4 komentar
Siapa sih jaman sekarang yang tidak mengenal Marie Kondo dengan teknik Konmari-nya?

Marie Kondo terkenal dengan bukunya yang berjudul "The Life Changing Magic of Tidying up". Harga tanah dan properti yang sangat mahal di Jepang, membuat standar luas apartemen dan rumah orang Jepang tidak besar. Keterbatasan ruang ini menyebabkan mereka benar-benar memperhitungkan barang-barang yang ada di rumah mereka. Marie Kondo dikenal sebagai ahli berbenah yang menciptakan metode Konmari, yang mana nama Konmari ini berasal dari namanya, KONdo MArie. Ia mengklaim dengan memiliki jumlah barang yang terbatas dan hanya yang membuat kita senang, artinya kita sudah memutuskan untuk hidup di lingkungan positif. Banyak yang mengklaim kehidupannya mendadak lebih bahagia pasca berbenah. Untuk selanjutnya Marie Kondo dan Konmari dikenal dengan frase:
Does it spark joy?
travelling konmari

Netflix yang jitu pun mengambil peluang dengan cara mengajak Marie Kondo pada sebuah acara televisi bergenre realita yang terdiri dari 8 episode pada season 1. 

Travelling Konmari: Berkemas untuk Kehidupan Sebulan

travelling konmari

Acara realita yang berjudul Tidying Up with Marie Kondo baru dirilis untuk semua episode pada tanggal 1 Januari 2019. Hadirnya acara ini menjadi bahan pembicaraan di pelbagai sosial media, tidak terkecuali di grup-grup WA saya. Pembicaraan-pembicaraan tersebut membuat saya merenung akan perjalanan kami pada sepanjang 2018 yang membuat saya berkemas untuk kehidupan selama sebulan dengan frekuensi 4 kali untuk sekeluarga  dan 3 kali untuk suami saya sendiri.


Pada tahun 2018 kami banyak melakukan perjalanan selama sebulan. Bulan Januari ke Purwokerto, Juni-Juli ke Jombang dan Yogyakarta, Oktober ke Chiang Mai dan Desember ke Pemalang. Semua perjalanan dinas sebulan suami ke luar kota saya dan Hasan ikut, kecuali Banyumas pada bulan Februari, Mei dan November. Saya memutuskan untuk membawa stok baju untuk 7 hari. Lebih jelasnya, mungkin uraiannya seperti ini

Baju Suami

  • 6 Setel baju kerja (kemeja, celana panjang, kaos dalam, kaos kaki)
  • 3 buah sarung
  • 8 kaos
  • 1 pasang setelan renang (kaos dry-fit dan celana pendek)
  • 1 celana kargo kasual
  • Setelan jalan-jalan 2 pasang (jeans dan polo)
  • 9 Celana dalam
  • 2 buah handuk
Perlu diperhatikan, penyusunan baju ini tidak bersifat pakem, artinya semuanya tergantung kepada kebiasaan berpakaian yang bersangkutan, cuaca serta kemungkinan aktifitas apa saja yang dilakukan. Di daerah, suami saya masuk ke Rumah Sakit dari Senin sampai Sabtu. Di beberapa kota malah hari Minggu juga operasi atau sekadar mengunjungi pasien. Uraian di atas adalah contoh kemasan baju saat tugas di Purwokerto. Hitungan setelan baju kerja sehari sekali. Sarung dipakai hanya di rumah (kosan), jadi pemakaiannya dua hari sekali. Kaos rumah juga merangkap kaos keluar rumah  dengan pemakaian sehari sekali dengan 1 kaos sebagai cadangan. Setelan jalan-jalan untuk Sabtu dan Minggu, juga dipakai saat kunjungan ke Rumah Sakit pada hari Minggu. Celana dalam sehari sekali dengan asumsi 2 buah untuk cadangan, misalnya jika basah karena renang. Handuk 2 buah disiapkan apabila satu handuk sedang dicuci. Karena saya kurang begitu suka berkemas heboh, saya memilih 2 handuk yang cenderung tipis akan tidak makan tempat.

