Terhitung semenjak lahir, sudah banyak kota yang saya diami. Saya lahir di Medan, kemudian tumbuh dan berkembang di Lhokseumawe, Aceh sampai usia 8 tahun. Mampir sebentar selama 1,5 tahun di Medan, pindah ke Jakarta dari SD kelas 6 sampai tamat SMA, kuliah di Bandung selama 6 tahun hingga sampai sekarang, 2018 saya bekerja, menikah dan memiliki anak di Jakarta. Dari keempat kota tersebut, domisili tercepat saya adalah 1,5 tahun. Bersekolah dan menjalani hidup. Namun bagaimana dengan tinggal di sebuah kota hanya dalam tempo 1 bulan saja?
Saya menyebutnya Traveliving. Travelling + Living. Saya puas jalan-jalan santai mengeksplorasi kota selama sebulan, tetapi saya juga melakukan kegiatan hidup seperti belanja, bayar tempat tinggal bulanan, mencuci-menyetrika dan memasak. Minusnya hanya saya tidak berkegiatan seperti berkomunitas karena hanya menetap sebentar. Problematika terbesar melakukan traveliving adalah disaat kita sudah nyaman, kita terpaksa harus meninggalkan kota tersebut. Bagaikan sedang sayang-sayangnya eh diputusin. Maka terjadilah momen yang terkenal dengan sebutan "susah move on".
Tahun 2018 adalah tahun dimana suami saya ditempatkan dalam jangka waktu sebulan di berbagai Rumah Sakit di tiap kota diluar Jakarta sebagai bagian dari program pendidikan spesialis. Suami mengajak saya dan Hasan ikut serta di semua kota, kecuali Banyumas karena terkait lokasi dan tempo kerja. Dalam jangka 1 tahun, praktis kami sudah berpindah tempat dari Purwokerto, Jombang, Yogyakarta, dan Chiang Mai pada bulan Januari, Juni, Juli dan Oktober. Terakhir Desember ini saya dan Hasan hampir ikut ke Pemalang selama sebulan. Namun setelah mempertimbangkan banyak hal, mungkin kami akan menyusul di minggu terakhir di bulan Desember. Semua kota yang kami tempati memiliki plus minus, daya tarik dan cerita sendiri.
Purwokerto
Kami memulai awal tahun 2018 di kota ini. Karena mengetahuinya amat sangat mendadak, alhasil kami membeli tiket kereta dengan harga liburan akhir tahun. Mahal. Kami berangkat pada tanggal 30 Desember 2017 menggunakan kereta api dengan durasi 5 jam yang sekaligus merupakan perjalanan kereta api pertama Hasan. Melalui jalan darat, orang tua saya sudah terlebih dahulu sampai di Purwokerto sehingga esok paginya sementara suami bertugas di rumah sakit, kami mencari tempat kos-kosan untuk sebulan. Alhamdulillah ketemu yang bagus dengan harga yang cukup masuk akal.
Jombang
Jombang berlokasi di Jawa Timur, sekitar 80 km dari dari ibu kota provisi Jawa Timur. Kami melakukan perjalanan melalui Surabaya dahulu menggunakan pesawat terbang. Perjalanan kami bertepatan dengan tanggal orang-orang bersiap untuk mudik, jadi sekali lagi, kami membeli tiket yang agak lebih mahal dari harga biasa. Beruntung kami datang saat ruas tol Surabaya - Mojokerto (Sumo) sudah diresmikan. Perjalanan Surabaya-Jombang yang sebelumnya bisa memakan waktu hampir 3 jam kini bisa ditempuh melalui tol dengan hanya 1 jam lebih saja. Kami dijemput oleh supir untuk kemudian melakukan perjalanan darat dari Surabaya ke Jombang.
