Dramatisasi Kisah Boneka Bebek

2 komentar
Sejak kecil, menjadi materialistis dan perhitungan tidak pernah menggelayuti diri saya. Kecuali (mungkin) perhitungan bakhil ke diri sendiri.


Terlalu rumit dan drama kisah dibalik hanya sebuah boneka bebek. Berawal saat kami jalan-jalan di Kad Suan Kaew yang merupakan mal pertama yang berdiri di jantung kota Chiang Mai. Bangunan besar yang tersusun dari batu bata yang tampak kokoh, namun sekarang keriaannya sudah meredup karena sudah banyak tergantikan oleh mal-mal yang lebih modern seperti Maya Mall yang hanya berjarak 1 kilometer, Central Plaza dan Central Festival. Banyak pengunjung hanya menjadikan Tops Supermarket sebagai tujuan utama. Posisinya yang sangat dekat dengan Nimmanheimin (Kemang-nya Chiang Mai) yang merupakan lokasi tinggal favorit turis mancanegara juga turut ambil andil dalam menyumbang senyawa kehidupan bagi Kad Suan Kaew.

Kad Suan Kaew dan segala sisa kemegahannya

Kami mengeksplorasi dulu Kad Suan Kaew sebelum belanja di Tops Supermarket yang berlokasi di lantai LG. Selain foodcourt  di lantai LG yang katanya variatif dan murah, sisa isi lainnya mirip mal-mal tua di pinggiran Kota Jakarta seperti Cinere Mall dan Depok Mall. Oh, ditambah ada 4 bank yang juga berfungsi sebagai Money Changer. SCB (Siam Comercial Bank), Bangkok Bank, Krungthai dan Kasinokorn. Meski begitu, disini juga ada bioskop loh!

Di lantai 3 yang mayoritas merupakan pertokoan HP, kami iseng memasuki toko boneka karena banyak boneka bebek beraneka ragam ukuran terpampang nyata dari balik kaca toko yang bening. Hasan pun setengah merengek ingin boneka bebek. Kami lihat koleksi bebek-bebek lucu tersebut, mata kami jatuh pada sebuah boneka bebek berukuran sebesar bola sepak dengan hanya seharga 180 baht (85 ribu rupiah)! Bulunya halus, jahitannya rapit, penampkannya juga super lucu. Mau apa dikata, saya dan suami sedang miskin berjamaah karena kami belum menukar uang. Kami pun lupa membawa dollar padahal money changer dimana-mana di Kad Suan Kaew ini. Terpaksa Hasan keluar toko dengan menenggak kekecewaan. Suaranya yang meminta bebek dengan sedikit mengiba membuat kami benar-benar trenyuh. Akhirnya kami janjikan bahwa kami akan membelikan bebek itu di lain hari.

Kami baru ke Kad Suan Kaew lagi H-2 kepulangan ke Jakarta dengan tujuan membeli ransum makanan keluaran Thailand untuk dibawa pulang. Kami langsung menuju toko boneka di lantai 3 agar tidak repot sambil membawa belanjaan dan sekaligus menghibur Hasan sebelum dibawa keliling supermarket. Lampu gelap. Toko tutup. Tidak dipungkiri, kami bertiga diliputi kekecewaan yang amat sangat, tak terkecuali Hasan. Lusa kami sudah kembali ke Jakarta loh, ini terakhir kalinya kami ke Kad Suan Kaew. Hasan yang menginginkan bebek dengan suara yang kecewa berat sontak membuat saya sedih. Saya jelaskan, tidak rezeki soalnya tokonya tutup. Saya janjikan ya sudah, nanti dibelikan boneka bebek di Jakarta saja. Kami pun menuruni eskalator dengan langkah gontai.