Baju Pribadi

  • 7 buah gamis
  • 7 buah jilbab panjang pasangannya
  • 2 buah jilbab pendek
  • 7 buah daster/baju rumah
  • 1 setel pakaian renang
  • 9 buah pakaian dalam atas-bawah
  • 2 buah handuk
Keempat kota yang saya datangi merupakan kota dengan suasana panas dan cuacanya tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Saya menyiapkan semua gamis saya dengan bahan yang enak dipakai dan tidak berat. Sebelum kami berangkat, saya selalu memplot kalau di kota tujuan kami akan kemana-mana menggunakan transportasi umum. Jelas kan kenapa baju yang nyaman dan ringan dibutuhkan. Meski pada kenyataanya saat di Purwokerto 3 minggu terakhir kami mendapat pinjaman mobil untuk mobilisasi, di Jombang sesekali bisa menggunakan mobil penghuni rumah, di Yogyakarta 2 hari di hari kerja mobil bisa saya bawa berkelana karena saya memilih  mengantar suami ke Klaten, dan 6 hari di Pemalang saya memiliki akses penuh membawa mobil.

Saya membawa gamis 7 buah dengan asumsi saya tiap hari keluar rumah. Saya dan Hasan keluar rumah berdua pada saat siang hari bisa 2 sampai 4 di hari kerja. Sisanya kalau suami mengajak makan di luar pada malam hari. Kalau akhir pekan sudah pasti keluar rumah. Diluar itu, tiap Maghrib saya mengajak Hasan untuk shalat Maghrib di mesjid dekat kos. Dan pastinya tiap hari juga saya keluar kamar kos untuk masak atau kadang-kadang membeli makanan. Itu lah makanya saya membawa 2 jilbab pendek untuk keluar kasual.

Baju Hasan

  • 6 buah celana panjang
  • 5 buah celana pendek
  • 8 buah kaos pendek
  • 2 buah kaos panjang
  • 2 buah polo
  • 2 buah kemeja
  • 4 setel baju tidur
  • 9 celana dalam
  • 1 setel pakaian renang
  • 2 buah handuk
Celana panjang dan pendek yang dibawa ada yang bahan ada juga yang jeans. Sebenarnya bawa baju Hasan cederung acak pilihannya. Kira-kira pilih  yang warnanya beda dan kalau bisa satu warna tidak sampai 2 buah. Celana panjang bahan kaus atau kargo biasanya dipakai sore hari. Kalau tidak jorok biasanya dipakai 2 sore. Baju tidur terkadang dipakai satu setel untuk dua malam kalau cuma sebentar dan tidak jorok.

Cukupkah?

Cukup tidak pakaian dengan jumlah segitu untuk kehidupan sebulan? Cukup banget! Kami mengalami dari yang pakaian cepat dicuci kering-nya sampai yang seret sekali selesai dicuci. Misalnya selama di Purwokerto, di kosan ada fasilitas bebas dicuciin. Kalau hari cerah dan baju kotor diambil pagi hari, bisa-bisa sewaktu sore baju kotor tersebut sudah berubah menjadi baju bersih dan wangi. Kosan di Jogja juga ada fasilitas mesin cuci dan dek jemuran sehingga saya bebas mencuci dan menjemur setiap hari. Di dua kota tersebut karena baju kotor hampir tiap hari langsung kering dan bisa disetrika, stok baju yang kami bawa menjadi kebanyakan.

Selama di Chiang Mai, kami mencuci menggunakan mesin cuci koin 2 hari sekali. Sekali mencuci menghabiskan 25 sampai 30 baht (12 ribu sampai 15 ribu). Jemurannya di balkon terbuka, cuma tidak ada gantungan yang pantas, cuma memakai tahanan kompresor AC dengan menggunakan hanger. Baju pun tidak selalu kering tiap sore. Saat di Pemalang kami juga menggunakan jasa laundry 2 kali sehari. Dengan frekuensi cuci-kering seperti itu, kami memiliki suplai baju bersih yang cukup dengan beberapa buah baju cadangan.

Keadaan paling sulit saat berada di Jombang. Sebenarnya kami tinggal di rumah dokter yang menampung suami saya beserta anggota dokter lain dan keluarganya. Penghuni yang banyak dan ketiadaan mesin cuci (katanya sih si mbok cuci tangan semuanya) membuat suplai baju bersih baru ada 3-4 hari sekali! Suplai baju bersih terakhir cukup sih, tetapi benar-benar pas-pasan. Dengan catatan beberapa hari sekali baju dalam saya harus dicuci sendiri dan dijemur di kamar mandi yang.. lembab. Iya, tidak ada akses jemur keluar karena aksesnya harus melalui ruang pembantu dan harus naik tangga tinggi.

