Let's Read: Berpetualang Tanpa Harus Berpelesir ala Karl May

17 komentar

Saya pernah ke Amerika di era Wild West loh bertemu suku Indian Apache!

Begitu juga dengan Karl May, penulis berkebangsaan Jerman yang menulis serial buku Winnetou. Meski berlatar belakang Amerika jaman Wild West, Karl May tidak pernah menjejakkan kakinya sama sekali di Amerika saat proses pembuatan buku. 

Winnetou adalah seorang tokoh fiksi yang menjadi kepala suku Indian Mescalero Apache setelah ayahnya Intschu-tschuna dan adeknya Nscho-tschi dibunuh oleh bandit. Setelah kejadian yang cukup dramatis, Winnetou bersahabat dengan seorang insinyur kereta api "kulit-pucat" (Bangsa Eropa) berkebangsaan Jerman yang nantinya dikenal dengan nama Old Shatterhand.

lets read budaya membaca

Mengenal Karl May dan Budaya Membacanya

budaya membaca lets read

Karl May (1842-1912) adalah penulis berkebangsaan Jerman yang membesut tokoh terkenal Winnetou dan Old Shatterhand. Ia didaulat sebagai Penulis Jerman yang karyanya paling banyak dibaca. Menulis sekitar 70 buku yang telah terjual lebih dari 200 juta kopi di seluruh dunia dan telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa. Karakter-karakternya se-terkenal Harry Potter-nya JK Rowling atau Luke Skywalker-nya Star Wars. 

Kehidupan pribadi Karl May cukup misteri karena ia hidup lebih dari 180 tahun yang lalu dan kisah hidupnya tidak terekam dengan baik. Karl May muda sering keluar-masuk penjara untuk kejahatan-kejahatan kecil. Pada tahun 1870, ia menghabiskan 4 tahun di penjara, waktu terlamanya.

Berbeda dengan yang lain, Karl May malah memanfaatkan waktunya selama di penjara, waktu yang tidak pernah ia dapat saat ia berada di luar penjara. Ia menjadikan penjara sebagai perpustakaan, membaca sebanyak mungkin, riset mendetil terutama soal geografis yang mana menyiapkan dirinya untuk menulis buku petualangan dan mengantarkannya menuju kesuksesan.

Uniknya, semua novel fiksi fenomenalnya tercipta di penjara, bukan melalui perjalanan yang eksotik. Perjalanan mengelilingi dunia hanya terjadi di ruang imajinasinya. Ia mencurahkan waktunya melakukan riset yang teliti pada buku geografik, catatan perjalanan hingga novel-novel petualangan klasik. 

Tenggelam dalam Petualangan Old Shatterhand dan Winnetou

budaya membaca lets read

Usia yang labil dan sarat penjajakan diri.

Saya ingat sekali, pertama membaca karya-karyanya Karl May pada saat duduk di bangku SMA, mungkin usia 14 tahun. Bahkan saking sukanya saya dengan tokoh Old Shatterhand, saya sampai mencari nama beken di dunia maya semacam Old Shatterhand. Old, bukan menunjukkan bahwa si penyandang gelar tua, tapi menunjukkan kalau ia disegani dan ahli. Shatterhand, kaena karakter utamanya memiliki tangan yang handal. Akhirnya saya sampai kepada kesimpulan Young Shatterbrain. Memakai Young karena saya masih muda dan tidak populer penyandangan "old/tua" untuk orang yang ahli atau disegani. Shatterbrain, karena cuma otak saja yang (agak) bisa diandalkan, tangan saya cenderung biasa-biasa saja, tidak handal. Tapi pada akhirnya itu hanya berakhir hilang di otak saya saja karena Young Shatterbrain terdengar sangat aneh 😜.

Budaya membaca yang sudah ditanamkan kepada saya dan abang saya sejak kecil membuat Gramedia sebagai tempat rekreatif bagi kami. Saya ingat betul, kalau tidak salah kami ada jatah untuk membeli buku. Jika buku itu mahal dan membeli buku dalam jarak dekat, saya sampai bela-bela menabung.

