Drama keberangkatan ke Chiang Mai

2 komentar
Setelah hampir 2 bulan, akhirnya saya memberanikan untuk menulis ini karena menurut saya pengalaman ini sangat memalukan sekaligus agak menyesakkan. Let's call it rejeki hanya sampai disitu saja dan rejeki pengalaman berharga.

Suami mendapatkan kabar pada bulan Juli kemarin bahwa akan dikirimkan ke Chiang Mai di bulan Oktober selama sebulan. Sontak saya gembira karena akhirnya akan kejadian juga tinggal di negara asing meski hanya sebulan. Sebenarnya suami mendaftar untuk pengiriman bulan Maret, setelah mengira tidak dapat jatah praktis kabar bulan Oktober ini sedikit mengejutkan. Mulailah pada saat itu saya malam-malam suka iseng membukan online travel apps semacam Traveloka, Tiket.com, dan pegi-pegi. Karena kami masih di Jogjakarta pada saat itu, kami memutuskan mulai agak serius memesan tiket nanti saja setelah kepulangan ke Jakarta pada bulan Agustus. Selain itu, kalau mencari tiket pada waktu itu saya juga tidak konsen karena otak saya masih terjejali rencana-rencana kunjungan museum dan tempat wisata di Jogjakarta, hehe.


Sepulangnya kami ke Jakarta, saya mulai lebih serius mencari harga tiket sekaligus menyiapkan mental bahwa saya harus memecah tabungan untuk mendanai tiket pesawat pulang pergi saya dan Hasan. Sebelum suami saya mengatakan bahwa saya harus siap mengeluarkan dana, saya sudah kebayang karena di Chiang Mai pun kami harus membayar dorm sendiri dengan jumlah yang cukup lumayan (meski kenyamanan yang didapat juga lebih). Berdasarkan pengalaman teman-temannya yang sudah berangkat terlebih dahulu, kira-kira harus menyiapkan dana tiket pesawat 4 juta pp untuk 1 orang. Saya buru-buru memecah pernyataan itu karena berdasarkan riset tiket pesawat, kami bisa saja beli tiket pp per-orang seharga 3 juta (atau malah kurang) dengan catatan menggunakan budget airline, Thai Lion. Saya menanyakan mungkin teman-temannya naik Thai airways dan pesannya juga rada mepet makanya dapat harga 4 juta pp.

Suami juga sempat ragu kalau saya dan Hasan ikut, menimbang negara yang kami datangi adalah Thailand. Bahasa asing yang tidak kami pahami dan suasana asing. Suami ragu bagaimana kalau saya dan Hasan ditinggal berdua saja. Saya menanggapi respon tersebut malah makin semangat buat riset mencari info. Saya tanya salah satu rekan ITBMh (ITB Motherhood), teh Risna yang sudah belasan tahun tinggal di Chiang mai. Saya tanya bagaimana belanja, tanpa menguasai bahasa Thailand bisa bertahan hidup atau tidak. Saya juga giat mencari info-info via internet mengenai transportasi publik (ini penting sekali). Kemudian saya sampaikan ke suami kalau Chiang Mai itu sudah menjadi kawasan turis, malah banyak dari mereka yang belajar bahasa Cina karena banyaknya turis Cina. Kebanyakan orang Indonesia yang tinggal di Chiang Mai juga tidak bisa bahasa Thailand, bisanya paling kata dan angka dasar saja. Di pasar pun penjual akan menuliskan harga belanjaan menggunakan kalkulator sebagai sarana berkomunikasi dengan pembeli turis asing. Saya sampaikan juga kalau transportasi publik disini sulit, tuk tuk mahal karena harus pandai menawar, songthaew supirnya tidak bisa bahasa Inggris dan tidak ada jalur resminya, bus pun ada tapi sedikit. Tapi saya memberikan solusi saya sudah mendapatkan info bagaimana naik transportasi publik dengan tantangan diatas beserta tarifnya. Suami pun merasa lebih aman, izin saya dan Hasan ikut ke Chiang Mai pun segera terbit.