Travelling Konmari: Koper dan Bagasi

Saya memiliki kebiasaan tidak ingin ada baju mubazir alias tidak terpakai saat berpergian ke luar kota. Untuk berpergian jangka pendek saja saya hanya menyiapkan baju cadangan 1 setel. Hal ini juga terbawa saat berpergian jangka panjang. 4 kali berkemas untuk berpergian jangka panjang membuat saya lumayan berpengalaman dalam menentukan kapan mulai waktu berkemas, baju yang seperti apa yang dibawa hingga berapa banyak baju yang harus dibawa. Sebagai contoh, karena merasa kebanyakan bawa baju saat pergi ke Purwokerto, untuk berpergian sebulan berikutnya saya mengurangi jumlah baju. Pengurangan jumlah baju dan keefisienan berkemas sebagai akibat dari terbatasnya jumlah koper yang bisa dibawa untuk sekali pergi.

Baca juga: Drama keberangkatan ke Chiang Mai

Kami biasa pergi menggunakan 1 koper hardcase ukuran sedang, 1 koper hardcase resleting (bisa diperbesar) ukuran sedang, 1 koper kecil ukuran cabin, 1 tas koper lipat untuk jaga-jaga, 1 stroller ringan dan 1 kontainer kecil-menengah untuk membawa peralatan masak.

Saat ke Purwokerto, orang tua saya mendahului kami dengan mengendarai mobil pribadi sehingga barang-barang kami termasuk kontainer bisa dititipkan ke mobil. Saya, suami dan Hasan hanya tinggal membawa 1 koper ukuran cabin saat naik kereta api.

travelling konmari
Harus menenteng semua ini ke kereta api?!

Saat ke Surabaya-Jombang kami membawa ketiga koper beserta stroller saja karena disana kami menumpang rumah, jadi praktis tidak butuh membawa peralatan masak. Ketika pindah ke Yogyakarta, kami sedikit repot karena membawa ketiga koper beserta stroller menggunakan moda kereta api. Suami jadi bolak balik mengangkut koper ke kereta api. Saat turun di Stasiun Tugu Yogyakarta kami juga menggunakan jasa porter untuk membantu. Karena kami butuh memasak saat di Yogyakarta, jadi kami butuh kontainer yang berisi alat masak. Tepat sekali saat itu supir mertua ditugaskan mengantar mobil agar kami bisa mobilisasi selama di Yogyakarta, kontainer pun bisa dititipkan.

travelling konmari
Koper ke Chiang Mai

Keberangkatan kami ke Chiang Mai adalah pengalaman yang menantang dan tidak terlupakan. Berawal dari drama keberangkatan hingga strategi koper. Kenapa menantang? Karena kami harus pergi bertiga menggunakan pesawat ekonomi Thai Lion dan Air Asia dengan total bagasi hanya 60kg! Yang pergi sebelumnya bisa bebas beban alat masak karena ada yang membawakan kontainer menjadi semua-semuanya harus termasuk dalam 60kg. Beruntung teman-teman suami saya ada yang meninggalkan kompor kecil yang bisa untuk menanak nasi serta setrika sehingga kami bisa mencoret kedua barang itu dari daftar bawaan. Barang dapur yang kami bawa meliputi kompor listrik Maspion, Happy Call, 1 panci kecil-menengah beserta tutupnya, 3 piring melamin, 3 sendok-garpu, gelas plastik, handblender, tatakan, pisau santoku, pisau kupas, dan segala bumbu basah dan bumbu kering. Oh ya, tidak lupa starter pack food seperti Mac n Cheese kemasan buat sarapan. Beras, garam, gula, bawang putih bubuk, kecap, chicken wing, dan sayuran beku. Barang bawaan non baju lainnya juga termasuk buku bacaan dan mainan Hasan. Wuih! Jadinya kami sedikit mengganti strategi koper. Kami membawa 1 koper hardcase ukuran besar pinjaman dari mertua, 1 koper hardcase resleting, 1 koper ukuran kabin, 1 tas koper lipat cadangan dan 1 stroller. Semua baju kami bertiga bisa muat ke koper besar itu loh! Koper hardcase resleting ukuran besar isinya peralatan mandi, barang dapur, mainan dan buku Hasan. Koper ukuran kabin isinya barang-barang yang tidak muat di kedua koper seperti sepatu dan sandal tambahan kami bertiga.

Keberangkatan terakhir adalah ke Pemalang selama seminggu dengan didahului Semarang selama 4 hari. Suami sudah berangkat duluan dengan menggunakan koper ukuran kabin. Saya dan Hasan berangkat menggunakan pesawat membawa stroller, 1 koper hardcase ukuran sedang serta tas kain untuk dibawa ke kabin. Saya mengatur hanya membawa baju untuk 6 hari karena di hotel Semarang ada laundry dan dryer mandiri. Kontainer alat masak kami juga tidak butuh karena kami tidak masak di Pemalang.

