Saat Anak Mulai Terlihat "Matre"

15 komentar

 "Ma, Hasan suka naik mobilnya A karena luas dan bagus. Hasan ga suka naik mobil lama", ujar Hasan tiba-tiba, sembari membuat jantung saya berdetak lebih cepat.

"Mobil lama maksudnya?" Tanya saya memastikan sambil berharap yang saya pikirkan salah.

"Hasan ga suka naik mobil Jazz sama Livina (yang merupakan mobil kami)."

Tahun 2022 ini Hasan genap 7 tahun dan pertama kalinya menjadi murid SD. Saat memilih SD, salah satu parameter adalah biayanya mulai dari uang pangkal hingga SPP bulanan. Salah satu alasannya selain agar ekonomi keluarga kami tetap stabil, kami ingin lingkungan pergaulan Hasan tidak beda dengan ekonomi kami.

Ternyata lingkungan pergaulan Hasan sesuai dugaan kami. Relatif setara meski tetap ada yang "di atas".

Kebetulan beberapa minggu terakhir ini diberlakukan kebijakan "shuttle" oleh sekolah. Jalanan di depan sekolah Hasan kecil sehingga saat jam antar dan jemput sekolah terjadi penumpukan kendaraan tidak tanggung-tanggung. Sudahlah numpuk, macet pula! Sebagai ilustrasi, jarak dari rumah ke sekolah Hasan hanya 2,5 km, tapi saat menjemput saya harus berangkat setengah jam sebelumnya! Kurang lebih sampai ke rumah kembali bisa makan total waktu 1 jam. Tentu saja, kendaraan antri menumpuk di sepanjang jalan depan sekolah Hasan kontan mendulang protes dari warga.

Akhirnya salah satu skenario untuk mengurai kemacetan adalah diberlakukannya "shuttle mandiri", alias tiap kelas mengorganisir sendiri jadwal shuttle dari kerelaan para orang tua yang menggunakan mobil kapasitas besar untuk menjemput anak dengan jumlah banyak sekaligus. Nantinya dengan kesepakatan internal, para orangtua menetapkan dimana titik penjemputan anak dari mobil shuttle.

Tentu saja anak-anak bahagia karena bisa ramai-ramai gaduh dalam satu mobil. Bahkan sebagian anak mengeluh kenapa trayeknya pendek sekali sehingga mereka hanya bisa bersama dalam jangka waktu pendek.

Namun, bagi sebagian anak menjadi ajang merasakan mobil temannya yang lain, termasuk bagi Hasan.

Sontak saja pernyataan Hasan di atas membuat saya sangat terkejut. Bagaimana mungkin, Hasan terbiasa "proletar" sejak kecil karena ekonomi keluarga kami masih belum stabil. Saya sering sekali mengajak Hasan naik angkutan umum kesana-kemari. Intinya, semua jenis moda angkutan umum sudah dirasakan Hasan. Hotel dari kelas rakyat sampai mewah juga sudah pernah ia rasakan. Selain itu Hasan juga bukan tipe anak yang merengek meminta sesuatu untuk dibelikan. Sampai belakangan ini sering terdengar,

"Ma, mau beli kartu pokemon di PIM kayak E"

Bahkan bisa berujung bad mood hingga setengah jam ke depan.

Bukan berarti ia matre

Jujur, memang awalnya saya terkaget-kaget dengan sikap Hasan belakangan ini. Namun saya berusaha berpikir jernih dan merasa mungkin Hasan sedang melewati fase "ledakan emosi". Apalagi ia punya kecenderungan FOMO (Fear of Missing Out), maka semakin terdoronglah alam bawa sadarnya menuntut agar ia bisa menyamai apa yang dilakukan dan dimiliki teman-temannya.

"Ajari dia kalau kita bukan ATM, ajari dia buat menabung!", respon suami setelah mendengar keluhan saya.

Memang betul, ini adalah momen yang tepat untuk mengajarkan anak mengendalikan diri dan mengajarkannya untuk menabung. Tidak semua yang diingini harus didapatkan. Tidak semua yang orang lain miliki harus kita miliki.

Hasan sejujurnya juga belum terlalu khatam perihal uang. Dia bisa menghitung uang cuma konsep konkretnya tetap belum 100% terbayang di otak dia. Buktinya, pernah beberapa kali dia menggunakan uang dan tidak minta kembalian dari sisa uang yang harus didapatkannya.

Akhirnya kami berencana untuk memberinya uang jajan secara harian dengan jumlah yang relatif kecil. Mungkin 2000 atau 5000 rupiah, menunggu didiskusikan dahulu bersama suami. Ia boleh membelanjakan uangnya setelah terkumpul, tapi harus memastikan bahwa tetap ada uang yang disisihkan untuk ditabung. Mungkin saya menuntut agar maksimal hanya boleh membelanjakan setengah dari uang yang didapatkannya.

Dari memberikan uang jajan, saya berusaha untuk mengajarkan bagaimana untuk selalu bersyukur, menahan diri dari nafsu membelanjakan, menabung, hingga berhitung.

