Distorsi Informasi

Tidak ada komentar
"Bayinya jangan sering berenang dibawah ya, bayi A kasian kepalanya ada bakteri sampai harus dibolongin.'

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Though I felt like, "huh?".

Berdasarkan info yang saya dapat dari sesama teman Mahmud Abas di Apartemen ini, sebut saja bayi A harus mendapat musibah karena harus dioperasi kepalanya menggunakan bius total. Terakhir dilihat oleh teman-teman saya sang anak sudah dibotak dan kepalanya sedang diperban. Tampaknya operasinya sudah lewat.




Bagi saya, keakuratan suatu informasi sangat dipengaruhi oleh dua hal. Yakni subjektifitas baik dari sumber ataupun penyampai pesan dan distorsi penangkapan oleh penyampai pesan. Keraguan saya bekerja pada info yang baru saya terima itu. Pasalnya, saya merasa info tersebut sedikit janggal dan sarat mengandung dua unsur yang saya sebut barusan. Kepala bolong, operasi, kolam renang. Tiga unsur yang bisa berhubungan salah duanya tetapi tidak untuk ketiganya. Bukan karena anak saya hobi berenang di kolam renang apartemen lantas saya meragukan info yang ada karena kontennya menjadi sarat subjektifitas dalam sikap saya mencerna informasi. Saya meragu karena pengguna kolam renang kan sekian banyak orang tapi musibahnya kenapa hanya terjadi pada sang anak. Entah karena memang tidak ada atau terjadi pada orang lain tapi saya tidak tahu (kan penghuni ratusan malah ribuan).

Saya pun menanyakan kemungkinan info tersebut kepada suami saya yang seorang dokter.

"HAH? Apaan tu?"

Saya juga menanyakan kepada sepupu saya yang seorang dokter juga.

"Meningitis maksudnya?" tanya sepupu.
"Emang meningitis kepalanya dibolongin?" tanggap saya.
"Engga juga sih."

Mendapat dua respon itu, keraguan saya menjadi beralasan. Saya pun mencurigai kemungkinan terjadinya dua hal:

  1. Info menjadi salah tafsir karena adanya unsur subjektifitas (just because karena si anak hobi berenang) sehingga membuat praduga dan penafsiran sendiri di pihak sumber info.
  2. Salah mengartikan info dari dokter.
  3. Terjadi distorsi pada penyampaian info mulut ke mulut
Sejujurnya, saya tertarik untuk mengurai dimana letak salah kaprahnya informasi, Saya penasaran, meski tetap ada kemungkinan bisa saja saya, suami saya, dan sepupu tertinggal info mengenai bahwa adanya bakteri bisa membuat kepala harus dilubangi, Bukan, saya bukan mempermasalahkan atau ingin membahas musibah yang dialami sang anak. Tetapi saya ingin menekankan betapa rapuhnya suatu informasi yang disampaikan mulai dari sumber, penghantar, hingga ke penerima. Cuma dua atau tiga tahap saja rawan terjadi pergeseran makna dari informasi tersebut. Apalagi ratusan hingga ribuan tahap? Jelas sudah mengapa gosip bisa menjadi senjata yang sangat mematikan melihat kekuatannya yang ditimbulkan oleh ulah manusia. Oleh karena itu, gosip (ghibah) sangat dilarang dalam agama Islam.


Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Dan janganlah kalian saling menggunjing. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hujurat: 12).
Semoga kita menjadi lebih bijak dalam menyebar, menyampaikan, dan menerima informasi yang ada.

Allahu'allam bisshawab.

Tidak ada komentar