Travelling Konmari: Efek Memiliki Baju Sesuai Kebutuhan

Berbeda dengan sewaktu di rumah, saat kami berpelesir sebulan ini rasanya pikiran dan perasaan saya plong. Kamar bersih. Isi lemari simpel dan tidak berdesak-desakan. Mau bersihin lemari juga hampir tidak dilakukan karena hampir selalu rapi. Hal menyenangkan berikutnya adalah tidak adanya kegalauan saat memilih baju untuk dipakai. Memilih baju suami tinggal ambil sesuai stok yang ada untuk mingguan, memilih baju saya dan Hasan juga sama, ambil yang gampang dilihat dan cocok atas-bawah. Benar-benar mengurangi konsumsi waktu untuk hal remeh-temeh kegalauan pilihan baju yang tidak penting.

Disini saya juga tidak merasa mubazir sekali. Seolah-olah kami memiliki pakaian dan kesemuanya kondisi bagus layak pakai serta memiliki jaminan dipakai terus. Berbeda dengan saat dirumah dimana baju-baju banyak memiliki frekuensi yang rendah untuk dipakai. Bahkan banyak baju yang lupa terpakai atau sengaja tidak dipakai dengan alasan tidak nyaman dan lain-lain. Disini kita diajarkan untuk memilih apa yang terbaik dan apa yang dibutuhkan untuk kita. Bukan nafsu untuk memiliki.
Tidak ada komentar
Meskipun saya tinggal selama sebulan di Chiang Mai, saya tetap memandang kami sekeluarga adalah turis di kota itu. Sebagai turis, mencari tahu sarana transportasi umum apa saja untuk kepentingan memudahkan mobilisasi menjadi sangat krusial. Saya sudah mulai riset internet sejak hampir sebulan sebelum keberangkatan.
"Salah satu kelemahan Chiang Mai adalah transportasi publiknya buruk", ujar seorang teman saya yang sudah lama tinggal disana.
transportasi umum Chiang Mai

Lantas saya menjadi bimbang untuk ikut serta kesana? Tidak! Saya malah semakin tertantang untuk mencari tahu. Bagi yang ingin mengunjungi Chiang Mai, semoga informasi ini bisa bermanfaat ya!

Transportasi Umum Chiang Mai Massal

1. Songthaew (Red Car)

transportasi umum Chiang Mai

Menggunakan transportasi umum di Chiang Mai sejatinya mahal, apalagi kalau ingin dibandingkan langsung dengan biaya transportasi umum di Indonesia. Songthaew, dikenal dengan Rod Daeng/Red Car, atau kita kenal dengan angkot versi Thailand. Merupakan sarana transportasi umum paling populer di Chiang Mai. Mobil berwarna merah adalah songthaew yang memfasilitasi perjalanan di dalam kota. Warna selain merah untuk tujuan luar kota.

Untuk biaya sekali perjalanan adalah 30 baht per-orang atau setara 15 ribu rupiah, tertulis di atas jendela songthaew dan mudah dibaca. Tapi, kalau jaraknya dekat atau kurang dari 2,5 km, supir masih menerima jika kita hanya membayar 20 baht. Jika jaraknya relatif jauh maka kadang-kadang supir menetapkan harga 40 baht. Tips soal biaya ini, tidak usah bertanya berapa tarifnya. Kalau merasa perjalanan singkat langsung kasih 20 baht. Mungkin si supir juga merasa kita orang lokal yang sudah tahu dan biasa naik songthaew. Mayoritas warga asli Thailand di Chiang Mai tidak bisa berbahasa Inggris, apalagi supir songthaew, jadi hapalkan baik-baik ini:

20 -- yissip
30 -- samsip
40 -- sisip

Jika kita memberhentikan songthaew kosong, biasanya mereka akan seenaknya menetapkan harga. Dengan menyebutkan tarif standar menggunakan bahasa Thai, seringnya mereka akan langsung merespon setuju. Ada baiknya kita menghafal bilangan dalam bahasa Thai karena kemampuan ini bisa kita gunakan untuk menawar terutama di pasar tradisional. Cukup gampang kok, hanya perlu menghapalkan 17 kata. Panduan lengkapnya bisa dibaca disini. Jadi, misalkan kita harus menawar tarif songthaew untuk dua orang, bisa langsung katakan ini: song, hok sip baht (dua, enam puluh baht). Lebih afdol lagi kalau bicaranya pakai logat Thai hehe.