Drama 1: Tiket Pesawat

Tiket Berangkat

Perintah segera membeli tiket datang dari Suami pada bulan Juli. Saya segera mencari tahu dan mencatat berbagai alternatif jadwal pulang beserta harga-harga masing-masing dari pelbagai online travel apps. Semuanya saya tulis rapi untuk kemudian saya laporkan ke suami. Akhirnya diputuskan untuk membeli penerbangan Lion Air dengan jadwal 13.30-20.00. Itu adalah penerbangan dengan waktu transit tercepat. Sebenarnya saya agak kecewa karena tidak dapat jadwal jam 6.00 karena kami kan ingin sesampai disana bisa melihat kota dan jalan-jalan dahulu, tetapi apa daya, tiket harga murah untuk keberangkatan jam segitu sudah keburu habis. Di hati kecil kami juga sebenarnya agak kecewa karena hanya berangkat menggunakan Lion Air yang jatah bagasinya 20kg per orang dan transit di Don Mueang, bukan di premium airlines semacam Thai Airways yang pasti lebih nyaman dan jatah bagasi 30kg/orang, mendarat di Suvarnabhumi pula. Tetapi lagi-lagi kami harus bersyukur dan mencukupkan diri karena pada detik itu rejeki kami baru bisa naik budget airlines. Next time maybe? 😊

Kami membeli baru tiket perginya saja karena dana pada waktu bulan itu ya hanya cukup membeli buat pesawat pergi. Reservasi tiket saya pisah, menjadi 2 kode booking untuk mendapatkan potongan harga yang maksimal. Kami membeli melalui tiket.com menggunakan potongan 125.000  rupiah per-kode booking. Saat saya mengecek harga di hari sebelumnya, ternyata harga di Traveloka relatif lebih mahal, jadi saat hari pemesanan saya tidak urung memeriksa harga Traveloka lagi. Karena nominal yang dikeluarkan cukup besar, sebelum bayar saya screenshot data penumpang (nama, nomor paspor, dll) ke suami karena begitu was-was-nya saya. Suami pun menyetujui bahwa data sudah benar. Voila, akhirnya tiket keberangkatan sudah diamankan. Saya cek data tiket berkali-kali, tidak ada yang salah. Cek lagi, tidak ada yang aneh tuh. Toh, saya juga sudah berkali-kali booking pesawat via online travel apps.

15 menit kemudian cek lagi.

......

......

......

Disitu tertulis nama tiket saya: Zeneth Thobarony. TANPA nama tengah Ayesha. Sontak bawaannya langsung panik dan mau mewek. Saya kabari suami kalau saya salah mengisi data pesawat. Felt hopeless, karena ini artinya tiket saya akan hangus. Saya mencoba menelpon Lion Air dengan secercah harapan jawaban positif, setidaknya nambah bayar buat pergantian nama juga tidak masalah. Sambil menunggu respon petugas call center, saya harap-harap cemas. Kemudian petugas kembali menjawab, berdasarkan konfirmasi dari Thai Lion, pergantian nama hanya bisa minimal 3 huruf saja, lebih dari itu, tiket hangus. Tidak bisa diuangkan kembali, hanya mendapatkan pergantian pajak saja yang hanya sejumlah seratus ribuan. Langsung saya terdiam berkaca-kaca. Benar-benar tidak punya jawaban apa-apa lagi. Dalam hati saya, kok gini banget, ini jumlah uang besar loh bagi saya, berkali-kali saya memesan tidak masalah, giliran pakai uang banyak malah harus hangus begitu saja. Rasanya dunia tidak adil.

Permasalahan lain, kode booking saya termasuk tiket anak saya, kalau saya batalkan, tiket anak saya ikutan hangus donk. Ternyata kata petugas tidak, nanti dipisah kode booking sama mereka sehingga yang batal hanya tiket saya saja. Kesimpulan terakhir, akhirnya saya batalkan tiket saya.

Terus bagaimana saya beli tiket berangkat lagi? Alokasi dana untuk bulan itu ya sudah habis di tiket yang hangus itu. Setelah memutar otak akhirnya saya dapatkan lah sisa dana untuk membeli tiket berangkat. Saya kembali cek Traveloka, ternyata saat hari itu promonya minimal pembelian 1 juta mendapat potongan 150 ribu, pembelian 3.5 juta mendapat potongan 400 ribu. Sejenak hati saya mencelos, kenapa saat membeli tiket tadi saya sama sekali tidak mengecek ulang Traveloka. Beneran baru kali ini loh saya beli tiket tidak cek ulang sana sini. Kalau saya beli di Traveloka, sudahlah dapat potongan besar, kesalahan data tampaknya tidak terjadi.

Kenapa,, kenapa,, dan kenapa.

Masih setengah ikhlas, akhirnya saya relakan dengan menyelesaikan transaksi hari itu. Tiket keberangkatan saya sudah di tangan. Tentu dengan harga lebih murah dari tiket keberangkatan suami karena ternyata harga Traveloka lebih murah dengan potongan lebih besar. Yah, walaupun sekecil apapun rejeki juga harus disyukuri kan, Alhamdulillah.

