya paling lemah soal goreng-gorengan, padahal suami doyannya gorengan.

Sama seperti ibu saya, mertua saya jago masak. Beliau mendidik kelima anak laki-lakinya agar mengerti masak. Om-om suami saya juga sebagian besar jago masak. Dan karena lelaki, kemampuan mereka masak bukan cuma masakan standar rumah, tetapi masakan yang tidak biasa atau masakan barat dan lain-lain.

Dan ternyata, suami saya adalah seorang yang mengapresiasi makanan dengan standar tinggi. Ilmu kuliner dia luas. Mengerti ilmu dan jenis masakan dalam negeri, asia dan barat. Bisa dengan mudah membedakan mana bahan makanan yang masih bagus atau bukan, melempem atau belum. Cara masak yang dia tahu juga lebih banyak dibanding saya. Alhasil, doi sering menyuruh saya mencoba bikin variasi makanan yang belum pernah saya buat sebelumnya seperti saus bechamel, bibimbab, tteobokki, dll. Saya malah menganggapnya tantangan dan saya sangat senang jika dia sudah memesan. Ternyata saya enjoy "bereksperimen" di dapur. Karena pengetahuan suami saya ini, saya suka menyuruh dia coba masak di dapur, biasanya laki-laki kalo jago masak pasti seninya bagus. Dia bilang tidak bisa, karena dia tidak memiliki kemampuan imajinasi mencampur bahan dan rasa makanan. Padahal poin itu adalah salah satu kemampuan saya. Sayapun sontak bilang, "yaudah, kamu edukasi aku aja, nanti aku yang latihan dan mengembangkan dengan imajinasi". Nanti tiba-tiba 10 tahun lagi kami punya restoran. Who knows? LOL.

Pihak yang bersangkutan :p

Jujur saja, jika membandingkan akhir tahun lalu, saya tidak menyangka bisa begini. Sebelum menikah saya banyak ditanyain pernah memasak atau belum. Benar seperti kata Ganis, semua perempuan bisa memasak. Itu sudah insting perempuan jika berkeluarga. Mertua saya memulai rumah tangga dari tidak bisa memasak. Uci (nenek dari suami) saya juga memulai rumah tangga dari tidak bisa memasak. Sekarang bagaimana? Mereka semua adalah pemasak yang handal.

Filosofi Memasak

Entah karena ini memang cari berfikir orang teknik atau bukan, tapi beginilah cara berfikir saya. Saya tidak nyaman jika menggunakan, atau memandang sesuatu yang saya tidak mengerti logika cara berfikirnya. Sebagai contoh, saya tidak mau melakukan jailbreak pada gadget android saya karena saya tidak mengerti logika cara bekerjanya. Semua gadget saya, saya harus mengerti logika berfikir dan cara bekerjanya. Begitu juga dengan belajar pelajaran kuliah, sains, ataupun permasalahan mobil. Mungkin saja ini karena pola didik ayah saya. Tapi saya tidak merasa nyaman jika saya tidak mengerti logikanya. Kalau saya mengerti, ada permasalahan apapun saya menjadi faham bagaimana menyikapinya dan memperbaikinya. Apabila salah memperbaiki pun saya bisa mencari akal-akalan agar permasalahan tersebut dapat diperbaiki. Filosofi inilah yang saya pegang dan menjadi ciri khas saya.

Ternyata memasak punya filosofi dan "cara berfikir"nya juga. Sebagai contoh dalam hal memasak kue; putih telur punya fungsi sebagai pengembang alamiah sementara kuning telur sebaliknya. Inilah contoh apabila suatu resep mengatakan pisahkan putir telur dan kuning telur, jangan sampai putih tercampur kuning telur. Nanti adonan tidak mengembang.