Kesulitan berikutnya perihal songthaew adalah kebanyakan dari mereka tidak memiliki rute tetap. Kalau kosong dan lagi mood, mereka bisa angkut kita ke tujuan. Kalau kebetulan tujuan kita searah sama penumpang lain, mereka mau angkut kita. Jadi, setiap kita memberhentikan songthaew, pastikan kita tanya apakah mereka mau menuju ke arah tujuan kita. Cukup katakan nama tempatnya. Iya dan tidak bisa ditebak cukup dari anggukan mereka. Karena mereka tidak punya rute tetap meskipun ada beberapa yang punya (tapi sampai saya pulang pun tidak tahu pasti mana songthaew yang memiliki rute tetap), maka bersabar dan berlapang dada lah karena kita akan banyak menghadapi penolakan 😝.

Trik memperkecil penolakan dari abang songthaew adalah jeli menentukan tempat dalam memberhentikan songthaew. Sebagai contoh, kami tinggal di dorm yang di belakangnya bukan jalan utama. Jika memberhentikan songthaew ke arah kota tua tepat di belakang dorm kami, kemungkinan ditolaknya tinggi karena bisa saja songthaew yang mengarah ke selatan menuju arah Suthep,  Kota tua atau bandara. Karena itu jika ingin ke kota tua, berjalanlah ke selatan sampai bertemu jalan utama. Pilihlah songthaew yang mengarah ke timur. Dengan itu maka probabilitas penolakan oleh abang songthaew berkurang karena pilihan arah songthaew yang ada ke arah kota tua atau bandara. Maka dari itu, dibutuhkan paham mengenai orientasi daerah yang kita tuju. Caranya ya rajin-rajin saja buka Google Map hehe.

Kerumitan usai? Belum! Kesulitan berikutnya adalah Bahasa. Selain memang kemampuan berbahasa Inggris warga Thailand masih rendah, induk bahasa dari Bahasa Thailand bukanlah Inggris dan Eropa seperti Bahasa Indonesia. Misalnya, jika ada turis asing ingin ke museum dan menyebutkan "museum" ke mamang angkot Indonesia, mereka pasti mengerti karena museum fonetiknya mirip dengan museum bahasa kita. Kalau ke abang Songthaew? Jangan harap! Maka dari itu, jadikan Google Translate sebagai temanmu. Persoalan beres? belum tentu! Terkadang jika kita mengucapkannya tidak dengan ucapan (bahkan logat) yang benar, si abang songthaew tak urung mengerti juga. Bahasa Thailand dari museum adalah phiphithphanth. Saya ucapkan sambil asal baca, si abang tidak mengerti. Ternyata cara pengucapannya agak beda dari yang saya baca langsung haha. Jadi, pastikan selain mengecek translasinya kita juga mengecek pelafalannya.

Alternatif cara lainnya dalam berkomunikasi adalah menunjukkan gambar tujuan kita. Sebagai contoh, museum yang hendak saya kunjungi adalah Chiang Mai Historical Center. Tepat di depan museum tersebut terdapat patung 3 raja. Nah bisa langsung Google Images gambar 3 raja itu dan ditunjukkan ke si abang songthaew.

Baca juga: Kafe di Chiang Mai

Bagaimana kalau tempat yang kita tuju tidak memiliki gambar karakteristik khas? Kita bisa menyebutkan nama jalan dimana lokasi yang kita tuju itu. Sebagai contoh, Chiang Mai Historical Center terletak di jalan Inthawarorot. Tapi jangan terlalu percaya diri, meski menyandang status supir songthaew, si abang belum tentu hapal nama jalan 😂. Jadi cadangkan nama lokasi terkenal atau jalan terkenal lainnya yang searah dengan tujuan kita. Dengan berbekal Google Map, lihat posisi kita saat songthaew berjalan dan turun di lokasi dimana dekat dan bisa berjalan menuju tujuan asli kita. Saat saya menyebutkan Inthawarorot, entah kenapa menurut dia adalah (pasar) Warorot. Karena saya lelah dengan penolakan akhirnya saya iyakan saja. Saya tahu, jalan menuju Warorot hampir pasti melewati sekitaran museum yang saya tuju. Saya pantau terus gerakan songthaew di Google Map. Alhamdulillah tepat dugaan saya, songthaew yang saya naiki melewati jalan yang hanya dibutuhkan berjalan 100 meter untuk menuju museum. Saya pun berhenti disitu.

Baca juga: Chiang Mai Night Safari

Butuh waktu 1 minggu lebih sampai saya menemukan cara terbaik menaiki songthaew. Meskipun dengan segala problematikanya, perlu saya akui songthaew adalah angkutan umum terbaik dan paling taktis untuk dinaiki di Chiang Mai. Hubungan saya dengan songthaew bagaikan "love-hate relationship".