Karena semua tiket keberangkatan sudah ada ditangan, saya tidak mengecek lagi segala online travel apps. Sampai setelah seminggu setelah saya memesan tiket mendapat notifikasi Tiket.com di hp saya:

Ulang tahun Tiket.com, dapatkan potongan tiket pesawat sampai 1.000.000 rupiah.

Yes, you've read right. POTONGAN 1 JUTA RUPIAH. Sekali lagi hati saya menangis. Jadi potongan 1 juta rupiah jika memakai kartu kredit dengan minimal pembelian 4 juta (kalau tidak pakai kartu kredit potongan hanya 700 ribu). Karena masih terbawa adrenalin kepo, saya kembali mengecek harga tiket untuk tanggal keberangkatan kami. Ternyata yang mendapat potongan hanya non-budget airline. Daaan, harga tiket Thai Airways untuk pulang pergi dipatok harga sama. Artinya jika harga berangkat 2.2 juta rupiah, maka harga pulangnya juga minimal 2.2 juta rupiah. Saya cek harga Thai Airways untuk pulang saja, ternyata harganya 4.5 jutaan!

Sungguh fakta yang menyakitkan. Bayangkan, di timing yang tepat (saat promo ultah Tiket.com), dengan menggunakan Thai Airways, hanya menambahkan uang sedikit lebih banyak bisa mendapatkan kenyamanan dan bagasi 3x30 kg. Saya coba simulasi harga saya berdua sama Hasan.

(2.2 juta x 2) + 0.75 x (2.2 juta x 2) = 7 jutaan.
Dikurangi promo menjadi hanya 6 jutaan.
Itu artinya tiket per-orang hanya 3 jutaan alias CUMA NAMBAH DIKIT dari pakai budget airline.

Sedih.

Apakah rejeki kami hanya sampai disini saja? :(

Tiket Pulang

Kami membeli tiket pulang sebulan setelahnya, yaitu Bulan September. Pada saat itu nilai rupiah melemah sejadi-jadinya. Saat kami memesan tiket berangkat nilainya 1 Baht = Rp 430. Saat mau memesan tiket berangkat, nilainya sudah anjlok menjadi 1 Baht = Rp 462. Artinya?

Harga tiket pun otomatis melonjak naik. Saya sih sebenarnya tidak begitu menyesali seharusnya pesannya bulan kemarin, wong dananya baru ada bulan September. Tidak apa-apa. Mulailah saya kembali bergerilya mencari tiket. Naas, harga tiket Thai Lion yang harga murah sudah terlanjur habis terjual. Adanya yang harga 2.8 juta *nangis berjamaah. Akhirnya pilihan hanya tinggal menggunakan Air Asia. Yang artinya, kami harus membeli bagasi 😑. Cek harga bagasi, ternyata bagasi 30kg harganya sekitar 450 ribu. Karena kami harus membeli minimal 60kg bagasi, artinya kami harus merogoh kocek tambahan hampir sejuta. Sedih juga sih kalau diingat, but we haven't any choice, ain't we?

Perseteruan berikutnya ada jadwal tiket. Opsi pertama, harga Air Asia termurah sekaligus waktu tempuh+transit tercepat adalah penerbangan sore, tapi sampai jam 1 dini hari keesokan harinya. Suami saya agak tidak sreg karena sampai jam segitu, sampai apartemen mau jam berapa. Jam 3? Pasti bakalan capek banget. Suami menyarankan untuk memilih penerbangan pagi jam 8.30 dan sampai jam 14.00. Tapi saya agak menolak karena beda harga tiket 400 ribu sendiri. Kalau kita bertiga kan sama aja lebih bayar 1.2 juta. Kemudian saya menawarkan untuk penerbangan overnight yang tiketnya sedikit lebih murah dari opsi pertama. Saya tawarkan juga untuk menginap transit. Harga penginapan 750 ribu, kalau dihitung opsi ketiga ini lebih nyaman dan lebih murah dari opsi kedua. Plus, opsi ketiga ini kita transit di KLIA2, lumayan kan beda negara lagi buat Hasan, syukur-syukur kalau sempat dan niat kita bisa keluar imigrasi dan nambahin stempel di paspor Hasan. Hehe. Akhirnya opsi ketigalah yang diambil.

Tiket berhasil dibeli, alhamdulillah kali ini tidak ada kendala lagi seperti pembelian tiket berangkat. Saya membeli menghasilkan 2 kode booking. Kode booking pertama tiket saya dan Hasan dengan bagasi 30kg atas nama saya, kode booking kedua tiket suami dengan bagasi 30kg. Saya beli di tiket.com karena ada potongan 400 ribu rupiah. Harga total tiket kepulangan saya dan Hasan sekitar 4 juta rupiah. Artinya jika ditambahkan dengan total harga tiket berangkat 2.5 juta rupiah, harga total tiket saya dan Hasan 6.5 jutaan.

Coba liat di bagian drama tiket keberangkatan diatas. Sama aja dengan harga Thai Airways kan (atau malah mahal sedikit)? 😥. Sediih, tapi tak usahlah dibahas dan dikaji. Mengkajinya juga tidak akan memutar kenyataan kan. Cukuplah bersyukur saja, menganggap kali ini rezeki kami baru sampai disini, moga-moga berikutnya dilimpahkan rezeki yang lebih baik. 😉

Saat memesan harga penginapan transit, ternyata ada potongan 10% di Traveloka, alhamdulilah kami bisa membayar penginapan 75 ribu rupiah lebih murah. Memang rezeki yang sedikit, tapi patut disyukuri kan?

Drama 2: Bagasi Berangkat

Kami berangkat siang hari, jadinya bisa relatif bersantai di pagi hari. Mertua menawarkan mengantar kami karena kebetulan pas akhir pekan. Kami sampai di bandara sekitar pukul 11 siang. Suami, saya dan Hasan masuk kedalam untuk check in terlebih dahulu. Karena salah satu koper kami baru terlihat bagian resletingnya ada jahitan yang tercerabut, makan kami disarankan melakukan plastic wrap koper. Setelah selesai, kami berjalan mencari counter check in yang ternyata masih relatif jauh. Ternyata antrian sudah lumayan panjang, ada kali kami mengantri hampir setengah jam. Saat tiba giliran kami, muncul masalah baru.

Total bawaan kami ada 1 hard case 28", 1 hard case resleting 24", 1 koper kain 20", 1 stroller dan 2 bagpack yang kami pakai masing-masing. Setelah ditimbang ternyata berat koper kami untuk yang 28", 24", dan 20" adalah 29 kg, 26 kg, dan 10 kg. Oh aman, saya pikir. Karena kan jatah bagasi kami 60 kg, sementara koper yang 20" akan handcarry. Ternyata, karena kami ada 3 kode booking, praktis tidak ada bagasi gabungan. Kecuali kalau kami 1 kode booking. Jadi 1 kode booking hanya boleh 20 kg saja, 23 kg lah maksimal sebagai toleransi. Masih berharap, saya berusaha nego dengan petugas. Permintaan saya ditolak, karena aturannya 1 kode booking ya maksimal 23kg. Petugas menyarankan supaya bongkar koper dan mengatur agar maksimal 23kg. Akhirnya kami pun mundur dan mencari pojokan yang sepi untuk membongkar ketiga koper.

Saat kami bongkar, Hasan mulai tampak resah, saya pun terganggu untuk konsentrasi. Untung mertua masih menunggu kami diluar, jadi Hasan diungsikan dulu ke andung dan engkong-nya. Kami pun akhirnya bisa bekerja dengan tenang. Saya mulai dari koper yang paling besar yang isinya hanya baju kami bertiga selama sebulan. Pelan-pelan saya pindahkan ke koper 20" dengan menggulungnya agar yang masuk bisa banyak. 2 laptop yang awalnya ada di koper 20" diungsikan masuk ke tas suami. Kasihan, Berapa kilo tuh di tasnya 😔. Setelah mengira-ngira cukup, saya minta suami untuk coba timbang di konter check in  kosong. Alhamdulillah tercapai juga 23 kg. Kemudian giliran koper kedua. Saya merasa ini pekerjaan mudah. Tinggal saya pindahkan kompor listrik yang beratnya hampir 3 kilo beserta beberapa printilan barang. Suami saya menimbang kembali dan benar, berat koper 24" sudah mencukupi 23 kg. Alhamdulillah. Suami segera melakukan wrapping plastic ulang pada koper 24", kemudian kami masukkan ketiga koper ke konter. Alhamdulillah saya membawa tas lipat parasut yang biasa kami gunakan kalau menginap 1-2 hari. Sangat lumayan karena barang-barang yang tidak bisa masuk ke koper bisa kami alihkan ke tas koper parasut itu untuk kemudian menjadi handcarry

Alhamdulillah, drama bagasi ini sudah berakhir 😌

Rest of Journey

Setelah urusan beres, kami menjemput Hasan dan pamit ke mertua. Kami beli KFC dahulu untuk bekal makan di pesawat. Karena sudah banyak waktu habis untuk drama bagasi, tidak lama kami duduk diruang tunggu, langsung terdengar panggilan penumpang. Saat itu suami masih pergi shalat dan saya belum selesai memberi makan Hasan. Saya tunggu suami sembari saya simpan kembali KFC yang belum beres itu. Kami pun boarding.

Saat pesawat lepas landas, Hasan mulai tampak terkantuk-kantuk. Tapi karena dia baru makan sedikit, saya suruh agar jangan tidur dahulu. Saat pesawat sudah mulai stabil diatas, baru secara sembunyi-sembunyi saya kasih makan dia sampai beres. Thai Lion punya regulasi dilarang membawa makanan, jadi suami dan saya pun makan sembunyi-sembunyi.

Akibat tidak membiarkan Hasan tidur saat lepas landas? Ia tidak tidur-tidur selama 3 jam 45 menit mengudara 😆. Alhamdulillah, Hasan sama sekali tidak rusuh, dia hanya diam mendengarkan rekaman murrotal, atau hanya gerak sana sini antara saya dan suami. Suami yang kebetulan sedang tidak fit bisa tidur untungnya. Saya juga sempat tidur bahkan progress baca kindle cukup banyak hehe. Alhamdulillah sekali Hasan anak yang tidak menyusahkan dibawa perjalanan.

Kami mendarat di Don Mueang Bangkok. Perjalanan turun dari pesawat, dari ujung terminal ke terminal keberangkatan domestik, serta proses imigrasi memakan waktu cukup banyak. Alhasil setelah kami buang air kecil dahulu dan beli Garrett, cuma duduk sekitar 15 menit langsung ada panggilan penumpang. Kami menunggu sampai antrian menipis. Tidak lama mengantri kami pun boarding ke pesawat menuju Chiang Mai. Karena lelah, saat lepas landas Hasan pun langsung tertidur. Suami juga kembali istirahat. Saya tetap terjaga sambil membaca kindle karena perjalanan hanya sejam lebih sedikit.

Kami pun mendarat di Airport Chiang Mai. Sesampai di gedung terminal, ada tulisan nama kami. Kami pun sejenak menghampiri orang yang memegang tulisan itu. Setelah menunggu sejenak, ia menyarankan kami untuk mengambil bagasi di terminal kedatangan internasional karena kami asalnya dari penerbangan luar Thailand. Ternyata koridor yang kami lalui sangat panjang dan lumayan melelahkan setelah perjalanan panjang. Akhirnya sampailah kami di bagasi kedatangan internasional. Kami baca papan bagasi untuk mencari Thai Lion, ternyata tidak ada. Hanya tulisan Xiamen airilines dan Air Asia. Mau bertanya juga sedang tidak ada siapa-siapa kecuali petugas scanning. Kami-pun menunggu sejenak sampai belt bagasi Xiamen bergerak. Tidak ada tanda-tanda koper kami. Saya pun mulai skeptis. 15 menit kemudian belt bagasi Air Asia mulai bergerak, dalam hati kecil, saya merasa koper kami ada di belt itu. Ternyata benar saja, ketiga koper kami pun segera keluar. Kami segera mengambil ketiganya dan keluar. Sesampai diluar kami beli kartu telepon turis. Suami saya menggunakan provider AIS, cukup mahal karena sebulan 800 baht. Saya memilih menggunakan Truemove yang hanya 600 baht sebulan.

Setelah mengganti kartu, suami menelepon residen yang akan menjemput kami. Ternyata mereka datang menggunakan sedan dan datang berdua. Agak skeptis semua barang kami bisa masuk. Alhamdulillah ketiga koper, tas punggung suami dan tas parasut dapat masuk. Stroller kami masukkan di jok belakang meski duduk jadi agak tidak nyaman. Ternyata dorm kami sangat dekat dengan airport, hanya memakan waktu 10 menit. Setelah suami sebelumnya melakukan registrasi dorm ke pengurus, akhirnya kami diantarkan sampai di depan dorm.

Masalah belum beres, kamar kami di lantai 3 dan lift mati! Hahaha. Saya prihatin sama suami, sedang tidak fit tapi harus mengangkut 3 koper menggunakan tangga. Saya tidak diperbolehkan membantu karena kasihan saya lagi hamil membawa berat-berat.

Semua barang pun akhirnya sampai di atas. Kamar yang luas mendadak menjadi sangat nyaman setelah perjalanan panjang.

Welcome to Chiang Mai!

2 komentar

  1. Selamaaat neth anak kedua yaaa.. hahaha drama beli tiket emg selalu bikin dilematis, makanya setiap abis beli tiket promo gue usahain ga ngintip2 promo yg lain dgn destinasi yg sama, takutnya bikin nyesek wkwkwk have a great journey zen & fams!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih nikeeen!

      haha ternyata lo yang veteran juga tetep merasakannya ya

      Hapus