15 komentar

  1. Yeppp mengajarkan ttg value uang dan hal2 sejenisnya ini berat bgt.

    Kadang aku jg ga pingin jadi Ortu yg medhit

    Tapi klo ngga disiplin ttg duit, kuatir anakku jg salah langkah.... Apalagi klo udah mulai "matre" rada rempong jugak ya

    BalasHapus
  2. Literasi finansial memang penting diajarkan sejak dini ya. Memang nggak bisa semua kemauan anak-anak dipenuhi juga, harus tau juga mana yang jadi kebutuhan dan mana keinginan. Harus bisa memetakan prioritas. Sebenernya jadi ortu kadang saya nggak tega juga, cuma malah takut kebablasan semua yang dipengenin anak pasti dikabulkan.

    BalasHapus
  3. Soal pengin beli ini itu, saya setuju jika ada uang jajan. Saya punya pengalaman serupa, akhirnya anak saya beri uang jajan meski tujuannya bukan buat jajan. Seperti anak bungsu yang kini SMP, dapat uang jajan bulanan 200 rb dengan catatan, tiap hari makan bekal dari rumah, kalau ekskul boleh jajan di kantin sama teman (karena pulang lebih sore). Dari situ juga kalau dia mau sesuatu bisa beli/nabung dari uang itu

    BalasHapus
  4. Anak-anak cenderung meniru temannya dan mudah terpengaruh lingkungan. Keponakan saya pun begitu, sering ikutan gaya teman hingga Mamanya marah-marah. Sebagai orang tua mungkin kita nggak boleh lepas kendali dan pengawasan ya, Mbak, serta bersabar menghadapi tingkahnya.

    BalasHapus
  5. Kayanya wajar gak sih.. kak, kalau anak sekarang lebih kritis dalam masalah apapun?
    Termasuk ketika ia mengutarakan lebih nyaman menggunakan mobil ini daripada itu.

    Aku termasuk yang amazing sih sama perkembangan berpendapat anak zaman sekarang, makanya pola parenting pun gak bisa kaya dulu yang otoriter. Kudu komunikasi 2 arah, discuss dan hal-hal semacam ini. Seperti memberi contoh mengenai penggunaan uang dengan contoh yang kongkrit, salah satunya.

    BalasHapus
  6. Mba, aku salfok banget sama antrean di sekolah, Luar biasa lhoh itu. Semoga mba zeneth selalu diberi kesehatan ya mba. Big hug.

    BalasHapus
  7. Bener-bener penting ya mengajar value tentang uang dan literasi finansial ke anak sejak usia dini. Untung mbak dan suami tegas dan tanggap.

    Saya ingat pernah berada di lingkungan sekolah yang anak-anaknya 'jor-joran'. Kok ya untungnya saya gak katut kebawa gaya mereka. Saya kelewat cuek da untungnya ya cuek. Malah dipertemukan teman-teman yang gayanya sederhana. Dan itu awet sampai sekarang pertemanannya.

    BalasHapus
  8. Wow antriannya sampai bisa menunggu 1 jam. Hebat. Saya jadi tergerak juga mau ajarin literasi keuangan kepada anak

    BalasHapus
  9. Anak-anak memang cenderung begitu. Malah bagus dia mau bicara mengutarakan perasaannya. Tinggal diarahkan saja. Jelaskan kalau mobil itu perlu banyak uang membelinya. Mobil kita yg sekarang sudah cukup. Bandingkan dengan yang tidak punya mobil. Gitu sih. Biar dia paham gak semudah itu dan harus bersyukur.

    BalasHapus
  10. Pengalaman yg mirip dengan kondisi saya. Anak saya pun setelah sekolah, bertemu teman, suka minta yang seperti dimiliki teman. Belinya dimana seperti apa .. padahal sebelumnya tidak.
    Tapi saya kasih pengertian saja. Semoga bisa dan anak mulai paham ya

    BalasHapus
  11. Menurutku juga bukan matre sih mba. Ikut-ikutan temannya aja dan belum tau prinsip uang. Tugas orang tua memberi pengertian seperti apa yang mba ajarkan ke anak

    BalasHapus
  12. Hasan suka naik mobil apa mbak? Emangnya pernah coba naik mobil merk lain?

    BalasHapus
  13. disini kita, para orangtua akan diuji, membedakan antara ketegasan dan kekejaman,hha, duh bahasanya kok kekejaman, kayak apa gitu.. setuju sekali dengan langkah yg diambil mba, selalu dikomunikasikan ke anak dan diajari menabung.
    saya juga masih ngalamin yang seperti itu, btw, padahal anak saya kelas 5 dan 9.. tantangannya luar biasa.. antara keinginan agar anak tidak minder dengan teman-temannya, disatu sisi juga agar anak bisa bijak secara finansial. cemangaat.. !

    BalasHapus
  14. Uang jajan anak tak sekadar uang jajan ya mbak
    Bisa jadi sarana belajar manejemen finansial bagi anak
    Mulai dari yang paling sederhana

    BalasHapus
  15. Jadi kepikiran. Mungkin anak rat2 akan melewati fase ini. Jadi sebagai orang tua tentu harus banyak belajar biar bisa handle masalah sepertu hasan atay bahkan masalah2 yang lain

    BalasHapus