2. Tuk Tuk

transportasi umum Chiang Mai

Sejatinya, Tuk Tuk adalah Bajaj versi Thailand. Secara keseluruhan bentuknya mirip sekali dengan bajaj di Indonesia, hanya sedikit lebih besar dengan kursi penumpang yang lebih lebar. Bisa duduk 3 orang. Sama seperti di Indonesia, harga Tuk Tuk bisa jauh lebih mahal dibanding angkutan umum lainnya. Mereka akan memberikan harga awal yang sangat-sangat mahal. Berlagak tidak butuh saja, nanti mereka akan menurunkan harga. Tahap berikutnya adalah menawar. Lagi-lagi bisa mengucapkan bilangan dengan Bahasa Thailand adalah kemampuan yang penting untuk mendapatkan harga lebih murah. Memang pada akhirnya harga akhir akan lebih mahal dari ongkos songthaew, tetapi akan terasa sangat murah dari harga awal yang ditawarkan. Toh, para supir Tuk Tuk dan kita juga tahu, Tuk Tuk dikategorikan sebagai angkutan rekreasional yang mengundang orang untuk ber-swafoto karena merupakan angkutan umum yang khas.

Sampai kami meninggalkan Chiang Mai, pada akhirnya kami belum merasakan naik Tuk Tuk. Mahal, itu yang menjadikan alasan kami. Sempat sih kami meniatkan naik sekali saja untuk sekedar merasakan, tapi beribu sayang, saat itu kami tidak cukup banyak bawa uang baht haha. Jadi pulang dari Pasar Minggu (pasar malam kaget yang cuma ada di Minggu malam), kami berniat pulang ke Suandok menggunakan Tuk Tuk. Harga awal yang mereka tawarkan adalah 200 baht! Kemudian kami berlagak tidak butuh, sang supir dengan mawas diri menawarkan harga 150 baht. Karena memang uang yang kami bawa tidak cukup, kami pun berakhir dengan tidak menawar lagi. Padahal saya yakin, jika saya menawar dengan menggunakan Bahasa Thai, kami bisa dapatkan harga 120 baht atau 100 baht saja. Harga kami bertiga (anak kecil tidak dihitung) naik songthaew adalah 60 baht. Lumayan kan ya cuma bayar tuk tuk hampir dua kali lipat.

3. Bus Umum

transportasi umum Chiang Mai

Penguasaan preman terhadap sektor transportasi publik di Kota Chiang Mai membuat kehadiran Bus umum tergolong baru. Bus ini dinamakan RTC Chiang Mai. Baru dirilis pada pertengahan tahun 2018 dan sampai Oktober 2018 baru ada 3 jalur. Tarif yang dikenakan adalah 20 baht sekali naik, membuat bus umum menjadi sarana transportasi termurah di Chiang Mai, apalagi kalau naik dan turun dari ujung rute.

Bus baru yang sangat nyaman, tersedia beberapa tempat duduk dan tempat duduk prioritas untuk orang lanjut usia, wanita hamil dan orang berkebutuhan khusus. Ada juga 1 tempat khusus yang disediakan dengan biksu sebagai prioritas.

transportasi umum Chiang Mai

Saat saya memutuskan untuk mencoba bus, saya akui cukup sulit untuk mencari tahu jadwal dan rute bus. Informasi  yang ada benar-benar berserakan di jagat maya. Beberapa mengatakan sudah ada aplikasi, yaitu CM TRANSIT yang bisa diunduh melalui Play Store dan App Store. Aplikasi ini menyatakan bisa mendeteksi posisi bus secara tepat waktu. Tapi sepertinya aplikasinya belum berfungsi dengan baik, terbukti saat saya mengunduh di iPhone, saya tidak mendapatkan informasi apapun, termasuk deteksi posisi bus.

Saya memutuskan menggunakan bus dari depan Chiang Mai University sampai ke Central Festival. Ternyata posisi-posisi tersebut berada di ujung rute. Saya mencari tempat pemberhentian bus di dekat universitas. Tempat pemberhentiannya sendiri bisa berupa halte dengan beberapa tempat duduk ataupun hanya palang penunjuk saja. Nanti begitu ada bus mau lewat kita tinggal mengibaskan tangan. Sayang sekali, jumlah armada bus belum begitu banyak, saya membutuhkan waktu sekitar 20 menit menunggu sampai bertemu bus pertama.