Saya dan Buku Winnetou seperti layaknya orang yang baru bertemu dan seketika itu memiliki "chemistry". Terpampang jelas di sudut rak Gramedia, sebuah buku berwarna merah marun dengan gambar patung kepala suku Indian. Penasaran gerangan buku apakah itu, saya pun mengambilnya dan melihat sampul belakang berharap mendapatkan jawaban tentang apa buku tersebut. Alih-alih berisi resensi buku, Winnetou I hanya berisi cuplikan tulisan di buku dan komentar para tokoh literasi Indonesia. Menurut saya sampulnya tidak menarik. Pun, tidak ada petunjuk seperti apa keseruan buku ini bagi saya. Saya juga bukan pecandu kisah-kisah tentang Indian. Tapi entah kenapa hati saya tergerak untuk menaruh buku ini di keranjang belanjaan.

budaya membaca lets read

Merah, biru, hijau. Buku ini adalah trilogi. Winnetou IV dicetak sedikit belakangan, menceritakan kisah paska wafatnya Winnetou. Ternyata, Winnetou pernah dicetak sebelumnya oleh Penerbit Pradnya Paramitha pada tahun 80-an. Namun, yang dicetak adalah edisi resensi, makanya bukunya pun tipis-tipis. Berbeda dengan Winnetou baru terbitan Pustaka Primatama yang 1 buku bisa sekitar 400-500 halaman. Ternyata, penggagas sekaligus pemilik penerbit tersebut itu adalah ayahnya (rahimahullah) seorang teman dimana baru berkenalan baik ayahnya ataupun anaknya di beberapa komunitas saat saya kuliah.

Serial Harry Potter mulai booming saat itu. Namun, ternyata saya lebih menikmati keseruan membaca Winnetou. Jika suatu buku tidak begitu menarik, saya kerap sekali menghitung berapa lembar lagi tersisa sampai bab berakhir. Anehnya, ini tidak berlaku pada buku serial Winnetou. Padahal untuk buku setebal ini hanya terdiri dari tiga bab saja! Pun, di dalamnya terdiri dari sub-bab yang tiap sub-bab terdiri dari puluhan lembar. Harusnya saya bosan kan membaca buku semacam ini? Namun tidak sekalipun saya menghitung berapa lembar yang tersisa. Saya hanyut di dalam jalinan ceritanya. Di dalam kisah heroik dan penuh tragedi Old Shatterhand dan Winnetou.

Betapa nyatanya gambaran geografis yang "dilukiskan" oleh Karl May. Tentang perjalanan mereka, sifat dan ciri khas tiap suku kulit merah (Indian) dan kulit pucat (Bangsa Eropa penjajah). Tentang situasi mencekam penyerangan dan perang suku. Suku Indian sebagai suku asli juga memiliki teknik-teknik "GPS" untuk bertahan di alam bebas. Semisal dengan merunduk, "mencium" jejak, dan "membaca" bentang alam. Semuanya terasa nyata. Siapa yang menyangka, ini semua ditulis oleh orang yang belum pernah menjejakkan kaki di Wild West Amerika, tapi di penjara suatu benua nun jauh disana.

Saking "jatuh cintanya" saya pada buku ini, sampai-sampai saya mencari serial yang lain. Pustaka Primatama juga menerbitkan buku Karl May lainnya, seperti serial Kara Ben Nemsi yang dikenal sebagai Winnetou di jazirah Arab. Begitu juga cerita-cerita pendek lainnya yang di kurasi pada buku berjudul "Kumpulan Cerita Gurun & Prairie". Tidak sampai disitu, saya juga sampai memburu buku-buku karangan Karl May yang diterbitkan oleh penerbit terdahulu, Pradnya Paramitha. Buku-buku dengan ilustrasi jadul tapi tetap menarik di mata saya. Jangan ditanya bagaimana saya mendapatkan buku tersebut, saya juga lupa 😏.

lets read budaya membaca

Namun, sekarang saya sudah tidak tahu dimana rimba koleksi buku Karl May saya akibat terlalu sering berpindah-pindah. Saya harus pindah karena kuliah di kota yang berbeda. Sejak itu saya tidak pernah menyentuh buku-buku saya yang tersimpan di rumah.