Jombang terkenal dengan kota santri. Sebuah kota kecil yang jauh dari hiruk pikuk apalagi kemacetan. Disana kami tinggal di rumah seorang dokter yang menjadi Supervisor suami saya selama disana. Alhamdulillah rejeki karena kami tidak membayar sepeser pun untuk tinggal dan makan disana. Berhubung kota kecil, tak banyak yang saya eksplor disana. Saya menemukan 2 buah taman yang indah, yakni Kebon Ratu yang letaknya agak diluar kota dan Kebon Rojo yang terletak di jantung kota Jombang. Alun-alun Kota Jombang tiap malamnya sangat ramai, apalagi saat akhir pekan. Hasan sangat bahagia dan menjadi pelanggan tetap alun-alun. Bayangkan, cuma bayar lima ribu untuk main sepuasnya di satu wahana! Ada Superindo yang merupakan tempat belanja rutin mingguan saya. Satu-satunya restoran cepat saji yang terkenal yang ada disana hanya ada KFC. Dibalik kesahajaannya, Jombang ternyata banyak memiliki kafe-kafe yang memiliki estetika modern layaknya di kota-kota besar. Bahkan, tak jarang mereka lebih serius dalam menyajikan bijih kopi-nya.
Setengah bulan kami berpuasa di Jombang dan pertama kalinya kami merayakan Ramadhan di luar Jakarta. Sungguh pengalaman yang menarik. Selain itu, setengah pertandingan Piala Dunia 2018 juga kami tonton disana 😄.
Yogyakarta
Kami meninggalkan Jombang menuju Yogjakarta pada tanggal 30 Juni menggunakan kereta api yang ditempuh dalam waktu 4 jam. Sebenarnya suami bertugas di RSUD Klaten, namun dengan alasan agar kami tidak kebosanan, kami memutuskan untuk tinggal di Yogyakarta. Saya mencari kos-kosan menggunakan aplikasi Mamikos sudah semenjak berada di Jombang. Berhubung Yogyakarta adalah kota pelajar, tentu tidak susah mencarinya. Yang susah adalah mencari mana yang pada akhirnya kami ambil. Kosan yang saya pilih dekat dengan bandara dan tidak jauh dari jalan raya utama menuju Klaten. Menurut saya itu adalah pilihan terbaik karena suasananya enak rumahan, secara berkala ada yang memberihkan, lengkap dapur dan mesin cuci serta ke RSUD Klaten hanya ditempuh kurang dari setengah jam. Selain itu, saya juga bisa berjalan kurang dari 1 km menuju halte Trans Jogja terdekat.
Yogyakarta adalah kota paling enak yang kami tinggali dibandingkan dengan Purwokerto dan Jombang. Kota besar yang tidak terlalu besar, sedikit sekali ruas macet, dan berlimpah kuliner dengan harga yang jauh lebih murah ketimbang di Jakarta. Selain itu yang membuat saya sangat puas sebagai maniak sejarah adalah Yogyakarta bertabur dengan museum-museum, sesuai dengan statusnya sebagai kota sejarah. Kayaknya saya hampir tiap hari keluar rumah supaya terkekejar mengunjungi semua museum yang menarik hati.
Biasanya mobil dibawa suami pulang pergi ke Klaten. 2 kali seminggu saya antar jemput suami karena ingin menggunakan mobil untuk mengeksplorasi Yogyakarta. Jika saya malas menggunakan mobil, saya juga kerap kali menggunakan opsi Trans Jogja.
Kami juga berkesempatan mengunjungi kota Solo pada akhir pekan ketiga di bulan Juli. Berhubung suami harus masuk dulu ke RSUD, saya dan Hasan pergi duluan ke Solo menggunakan Kereta Api (KRL) Prambanan Ekspres. Haa, akhirnya resolusi saya menggunakan Prameks tercapai. Menarik sih soalnya tiketnya hanya 8000 rupiah per orang. Seperti yang saya duga, karena Stasiun Maguwo adalah stasiun terakhir di Kota Yogyakarta, jadi saya tidak memiliki ekspektasi perjalanan selama sejam mendapatkan kursi. Benar saja, saat kami menginjakkan kaki di Prameks, manusia-manusia sudah berjejal. Kami berdiri sekitar 15 menit sampai saya menawarkan anak saya untuk duduk dengan posisi saya berjongkok. Seorang bapak di dekat saya tidak tega dan menawarkan kursinya kepada kami. Alhamdulillah, rejeki.