transportasi umum Chiang Mai

Ada 3 alternatif pembayaran bus. Pertama dengan cara tunai, yaitu memasukkan 2 koin 10 baht ke dalam mesin. Kedua dengan cara mengetuk Rabbit Card (kerjasama dengan LINE) dan Tourist Card di mesin sebelahnya. Ketiga, bisa dengan langsung memberikan sehelai uang kertas 20 baht kepada supir. Tampaknya, adanya alternatif ketiga itu untuk menghindari lamanya antrian memasuki bus dan alternatif jika penumpang tidak memiliki uang koin.

transportasi umum Chiang Mai

Berhubung Chiang Mai University dan Central Festival berada di ujung rute, total perjalanan menghabiskan waktu 1.5 jam. Rute bus melewati tengah kota bahkan terminal bus, menyebabkan bus melewati beberapa titik kemacetan. Jika anda hendak buru-buru dan tidak memiliki waktu lowong, menggunakan bus ini tidak dianjurkan. Tetapi kalau ingin menghemat pengeluaran, tentu menggunakan bus sangat menguntungkan.

Ternyata sekarang sudah ada situs yang menulis panduan  menaiki bus umum di Chiang Mai. Mulai dari harga sampai rute. Bisa langsung coba kesini.

4. Free Shuttle Van

transportasi umum Chiang Mai

Chiang Mai memiliki 3 mal besar, yaitu Central Festival sebagai yang terbesar, Central Plaza dan Maya Mall. Pusat perbelanjaan yang berafiliasi dengan Central memiliki jadwal dan armada shuttle bus sendiri. Shuttle tersebut berhenti di berbagai lokasi, biasanya berhenti di beberapa hotel. Jadwal lengkap shuttle tersebut bisa didapatkan langsung di mal Central atau di hotel yang disinggahi oleh shuttle. Biayanya gratis, tetapi karena berhenti di beberapa hotel dulu baru lanjut ke mal Central, waktu yang dibutuhkan bisa 1 jam. Jadi kalau terburu-buru oleh waktu tidak disarankan untuk menggunakan moda transportasi ini.

transportasi umum Chiang Mai

Transportasi Umum Chiang Mai Non-Massal

1. Grab/Taxi

Penggunaan Grab adalah alternatif terakhir jika bingung memilih moda transportasi yang mana. Pasalnya, kita tinggal menentukan tujuan mana saja tanpa bersusah payah mencari. Namun, tarif Grab di Chiang Mai tidak murah-murah amat. Jika kita berjumlah 3 orang, menggunakan Grab akan sangat menguntungkan karena menggunakan songthaew 3 orang bisa menghabiskan 30 baht, itu pun harus menunggu dan kemungkinan mengalami penolakan. Sementara dengan menggunakan Grab Car untuk jarak menengah hanya sekitar 80 baht.

Fitur Grab yang tersedia di Chiang Mai hanya Grab Car dan Delivery, berbeda dengan di Indonesia yang beraneka ragam seperti Grab Bike dan Grab Food. Jasa pengantaran makanan tidak ada mungkin karena kehadiran Food Panda terlebih dahulu. Nah yang menarik, pada Grab Car tersedia layanan Grab Roddaeng, atau Grab yang memakai songthaew. Tampaknya ini adalah salah satu jalan tengah yang diambil oleh pihak Grab untuk "merangkul" preman songthaew. Harganya sedikit lebih mahal dari Grabcar biasa, tetapi apabila rombongan kita terdiri lebih dari 4 orang, penggunaan Grab Roddaeng sangat efisien karena bisa mengangkut sampai 10 orang dalam sekali pengangkutan. Otomatis harganya akan lebih murah dibandingkan menggunakan 2 atau 3 Grabcar.

Sementara untuk Taxi hanya ada di bandara. Menggunakan Taxi keluar dari bandara adalah alternatif terbaik karena jika menggunakan Grab tarifnya akan membengkak. Kok bisa? silahkan baca sampai selesai hehe.

2. Mo-bike

Jika anda hendak berjalan-jalan santai sendiri atau setidaknya tidak bawa anak, Mo-bike ini benar-benar efisien. Kita bisa mengunduh aplikasinya di gawai masing-masing. Ada pilihan rental 3 bulan dengan hanya membayar sekitar 250 baht (saya lupa tepatnya) dan rental per-15 menit, tetapi jatuhnya jadi lebih mahal. Penggunaannya juga sederhana, nanti di aplikasi ada lokasi halte mobike dan kita tingga pindai barcode yang ada di sepeda menggunakan gawai kita. Nanti sepeda akan terbuka kunciannya dan kita bisa bebas menggunakannya. Saat sudah beres menggunakan tinggal diparkirkan (dianjurkan di halte yang tersedia) kemudian tinggal dipindai ulang barcode sepeda tersebut. Selesai. Kita bisa meninggalkan sepeda tanpa harus terbebani rasa bertanggung jawab dan ketakutan akan dicuri.