Budaya membaca untuk melatih imajinasi dan kreativitas anak

lets read budaya membaca

Rasanya sulit membayangkan saya dan banyak penggemar Karl May di seluruh dunia bisa hanyut di dunia petualangan yang dikarang oleh seseorang dalam penjara tanpa pernah mengunjungi tempat-tempat tersebut. Sebegitunya efek membaca dalam menumbuhkan imajinasi dan kreativitas.

Begitu juga untuk anak.

Sangat penting melatih imajinasi anak sejak usia dini karena dapat menumbuhkan kreativitas dan kemampuan anak untuk menganalisis hingga memecahkan masalah. Mengasah imajinasi anak melalui buku cerita adalah salah satu cara yang jitu. Melalui bacaan, anak tak hanya fokus dalam alur cerita, tapi juga berimajinasi seolah terlibat di dalamnya. Menurut Eugene Schwartz, orang tua juga memegang andil penting dalam menumbuhkan imainasi anak saat mebacakan buku. Misalnya membaca degan intonasi yang menarik dan menghubungkan bacaan kepada kejadian-kejadian di sekitar.

Saat membaca novel, proses yang terjadi di otak berbeda dengan saat membaca buku pelajaran dan koran. Ketika membaca novel dan buku cerita, kita sedang melatih otak kanan karena berperan dalam kemampuan kreatifitas, imajinasi, dan fantasi. Selain berimajinasi, kita juga melibatkan otak kiri untuk menganalisis dan melogikakan jalan cerita. 

Para dokter di Klink Cleveland merekomendasikan para orang tua untuk membacakan anak-anak buku sejak dari bayi hingga usia sekolah dasar. Membaca buku bersama anak membuat anak memandang buku sebagai sumber atmosfer hangat dan menyenangkan. Ini dapat meningkatkan kesukaan anak-anak untuk membaca buku di kemudian hari. Selain itu, ternyata kesenangan membaca di rumah dapat meningkatkan performa di sekolah loh. Dapat menambah kosa kata, meningkatkan tingkat kepercayaan diri, memperbaiki kemampuan berkomunikasi, dan memperkuat fungsi otak.

Manfaat membacakan buku untuk anak

lets read budaya membaca

1. Melatih imajinasi anak

Proses pembentukan kreativitas tidak hanya melalui deretan kalimat pada novel. Untuk anak berusia dini bisa menggunakan komik atau buku bergambar. Buku bergambar ini juga turut membantu anak untuk bisa membaca sendiri karena anak terlatih mengaitkan gambar dan tulisan. Imajinasi anak akan terus terangsang saat menyimak tokoh-tokoh dan cerita yang menarik.

2. Meningkatkan pemahanan dan daya ingat

Saat membaca, anak juga berlatih untuk memahami bacaan dan meningkatkan daya ingatnya. Sebagai contoh, anak bisa menceritakan kembali cerita yang pernah ia baca atau diceritakan oleh orang tuanya. Oleh karena itu, sebagai orang tua kita juga bisa melatih pemahaman dan daya ingat anak dengan cara menanyakan kembali cerita yang sudah dibacakan hingga meminta anak untuk menceritakan kembali.

3. Memperluas kosa kata

Kosa kata yang digunakan saat percakapan jauh lebih sedikit dan simpel ketimbang kosa kata yang ada di dalam buku. Dengan membaca, kita memperluas kosa kata kita dengan kosa kata yang lebih kompleks dan memiliki kedalaman yang berbeda. Ini akan meningkatkan kemampuan berbicara dan literatur anak.

Mari Membangun Budaya Membaca

Dengan semakinnya berkembangnya zaman, semakin bertambah pula kemudahan untuk membaca buku. Sebagai contoh sekarang sudah hadir aplikasi  Let's Read yang bisa diunduh melalui gawai pula. Namun sayang, aplikasi ini baru tersedia di Play Store. Karena saya pengguna iOS, maka saya biasa membacakan anak melalui versi daring.
lets read budaya membaca

Aplikasi Let's Read ini sangat menarik karena bisa mengelompokkan buku digital sesuai kelompok umur atau kemampuan membaca anak. Selain itu, koleksinya banyak sekali yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk Indonesia. Let's Read juga memiliki tim relawan sendiri yang bertugas menerjemahka dan menyunting buku digital. Jika kamu bersemangat membangun budaya membaca anak-anak Indonesia, kamu bisa daftar menjadi tim relawan loh!