Logika lain yang saya baru kepikiran adalah, jika teknik dasar dalam memasak makanan rumahan indonesia adalah menumis, teknik memasak dasar dalam membuat makanan barat yang creamy adalah butter cair dan tepung. Teknik ini menurut saya adalah "tumis"nya masakan barat yang creamy

DIY Chicken Mushroom Asparagus Cream Soup

Saya mengemukakan ide ini ke suami saya. Respon doi,

"Jadi kamu sudah selangkah lebih maju dalam masakan barat. Selangkah dan masih ada ribuan langkah lagi. Itu artinya kamu harus banyak belajar. Tanya dan belajar dari mami. Tanya mama juga kalo ada masakan lain kamu bingung. Mereka jago".

Senang sekali rasanya punya suami yang suportif serta menghargai ide dan kreasi.

Dahulu saya sering dikomentari oleh mama saya kalau membantu beliau memasak di dapur. Ternyata saya baru sadar, teknik mengolah makanan di dapur seperti memotong, merajang, mengupas, menggoreng itu adalah teknik yang bisa berkembang jika dilakukan secara terus menerus. Semakin sering melakukan, semakin tahu bagaimana cara yang benar dan efektif.

Memasak juga urusan perasaan. Menakar bumbu dan bahan dasar makanan hingga semakin hari, semakin pas rasanya.

"Masterchef aja bahkan untuk urusan menaruh garam, mereka menggunakan tangan karena percaya pada perasaan mereka".
"Masakan harus sering diulang-ulang untuk mendapatkan rasa terbaik dan tidak lupa".

Itulah beberapa yang mertua saya katakan.

Junior Masterchef

"Efektiflah dalam memasak. Kerjakan hal lain secara bersamaan sehingga waktu yang digunakan lebih cepat. Dapur jangan kotor, semuanya harus diperhitungkan sehingga kemungkinan luput dapat dihindarkan".

Itulah salah satu yang mama saya katakan.

Memasak juga sangat dibutuhkan kemampuan mengetahui kinerja peralatan dapur kita. Jika baru mencoba suatu resep, belum tentu waktu pengerjaan yang tercantum di resep cocok sesuai keadaan dapur kita. Belum tentu takaran bahan yang tercantum di resep sesuai dengan bahan makanan yang kita punya. Oleh karena itu suatu makanan harus diulang-ulang untuk mendapat takaran dan waktu terbaik sesuai dengan dapur kita. Improvisasi.

"Aya belum bisa masak roast beef nak. Aya belum dapat takaran kerja oven Aya untuk masakan ini agar mendapatkan hasil terbaik".

Itulah salah satu ujaran Om Harry, salah satu om suami saya yang berdasarkan testimoni keluarga bisa membuat steak lebih enak dari abuba steak! :9

Selain itu, frekuensi memasak kita juga penting. Tingkat pemahaman soal rasa masing-masing ingredient akan terbentuk seiring dengan frekuensi dan waktu. Jika ini sudah terbentuk, kemampuan kita berimajinasi dalam mengkombinasikan masing-masing ingredient akan semakin lihai sehingga bisa menciptakan rasa makanan khas kita. Kemudian lama kelamaan terciptalah "your signature dishes". Jujur saja, ini menjadi salah satu cita-cita kuliner saya. Sejauh ini saya baru menciptakan hanya 1 "my signature". Itupun minuman. Hershey's Black Choco Coffee with Lime. Racikannya bisa dilihat disini :)

Sampai detik ini, saya masih merasa seorang yang sangat payah untuk urusan perdapuran. Tapi saya masih semangat untuk belajar lagi dan lagi agar masakan yang saya buat semakin enak dan pas. Alhamdulilah, learning is one of my trait. #notboasting

Jadi, bagi seluruh perempuan yang sebentar lagi akan menikah dan tidak familiar dengan urusan dapur, jangan khawatir. Keadaan setelah menikahlah yang akan membentuk kita menjadi bisa memasak. Insting. Otomatis. Dan yang paling penting adalah juga harus memiliki keinginan untuk terus mau belajar lagi dan lagi.


Tidak ada komentar