Sepeda mobike terdiri dari keranjang di depannya, jadi bisa menjadi tempat untuk meletakkan tas atau belanjaan. 

3. Sewa Motor atau Mobil

Ini adalah alternatif terakhir. Sangat berguna apabila kita hendak berpergian ke tempat yang jauh dari kota secara bebas. Apalagi Chiang Mai banyak lokasi wisata alamnya yang berjarak 1 jam atau lebih dari pusat kota, membuat alternatif menggunakan Grab menjadi nihil. Kami pribadi belum pernah menggunakannya. Berdasarkan testimoni beberapa teman, untuk menyewa mobil dibutuhkan SIM Internasional jika tanpa supir. Kalau sewa motor saya kurang tahu. Tempat penyewaan bisa ditemukan di berbagai area turis seperti di wilayah Nimmanheiman di Kota Tua. Untuk tarif sendiri bervariasi, tergantung juga dari kemampuan kita untuk menawar. Bahkan ada yang bisa menyewakan langsung 3 bulan dengan harga lebih murah dari sewa bulanan.

Pengaruh Premanisme terhadap Transportasi Umum Chiang Mai

Layaknya seperti yang dapat kita temui di kota-kota besar selain Jakarta, premanisme yang dilakukan oleh sebagian oknum cukup untuk "membungkam" perkembangan transportasi umum milik pemerintah. Mari ambil Kota Bandung sebagai contoh. Pihak Dinas Perhubungan Kota Bandung tidak banyak bisa bergerak atas keputusan Koperasi Wahana Kalpika. Untuk kasus Chiang Mai, pengemudi Songthaew dan Tuk tuk lah "preman tersebut". Oleh karena itu, logis rasanya jika Grab "merangkul" songthaew untuk "berbagi rezeki". Salah satu kerjasamanya adalah menghadirkan songthaew di aplikasi Grab. Songthaew ini juga sedikit sulit untuk dicampuri pemerintah, sama seperti Koperasi Wahana Kalpika. Buktinya mereka tidak ada rute khusus, meski ada beberapa yang terkesan "dibayar" noleh beberapa pihak lain seperti Central.

Kehadiran Grab ini juga mengancam Tuk Tuk, kerap kali ditemukan di beberapa tempat Tuk Tuk berkumpul dan menaruh plang bahwa Grab dilarang ambil penumpang. Contohnya di seberang Pasar Malam Sabtu. Pelanggan yang ingin memesan Grab harus jalan terlebih dahulu menjauh dari plang tersebut. 

Tidak hanya itu, beberapa tempat wisata dan bandara juga ada premannya! Sebagai contoh saat saya hendak pergi ke Chiang Mai University (CMU). Untuk mengantisipasi supir songthaew yang tidak mengerti kata "university", saya menyebutkan zoo sebagai tujuan karena posisi CMU hanya 400 meter dari kebun binatang. Namun sang supir mengisyaratkan kalau tarifnya 80 baht! Padahal lokasinya tidak jauh dari dorm kami. Saya pun terkaget-kaget. Dengan cepat saya merevisi CMU sebagai tujuan saya, harganya pun berubah menjadi normal 30 baht. Apa yang terjadi?

Tampaknya pihak kebun binatang (atau preman yang bercokol di kebun binatang) menarik tarif tambahan dari para supir songthaew. 80 baht adalah harga tarif untuk Grab juga. Mungkin pengelola kebun binatang lebih bersahabat dengan supir Grab ketimbang songthaew. 

Pernah juga saya iseng mencari tahu tarif Grab dari dorm menuju bandara menjelang kepulangan kami ke Jakarta. Saya kaget karena harga yang muncul adalah 180 baht! Apa-apaan itu. Soalnya seingat saya, terakhir saya memakai Grab dari Central Plaza yang jaraknya kurang dari 1 km dari bandara, harganya hanya 90 baht kurang. Kemudian saya pun iseng menggeser titik pengantaran sedikit keluar dari gerbang bandara. Ternyata harganya kembali 80-an baht. Hebat sekali palakan preman bandara ya, bisa 80 baht sendiri. Jika menggunakan songthaew kalau tidak salah tidak ada perubahan tarif. Mungkin ini sebabnya saat saya naik bus umum, saya menemukan banyak turis membawa koper yang hendak menuju bandara. Rupa-rupanya mereka juga menghindari tarif Grab yang super mahal itu.