Selain itu kami juga berkesempatan mengunjungi wisata alam yang berada sedikit di luar kota seperti Punthuk Setumbu yang populer karena AADC dan area museum disekitar Merapi. Karena makanan yang variatif dan murahnya harga, kami jadi sering jajan disana. Gudeg saja saya sampai mencoba 5 jenis, dan itu pun merasa masih kurang 😁!
Chiang Mai
Terbaik! Satu-satunya kota yang berada di luar Indonesia. Awalnya suami mengajukan penempatan Chiang Mai untuk bulan Maret, meski tertunda alhamdulillah akhirnya suami dijadwalkan mendapat stase Chiang Mai untuk bulan Oktober. Saya diberi kabar ini oleh suami sekitar bulan Juli. Artinya 3 bulan sebelum keberangkatan.
Berawal dari
drama pencarian tiket, akhirnya kami berangkat juga pada tanggal 29 September. Disana kami tinggal di dorm yang sudah disediakan oleh pihak sana (tapi tetap bayar!) yang berlokasi di kompleks FK Chiang Mai University (CMU) dan RS Maharaj daerah Suandok. Memang rejeki kami, bulan Oktober ada 2 libur panjang di Thailand: tanggal merah kematian Raja Chulalongkorn (Rama V) di minggu kedua dan kematian cucunya, Raja Bhumibol Adulyadej (Rama IX) minggu depannya. Artinya kami terutama suami jadi memiliki waktu lebih banyak untuk mengeksplorasi Chiang Mai, bahkan ke tempat wisata yang ada di luar kota.
Chiang Mai sungguh menyenangkan. Bayangkan, tempo hidup masyarakatnya yang seperti Yogyakarta, hampir tidak ada kemacetan dan pelataran alam pegunungan seperti Bandung dan Malang. Ya, Chiang Mai merupakan kota terbesar ke-2 di Thailand yang berada tepat disamping gunung (doi) Suthep serta tidak jauh dari gunung tertinggi di Thailand, Doi Inthanon. Orangnya juga ramah-ramah. Minus disana cuma bukan negara non muslim yang membuat kita tidak bisa sembarang makan, transportasi publik yang jelek dan minimnya masyarakat lokal yang bisa berbahasa Inggris. Lainnya, sempurna!
Dengan segala kemampuan, akhirnya saya bisa menemukan celah
transportasi publik,
tempat makan halal, dan tempat-tempat belanja produk halal. Yang saya senangi disini adalah, karena transportasi publik minim dan mahal kemana-mana, saya jadi banyak jalan. Dari standar jalan biasa saya di terakhir di Yogyakarta untuk jarak dibawah 1 km, di Chiang Mai bertambah menjadi dibawah 2 km!
Oh ya, biaya hidup disini juga lebih murah dari Jakarta, senangnya! Harga belanjaan dan standar makan di resto juga jadi murah. Bahkan harga sebuah boneka bebek yang lucu! Cerita dramatisasinya bisa dibaca
disini. Hehe.
Sebagai penggemar sejarah, saya sangat puas dengan Chiang Mai. Kota bekas kerajaan dan museum-museum bagus nan terawat yang memberikan edukasi sejarah secara menakjubkan. Kalau dihitung kayaknya hampir tiap hari saya keluar rumah buat eksplorasi kota. Tetapi tetap saja, sebulan di Chiang Mai tidak cukup untuk menikmati semua wisata yang ditawarkan. Padahal kami tidak mengunjungi Wat (kuil) sama sekali. Wisata alam juga hanya Green Canyon dan Queen Sirikit Botani Garden. Padahal masih melimpah atraksi alam yang bagus-bagus disana. Bahkan kami belum sempat ke tempat wisata dalam kota, yakni Royal Park Rajapruek yang menawan dan Museum Nasional Chiang Mai.
Sepertinya Chiang Mai adalah kota yang paling memberikan kesan kepada kami. Benar-benar nyaman tetapi kemudian seperti langsung disuruh pulang buru-buru tanpa bisa mengucapkan selamat tinggal.