Cara agar Anak Tidak Defensif

12 komentar
Tidak semua anak punya "bakat" defensif, namun bagaimana cara agar anak tidak defensif apabila si kecil punya "bakat" itu?

Di kalangan orang-orang terdekat, terutama keluarga, saya dikenal sebagai sosok yang defensif. Ketimbang mendengarkan nasihat saat berbuat salah, saya cenderung “menutup” telinga dan berusaha kabur dari momen diceramahi. Pun, hanya perkara masalah waktu saya menumpuk semuanya sehingga saya menjadi pribadi yang tidak terbuka dengan keluarga inti.

Saya tumbuh di keluarga yang tentram dan cenderung tidak ada masalah. Namun perlu diakui bahwa saya kurang memiliki kedekatan secara emosional terhadap keduanya.

Yah, terkadang suka iri melihat teman-teman yang kok kayaknya bisa cerita banyak ke orangtua masing-masing, sementara saya rasanya berat untuk bercerita. Apa sih yang saya pikirkan sampai rasanya malas bercerita ke orangtua?

anak tidak defensif

Atensi terhadap cerita kurang dan cenderung memotong cerita dengan buru-buru memberikan “masukan”, hingga tidak merasa berada di level yang sama saat kami sedang mengobrol.

Itu dalam suasana ceria ya, alias saat sedang tidak ada masalah atau keonaran yang saya buat. Kebayang jika ada kesalahan yang saya buat seperti apa respon dan ceramah yang saya dapatkan?

Perasaan saya tidak divalidasi, cerita saya tidak didengarkan. Pun, saya langsung di-counter dengan ceramah panjang kali lebar. Apakah saya mendengar? Tentu tidak. Adanya saya merasa momen-momen dinasehati ini menjadi arena tidak menyenangkan dan kerap membuat saya ingin “kabur” secepatnya.

Dengan kata lain, saya jadi kurang betah di rumah. Sebisa mungkin di rumah hanya aktivitas rutin sehari-hari tanpa ada emosional yang terlibat.


Kami dua bersaudara. Meski yang kami hadapi sama, hanya saya yang defensif. Abang saya cenderung lebih terbuka dan lebih mau mendengarkan. Saya tidak tau sejauh apa terbuka dan mendengarkannya, apakah seperti yang saya bayangkan atau tidak. Yang jelas, abang saya lebih baik interaksinya ketimbang saya

20 tahun lebih hidup, saya clueless dengan apa yang terjadi. Sampai akhirnya saya membaca sebuah buku.

How to Talks so Kids Will Listen, sebuah buku dari Adele Faber

anak tidak defensif
Mungkin takdir membawa perhatian saya ke buku ini sehingga memasukkannya ke radar “Wants to Read” di Goodreads. I was an avid reader. Dari dulu sampai sekarang kalau ditanya hobinya apa, pasti saya jawab membaca. Namun karena mulai kemunculan media sosial di masa perkuliahan, lama-lama medsos menjadi distraksi  dalam membaca buku sehingga sebuah keberuntungan saya menamatkan 6 buku dalam setahun pada saat itu. Sungguh kemunduran literasi mengingat saya yang dengan gampangnya melahap buku semenjak kecil.

Di tahun 2018, tepatnya saat kami bertiga (saya, suami, dan seorang anak) melakukan traveliving 1.0. Karena bakal ada di kota kecil lain selama sebulan, saya kebayang jangan-jangan bosan akan menghantui saya disana. Kemudian saya mulai menyusun daftar buku yang akan menjadi bacaan selama disana. Eh keterusan, alhamdulillah hobi membaca buku saya berangsur kembali sehingga saya sekarang kembali bisa menamatkan hingga puluhan buku dalam setahun meski dalam kondisi mengurus tiga anak.

How to Talks so Kids Will Listen adalah buku yang menjadi incaran bacaan saya di tahun 2018 itu. Betapa tertohoknya saya karena akhirnya saya mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang menghantui saya selama ini.

Pertanyaan di dalam diri kenapa saya bisa menjadi se-defensif ini dan sulit menerima masukan dari orang lain.

Cara agar anak tidak defensif

anak tidak defensif

Saat si sulung memasuki usia prasekolah, saya baru sadar bahwa tampaknya ia memiliki “bakat” yang sama dengan saya. Saya tidak ingin berjarak jauh dengan si sulung. Saya juga tidak mau menganggap saya cuma Ibu dengan kedekatan emosional yang minim.

Saya mencoba mengaplikasikan tips agar anak tidak defensif ala Adele Faber melalui bukunya “How to Talk so Kids Will Listen”. Apa saja tips agar anak tidak defensif yang sampai sekarang masih saya usahakan agar selalu konsisten dilakukan?