Jika anak sangat tertarik untuk membaca, kita tidak perlu pusing lagi untuk membawa buku fisik terutama saat berpelesir. Kita bisa mengakses Let's Read melalui gawai atau untuk lebih gampangnya kita bisa mengunduh dahulu sehingga buku digital tetap bisa dibaca meski ketiadaan koneksi internet, sebagai contoh di atas pesawat.

Anak masih setia dengan buku fisik? Jangan khawatir, jika tetap ingin membaca koleksi buku digital dari Let's Read, kita bisa juga mencetaknya di kertas untuk kemudian di bundel rapi.

Nah, apa lagi alasan kita sebagai orang tua? Mari kita bangun bersama budaya membaca di Indonesia! Perkenalkan buku, budayakan membaca, mari berpetualang!

Saya telah berbicara, howgh! - Winnetou

17 komentar

  1. Bener banget ketika dibacakan cerita, memang imajinasi jadi luas banget.
    Masih ingat sampai sekarang waktu dibacakan cerita Winnetou dan Robinson crusoe sama almh. nyokap sahabat. Kita dibacakan karena bukunya sendiri berbahasa Inggris, jadi langsung diterjemahkan sama almh.

    Anehnya kenangan itu yang paling berkesan, ketimbang kaset cerita yang biasa dipasang sama nyokap menemani saya sebelum bobo. Mungkin berkesan, karena ada interaksi dengan yang baca, dan saya kadang diskusi sambil baringan di atas karpet, bersama sahabat dan adik perempuannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berarti real bgt ya dibacain itu “bonding”. Padahal istilahnya yg bacain orang lain bukan orth

      Hapus
  2. Saya juga penggemar cerita petualangan macam Winnetou ini. Rasanya jadi petualang di belantara wild west. Jenius bener ini Karl May, menulis petualangan ke tempat yang belum dia kunjungi tapi bisa kita rasakan se real itu.
    Kalau untuk wilayah Inggris, saya dan anak anak suka petualangannya lima sekawan itu. Dick, Anne, Julian, George dan anjingnya yang seru:Timmy!
    Jadi pengen mengeksplore aplikasi Let's Read itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaaa lima sekawan, sesuka itu dulu sampai semua seri tamat. Jadi pengen nanti anakku pas SD baca lima sekawan juga

      Hapus
  3. Aku dalam proses juga menumbuhkan budaya membaca. Sekarang masih sebatas pinjam buku gratis di perpustakaan. Belum kuat ngajak anak ke gramed 😅 satu lagi, baca let's read pastinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gapapaa,, soalnya ngajak anak minjem buku itu juga budaya langka loh haha

      Hapus
  4. Semakin banyak membaca buku bisa membuka imajinasi semakin luas ya ternyata, jadi lebih semangat lagi membacakan buku ke anak-anak supaya kelak mereka tumbuh berwawasan luas dan berimajinasi positif .

    BalasHapus
  5. Menginspirasi banget ya Karl May, bikin kita semangat baca buku. Jujur aku lebih suka baca buku fisik daripada digital, tapi lets read bisa jadi solusi nih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama sih, katanya klo baca fisik lebih cepat dan lebih ngikat. Tapi baca buku digital enak kalau lagi gamau rempong

      Hapus
  6. Mba kamu bahas winnetou ini mengingatkan kubjamna pacaran dulu, mantanku hobby banget baca ini, sampe aku pun jadi sukak haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maafkan aku bukan maksudku membuka luka lama haha

      Hapus
  7. Memang ya budaya membaca memang hrs ditanamkan mulai dr kecil. Harus semangat untuk menanamkan kebiasaan membaca ke anakku

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbaaa, makin aku gali ternyata menumbuhkan minat baca ga bisa instan

      Hapus
  8. Benar banget, Karl May jenius yaa..aku punya buku-bukunya, jadi koleksi berharga..Seru buku-buku Lets Read mengajak anak bertualang..

    BalasHapus
  9. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus