Mommies War Series: Working Mom vs Stay at Home Mom

3 komentar
Working mom atau stay at home mom.

Ibu bekerja atau ibu dirumah.

Kayaknya dari semua topik mommies war yang say buat, judul kali ini yang merupakan paling panas. Perseteruan antara ibu bekerja dan ibu dirumah tidak akan ada habisnya. Eternity. Infinity. Dan kembali, perkara mommies war pasti ga jauh-jauh dengan namanya sikap judgemental.




Tentang Diri


Saya sendiri sejauh ini masih menjadi stay-at-home mom semenjak Hasan lahir. Berniat menjadi working mom? Bisa ya, bisa tidak. Semenjak setelah lulus hingga 7 bulan yang lalu, saya adalah seorang asisten riset di suatu universitas negeri di bilangan Kabupaten Bogor. Menjadi seorang akademisi bahasa kerennya. Bulan Mei 2015 kontrak saya habis dan saya tidak berniat untuk memperpanjangnya karena pada Bulan Agustusnya saya akan kedatangan anggota keluarga baru, Insya Allah. Lahirlah Hasan Khalid Reksoprodjo pada tanggal 19 Agustus 2015. Eh, ternyata saya menjadi teramat bersyukur sedang dalam keadaan tidak menjadi pegawai manapun.

Berubah mejadi working mom?

Menjadi akademisi adalah passion saya. Mengajar. Meneliti. Becoming a thinker is one of my trait. Semenjak sebelum lulus saya juga sudah tidak ada niatan menjadi pegawai perusahan. Sebagai lulusan Teknik Lingkungan, prospek kami dalam perusahaan adalah mengurusi AMDAL, EHS (Environmental, Health, Safety) dan sebagainya. Boring. Tidak menarik. I'm sorry for becoming subjective, but this is how I feel. Karena itu, menjadi akademisi adalah satu-satunya pilihan saya.

Ternyata menjadi akademisi ada keuntungan lainnya. Yang lebih mudah didapatkan dibanding jadi pekerja kantoran.

Jam kerja yang lebih fleksibel.

Saya mengecam dunia perkuliahan selama 6 tahun di salah satu universitas negeri di bilangan Kota Bandung. Disana pula saya mengenal ada dosen lelaki yang hampir rutin antar jemput anaknya sekolah. Ada dosen yang saat anaknya sakit masuk lebih siang dan membawa anaknya ikut serta saat anaknya sakit, ada juga dosen yang pas tau di kampus sepi, terus malas masuk, memilih mengerjakan kerjaan dirumah *eh*. Semenjak saat itulah saya bercita-cita menjadi akademisi dengan jam tidak terikat sepenuhnya. Not becoming 7 to 5 worker. Kesannya saya mau kerja tapi ga niat. Tapi itulah visi misi saya. Sampai detik inipun jikalau saya menjadi working mom, motivasinya bertambah. Ga mau terikat waktu. Mau banyak ngurusi anak. Titik. Ga pake koma. Ga pake spasi. Ga pake sambal.

Ada beberapa universitas yang "mengejar" saya, saya tolak. Terkesan sombong dan jual mahal ya? biarin. It's the matter of principle. Ga sesuai visi misi saya? bye. Itulah yang menyebabkan saya tidak ngotot dalam mencari pekerjaan. Ada satu universitas yang follow up nya belum jelas. Tapi kayaknya saya yang ga keterima tahap selanjutnya. Gapapa. Ga masalah. Santai. Kayaknya gara-gara di awal wawancara saya menegaskan pake garis bawah kalo saya tidak mau terikat waktu sepenuhnya terutama 6 bulan awal umur Hasan. Sayapun sebenarnya mengincar CPNS. Tapi CPNS juga belum jelas buka dosen atau ga untuk tahun ini. Belum jelas juga untuk jurusan saya buka formasi ga. Ga peduli juga. Hehe. Hidup ini indah ya kalo pasrah. Mungkin karena ga prioritas juga.

Perkara Gontok-gontokan

Once again, it's the matter of principle. Tergantung bagaimana visi misi, toleransi, kondisi ideal tiap orang. Pandangan pribadi saya, ini lebih beralasan ketimbang masalah rezeki. Toh rezeki kan yang mengatur Allah.

"Imam kalau pas ulang tahunnya nangis-nangis. Ga mau sama papa mamanya. Bahkan pas foto keluarga juga ga mau. Mau motong  kue sama mamanya juga nangis. Akhirnya potong kue sama saya.", ujar seorang ART

Disini saya mendengarnya miris. Pahit. Bagaimana bisa seorang anak merasa asing dengan orangnya. Kalau saya jadi ibunya sih, mungkin saya sudah resign. Mungkin pelajaran untuk para working mom, termasuk kepada bapak-bapaknya juga, kalau dirumah tolonglah habiskan dan curahkan waktu untuk anak. Apalagi anak yang masih kecil, dimana orang asing atau tidak tergantung interaksi.

Mengetahui hal ini, saya merasa bersyukur. Sangat bersyukur dengan keadaan yang saya miliki. Ketimbang saya judgemental sana sini terhadap yang "tidak sesuai" menurut nilai saya, saya lebih suka mengambil sikap bersyukur. Bersyukur bisa memiliki keadaan lebih baik. Bersyukur sang bayi dekat dengan saya. Dan Insya Allah untuk masa nanti. Selamanya.

Para ibu-ibu, daripada menyalahkan dan merasa paling benar ketika melihat pilihan ibu lain yang "salah" menurut kita, jauh lebih baik untuk bersyukur. Bersyukur didalam hati diberikan keadaan yang ideal oleh Allah. Bersyukur, karena terkadang kita tidak bisa mengkritisi ketidaktahuan dibalik pilihan yang "Salah" itu.

3 komentar

  1. Setuju
    Hidup ini indah klo pasrah...

    Kadang prediksi prediksi masa depan itu bikin usaha ga maksimal... Tenang banget kalau sampai bisa benar benar menghargai proses, dan hasilnya gimana Allah nantinya. Kalaupun buruk insya allah ada hikmah yang berharga untuk kehidupan selanjutnya...

    BalasHapus
  2. Setuju
    Hidup ini indah klo pasrah...

    Kadang prediksi prediksi masa depan itu bikin usaha ga maksimal... Tenang banget kalau sampai bisa benar benar menghargai proses, dan hasilnya gimana Allah nantinya. Kalaupun buruk insya allah ada hikmah yang berharga untuk kehidupan selanjutnya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yoi kak dini. Aku beberapa kali ga dapet2 yang aku mau. Ga enak bgt hidup. Pas makin jago pasrah enak bgt hidup xD

      Hapus