1. Memvalidasi perasaan anak

Memvalidasi perasaan anak adalah tips agar anak tidak defensif pertama dan harus dilakukan pertama kali. Apalagi di usianya yang masih dibawah 10 tahun ini, terkadang anak masih sulit menafsirkan emosinya dari apa yang sedang ia hadapi.

"Ma, tadi tanganku luka karena pegang gunting."
"Pasti sakit ya?"

Dengan membantu anak menafsirkan emosi dari apa yang sedang dihadapi akan membuka kedekatan kepada anak (rapport) karena ia merasa didengarkan. Anak yang semakin terbuka akan membantu kita memahami permasalahan anak dari berbagai sudut pandang. Mereka yang sudah menganggap orangtua sebagai teman berceritanya juga akan lebih mudah menerima masukan dari orangtuanya.

2. Tidak memotong saat anak bercerita

anak tidak defensif

Jujur saja, sampai sekarang saya sering tergelitik untuk "memotong" saat anak bercerita. Saat ia bercerita atau mengungkapkan perasaannya, yang dipikiran saya malah ittenary agar dia melakukan hal-hal berikutnya yang harus dia kerjakan.

"Ma, liat ini Hasan baru bikin jembatan dari blok kayu yang baru dibeli...."

ketimbang merespon soal hasil karyanya, saya malah merespon,

"Oh ya, Hasan jangan lupa abis main langsung mandi terus makan malam ya!"

What a lousy parent am I.

Padahal ia menginginkan untuk didengar dan diapreasi, apalagi love language Hasan adalah sentuhan fisik dan afirmasi. Bisa defisit tanki cintanya apabila saya tidak rutin mengisi tanki cintanya terutama melalui dua bentuk bahasa cinta itu.

Setelah saya merenung cukup lama, ternyata dahulu saya sering direspon seperti itu. Respon yang dilakukan puluhan tahun di bawah alam sadar terserap oleh saya dan saya aplikasikan ke pada anak-anak.

3. Berlaku setara

anak tidak defensif

Cara agar anak tidak defensif berikutnya adalah berlaku setara. Pastikan saat berbicara dengan anak, kita memposisikan sebagai "teman" dan pendengar yang baik, bukan di posisi superior karena akan membuat anak mengeluarkan tamengnya dan enggan mengeluarkan isi hatinya. Lebih baik lagi kalau kita berbicara sejajar dengan mata anak.

Salah satu teknik membuat anak membuka diri adalah membentuk rapport atau kedekatan. Kita bisa bercerita hal serupa dengan yang anak alami sehingga anak merasa "senasib sepenanggungan". Teknik rapport ini pertama kali saya kenal saat membaca webtoon Dr. Frost. 

Hahaha,, what a fun way to know something,

4. Mengapresiasi anak

Mengakui sebuah kesalahan dibutuhkan keberanian yang besar. Dengan mengapresiasi anak karena ia telah mengaku akan membuat ia merasa dihargai. Ia kemungkinan besar tidak akan segan-segan untuk mengakui hal lainnya tanpa harus merasa terpuruk.

Ia tahu itu salah, karena itu ia bercerita karena siap menerima konsekuensinya.

"Terima kasih ya nak, udah bercerita."
Saya mengingat dahulu jika belum apa-apa sudah dicecar, yang ada saya malah ingin kabur. Ketimbang mengakui kesalahan, lebih baik saya alih-alihkan topik supaya itu tak terbahas. Tidak terbahas syukur, terbahas rasanya agak traumatik. Ini lah beberapa hal yang membuat saya defensif.

Bisa jadi kalian menganggap saya kerdil. Namun, bagi saya itu adalah ketakutan yang terus dipupuk. Saya tidak ingin anak-anak tertutup sama kami orangtuanya. Apapun yang terjadi, bagaimanapun kesalahannya, kami akan terima. Dengan merasa mendapat penerimaan, anak-anak akan lebih gampang dinasihati dan diajak bicara empat mata.

5. Mengajarkan soal konsekuensi

Every fault comes with consequence
Salah satu alasan yang membuat anak-anak tidak mengakui dan bercerita atas kesalahan yang dibuat adalah karena mereka takut akan konsekuensinya. Mereka takut dihukum. Oleh karena itu, orangtua wajib mengajarkan anak perihal konsekuensi.

Ketahuan melakukan kesalahan itu pengalaman tidak mengenakkan. Pengajaran soal konsekuensi kesalahan akan sulit sampai kepada anak apabila anak belum berada di tahap "menerima". Oleh karena itu, sebelum mengajarkan konsekuensi, pastikan anak sudah dalam fase "terbuka". Konsekuensi dan kesalahan adalah satu paket dan jangan sampai mereka abai terhadap itu.


Apakah saya berhasil menerapkan semuanya?

anak tidak defensif

Oh, tentu saja tidak.

Salah satu cara agar anak tidak defensif yang harus saya lakukan adalah mengenal diri sendiri. Mencoba berandai-andai, bagaimana rasanya jika saya mendapatkan perlakuan seperti itu. Perasaan divalidasi, didengarkan, dan diapresiasi sebelum ditunjukkan kesalahan dan diajarkan soal konsekuensi dan bagaimana berlaku lebih baik.

Tentu saja, saya sering merasa di tengah jalan tidak mematuhi poin-poin di atas. Terkadang alih-alih saya validasi perasaannya, saya sudah duluan menyalahkannya. Dia belum selesai cerita, sudah saya potong dengan alasan masih ada urutan kerjaannya yang belum dilaksanakan,

Tiap salah tahap, saya kerap menyesal. Namun yang saya tahu pasti, perlahan saya lebih mendengarkan anak ketimbang saat ia masih kecil. Semoga kami para orangtua dan anak-anak memiliki ikatan orangtua-anak yang bagus dan tidak label orangtua-anak tidak hanya status.

12 komentar

  1. ahaaa, ini tips relatable buat semua ortu dengan anak usia berapapun.
    apalagi anak remaja. duh, ortu kudu punya stratrgi jitu bgt

    BalasHapus
  2. Seperti orang dewasa, anak juga perlu dihargai. Terkadang kita orang dewasa sering terburu-buru seperti dikejar waktu, kemudian mengabaikan kebutuhan mereka untuk didengarkan. Akibatnya mereka merasa kurang mendapatkan perhatian.

    BalasHapus
  3. Cita-cita saya inginnya selalu bisa jadi sahabatnya anak-anak nih. Tp sayangnya saya juga termasuk yang masih kurang sabar dan sering memotong pembicaraan anak-anak huhuhu. Mudah-mudahan mereka tetap mau bercerita ya sampai besar nanti. Tulisan Mbak sungguh menyentil saya untuk segera berbenah diri nih hix.

    BalasHapus
  4. Bagus banget nih tips dan bukunya. Memang ya kalau soal anak, sebisa mungkin orangtua harus mau mendengarkan dan tidak hanya mau didengarkan. Kadang, kita perlu belajar banyak dengan parenting bule yang menganggap anak "setara" dengan mereka sehingga mereka mau mendengarkan, jadi pas saling ngobrol atau berpendapat orangtua nggak langsung baper dan memotong omongan anak.

    BalasHapus
  5. terima kasih tipsnya, justru kita banyak belajar dari anak-anak ya, sayapun mengalami hal yang sama, walaupun tidak mudah memaafkan kesalahan masa lalu tetap dilakukan agar tidak terulang pada anak
    sejatinya setiap orang termasuk anak-anak ingin didengarkan dengan begitu dia akan merasa nyaman

    BalasHapus
  6. Makasih mbak, saya jadi nambah referensi parenting untuk anak apalagi sekarang anak-anak mulai beranjak remaja. Setelah mulai remaja, saya mulai memposisikan diri sebagai sahabat alih-alih orangtua, dengan begitu saya bisa dekat secara emosional dengan anak-anak.

    BalasHapus
  7. Baca ini ternyata saya dulu juga termasuk defensif. Saya ngga tahu istilahnya, cuma baru ngeh setelah baca ini. Thank you banget mba aku jadi dapat insight menarik tentang defensif ini

    BalasHapus
  8. Penting ini
    Biar anak nggak tumbuh jadi pribadi yang defensif ya mbak
    Jangan lupa kasih anak apresiasi

    BalasHapus
  9. Ish nasihat banget buat saya yang super cuek dengan anak. Ya Allah ternyata bahaya juga ya kalau anak defensif

    BalasHapus
  10. Saya juga punya buku ini mbak tapi versi terjemahannya. Bukunya memang bagus banget dalam mengajarkan komunikasi dengan anak walau ya nggak semuanya berhasil saya lakukan sih. Hehe

    BalasHapus
  11. MashaAllah~
    Bermanfaat sekali rangkuman buku "How to Talks so Kids Will Listen, sebuah buku dari Adele Faber". Karena sejujurnya, aku pun tipikal yang tidak dihargai dan diapresiasi. Jadi karena deep thinking mengenai apa yang aku sukai semasa kecil, aku gak mau anak-anakku merasakan apa yang aku rasakan.

    Jadi kini, aku lebih open minded terhadap pendapat anak-anak. Apalagi anak zaman sekarang ini sangat kritis sekali. Dan aku selalu bilang bahwa gak ada yang salah dalam melihat masalah. Karena pasti kalian punya sudut pandang masing-masing. Tapi, penting untuk memerhatikan konsekuensi setiap jawaban atau perilaku akibat perbuatan yang kalian lakukan.

    BalasHapus
  12. Iya jg ya mba, aku mngkin belum punya anak, tapi ini kayak y jg berlaku buat hubungan aku sama dek akau atau pun keluarga yang emng udah kayak adek kecilku

    BalasHapus