H-1, malam terakhir kami tidur di Suandok, entah bagaimana secara tiba-tiba Hasan bilang mau bobo sama bebek. Kami jadi teringat kembali akan boneka bebek yang bahkan sudah kedatangan kedua namun tetap belum menjadi rezeki Hasan. Saya janjikan sekaligus menghibur dirinya (dan diri saya sendiri!) bahwa boneka bebek bisa dicari di Jakarta. Semalaman saya hampir tidak bisa tidur memikirkan skema bagaimana bisa mendapatkan boneka bebek untuk Hasan. Anaknya tidak begitu kecewa tapi emaknya kecewa berat! Sebenarnya, mudah saja bagi kami untuk kembali lagi ke Kad Suan Kaew di sehari sebelum kepulangan. Toh, jaraknya dari dorm kurang dari 2 km. Tapi bukan itu alasan utamanya.

Permasalahan utamanya adalah UANG.

Kami sama sekali tidak menarik debit dan menukar uang rupiah selama sebulan di Chiang Mai. Penukaran dari rupiah ke baht hanya sebelum berangkat, dengan jumlah pas-pas-an saja untuk bekal perjalanan dan beberapa hari penyesuaian diri disana. Selama disana, kami mendapatkan baht dengan cara menukarkan uang dollar yang kami simpan dan ditukar secara perlahan. Masalahnya, saya buka jastip kecil-kecilan saat itu. Sebenarnya terhitung jastip tidak niat karena cuma menawarkan melalui facebook group ITBMH (ITB Motherhood) dan postingan di story IG saya secara sekilas. Barang yang ditawarkan juga cuma Chatramue Thai tea, Chupa Chups, bumbu dan makanan kecil lainnya. Tapi ternyata jastip tidak niat itu juga memakan modal yang besar. Kami memilih tidak menghabiskan semua dollar yang kami bawa, hitung-hitung buat tabungan jika kami pergi ke luar negeri lagi di lain kesempatan. Jadi, saat saya menukar dollar untuk terakhir kalinya, saya berjanji kepada suami bahwa itu adalah uang tambahan untuk modal jastip serta uang jajan saat transit di Kuala Lumpur. Ternyata perkiraan saya salah besar. Dollar terakhir yang saya tukarkan habis untuk modal dan hal lain yang menunjang kehidupan kami disana. Jadi kesimpulannya di H-1 itu keadaan dompet saya hanya 20 baht dan suami 100 baht. 😹

Setelah semalaman jiwa saya terusik, esok paginya saya komunikasikan kegelisahan saya kepada suami dan mendiskusikan dua alternatif pembiayaan bebek Hasan. Opsi pertama, saya tarik debit sekalian banyak di Chiang mai dan sisa uang bebek saya tukarkan ke ringgit di bandara KLIA2 untuk jajan disana. Opsi kedua, pinjam 100 baht sama tetangga dorm sebelah (orang Indonesia juga yang memiliki alasan yang sama kenapa ada di Chiang Mai sama seperti suami saya) dan kemudian saya langsung transfer melalui m-banking sebesar 50 ribu rupiah. Akhirnya opsi pertama lah yang kami ambil. Di dalam hati saya berusaha ikhlas kalaupun nanti setelah usaha yang ketiga kali tokonya tetap tutup, artinya yang memang bukan rezeki Hasan.

Pagi setelah saya beres memberi makan Hasan, ia saya tinggal bersama suami supaya saya bisa jalan cepat dan membereskan segala urusan di Kad Suan Kaew. Hari sungguh panas dengan matahari yang terik menyengat. Setelah saya hitung-hitung, kami butuh uang 1500 baht. Segera saya cari ATM berlogo VISA di Kad Suan Kaew. ATM bank pertama, pilihannya kelipatan 1000. Gagal, saya cari ATM lainnya. ATM bank kedua, kelipatan 500, alhamdulillah. Tapi begitu uang akan keluar, ada notifikasi potongan sebesar 220 baht. Langsung hati saya tidak karuan. Potongannya besar sekali! Saya batalkan transaksi dan cari ATM lainnya. Siapa tau potongannya lebih murah. Ternyata ATM terdekat ya ATM bank pertama yang kelipatan seribu. Ya sudah, saya masukkan kartu ATM saya hanya karena penasaran berapa biaya potongannya. Saya pilih menu penarikan jumlah lain dan iseng mengetik 1500 baht padahal saya tahu itu ATM potongan seribu. Eh, bisa! Ternyata ATM di Thailand bisa mengeluarkan pecahan yang berbeda. Sebelum uang keluar, muncul kembali notifikasi bahwa ada potongan sebesar 220 baht. Ternyata di ATM mana-pun memang sebesar itu potongannya. Teriris hati saya.

Setelah uang di tangan, saya langsung menuju toko boneka, alhamdulillah, tokonya buka! Tanpa berlama-lama saya segera menyelesaikan transaksi. Boneka bebek pun ada di tangan setelah perjuangan datang sampai tiga kali 😥. Dengan hati lega, saya segera menuju salah satu bank untuk menukarkan baht ke ringgit. Bank terdekat adalah Krungthai Bank. Antrian lumayan panjang. Saat tiba giliran saya, saya tanyakan apakah mereka punya persediaan ringgit, ternyata mereka tidak punya. Mereka menyarankan saya ke SCB (di Kad Suan Kaew juga) yang tampaknya punya persediaan ringgit. Saya segera menuju SCB yang alhamdulillah selantai dengan Krungthai. Penukarannya kasir, jadi tidak mengantri seperti di Krungthai. Antrian saya hanya seorang pasangan saja. Saat tiba giliran, saya menanyakan apakah bisa menukarn baht ke ringgit. Ternyata mereka tidak punya. Pada saat itu saya baru tersadar bahwa keempat money changer di Kad Suan Kaew ini tujuannya adalah para turis yang ingin menukarkan uang asal mereka ke baht. Dengan langkah gontai dan hati yang hancur saya pulang ke dorm.

Sesampai di dorm saya semacam menangis. Ditambah hormon hamil hanya bikin semuanya terasa runyam. Ya kesal, kenapa tidak pinjam uang saja sih, kan lebih ringkas dan tidak repot. Kesal karena potongan ATM besar sekali sampai 100 ribu-an rupiah. Kesal karena saya buang-buang waktu banget mengantri money changer, hilir mudik cari money changer lain ujungnya-ujungnya tidak mendapatkan hasil apa-apa. Kesal karena itu artinya saya harus menukar semua uang baht di airport KLIA2 yang pastinya ratenya anjlok serta itu bukan USD, EUR ataupun SGD setidaknya. Kemudian suami menasihati tidak usah dipikirkan, tidak ada gunanya memikirkan materil dunia dengan demikian signifikannya karena hanya bikin perasaan tidak tenang. Ikhlaskan saja. Setelah berusaha menata hati sejenak sekaligus berfikir lebih logis akhirnya perasaan saya lebih lega.

Boneka bebek saya berikan kepada Hasan. Sungguh kepalang senangnya bukan main. Boneka bebeknya di peluk-peluk dan ditaruh diatas kasur. Memang kami berandai-andai si boneka bebek akan menuh-menuhi kasur di Suandok saat tidur malam. Ternyata itu tidak kejadian. Tetap menuh-menuhi sih, tapi itu di kasur kami di Jakarta meski anaknya tidur di kamar sendiri 😜. Karena bentuk bonekanya yang relatif besar, si bebek tidak saya masukkan ke koper, tapi saya suruh Hasan pegang sendiri dan bertanggung jawab sampai Jakarta. Sembari saya mengingatkan diri dan suami untuk terus mengingat bahwa ada boneka bebek karena Hasan pelupa dan rentan meninggalkan barang yang ada di tangannya untuk kemudian lupa dimana dia meninggalkannya, hehe. Hasan dan sang bebek pun sukses naik pesawat bareng dan sampai di Jakarta dengan selamat.


2 komentar

  1. Teh Zeneth, saya baca ceritanya langsung kebayang gimana gemesnya..

    eh teh, ternyata anggota ITBMh juga, salam kenal ya teh, saya Amalina KI'07. Salam juga buat Hasan dan boneka bebeknya ya teh ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya hihihi,, salam kenal juga,, ternyata seangkatan ya. TL'07 :D

      Hapus