Cita-cita Lepas

Tidak ada komentar
"Nanti kalau sudah besar mau jadi apa?"

Bisa saja pertanyaan tersebut merupakan sebuah pertanyaan populer dan frekuentif yang ditanyakan kepada anak kecil. Begitu juga dengan saya (jika ditanyakan, siapa pula yang nanya haha). Tapi bukan cita-cita yang saya ingini masa kecil yang hendak saya perbincangkan kali ini.

Tetapi saat SMA.




SMA


Layaknya SMA-SMA lainnya, tes psikotes adalah sebuah tes yang familiar dilayangkan kepada siswa-siswi SMA kelas X karena ada penjurusan pada kelas XI (jaman saya penjurusan kelas XI, beda dengan sekarang semenjak kelas X). Hasil psikotes kadang dijadikan acuan sebagai gambaran menurut cara dan pola berfikir, apakah siswa tersebut lebih cocok masuk jurusan IPA atau IPS (atau bahasa di sebagian SMA).

Anda lebih cocok masuk jurusan IPS. 

Begitulah kata kalimat-kalimat yang terangkai di lembar hasil psikotes saya. How come? Jelas-jelas saya sangat menyenangi pelajaran eksakta. Matematika. Fisika. Kimia. Hal-hal yang berbau angka. Pun, rasanya otak saya juga sangat lemah terhadap hapalan, suatu kemampuan yang sangat menguntungkan jika berada di jurusan IPS. Ah sudahlah tak mengapa. Menjadi "bintang" semasa SD dan SMP tidak menjadi jaminan akan terus menjadi "bintang" di masa SMA. Saya pun berakhir menjadi kaum marjinal kelas menengah kebawah. Dalam urusan nilai. Segmentasi pembagian IPA dan IPS yang sudah menjadi rahasia umum didasari oleh peringkat nilai (diluar memang kalau siswanya dari awal memilih IPS), membuat saya menyerahkan nasib pada takdir. Tak mengapa kalaupun masuk IPS nantinya. Toh, setelah dipikir-pikir saya memiliki jurusan incaran saat kuliah nantinya.

Kriminologi.

Loh, kok bisa? Kenapa bukan ekonomi, komunikasi, bisnis, atau yang mainstream lainnya? Kriminologi. Kriminial. Dari diksi katanya saja sudah terkesan maskulin. Kasar. Meski saya yakin bahwa sebenarnya(tampaknya) tidak seperti permukaannya saja. Layaknya bocah-bocah seumuran saya lainnya, kami ini terlalu sering dicekoki (mencekoki diri lebih tepatnya) dengan bacaan baik berupa novel ataupun komik bergenre detektif, Sherlock Holmes, Hercule Poirot, Kindaichi, Conan, dan lain sebagainya. Sehingga menimbulkan pemahaman bahwa, solving crime is cool. Maaf, namanya juga pemuda-pemudi tanggung, masih sibuk mencari jati diri. Apa-apa didasarkan kepada "kekerenan". Dan saya pun pada waktu itu membayangkan bahwa jurusan kriminologi itu membedah dunia kriminal. Cara berpikir. Kenyataannya. Entahlah, apakah definisi saya pada waktu itu relevan dengan pemahaman jurusan kriminologi sebenarnya.

Dengan nilai pas-pasan apa adanya, akhirnya saya masuk jurusan IPA. 4 dari 3 kelas satu angkatan di SMA saya waktu itu adalah jurusan IPA. Karena saya sudah masuk jurusan IPA, bye criminology. I had no more reason to hold you any longer

Kuliah


Saya mengawali usia 16 tahun saya sebagai mahasiswa TPB (Tahap Pertama Bersama) FTSL (Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan) di Institut Terbeken di Bandung (plakkkkk....). Sejujurnya ini bukanlah jurusan yang saya inginkan. Dari awal saya ingin masuk Teknik Kimia dengan pengetahuan saya yang pas-pasan mengenai bagaimana jurusan teknik kimia itu. Di bayangan saya, Teknik Kimia itu tentang Kimia, tapi teknik (lah gimana sih, ga menjawab banget). Melihat hasil pengumuman ujian masuk ITB bahwa saya hanya memasuki pilihan kedua, yakni FTSL, hanya membuat saya tertegun memandangi layar komputer. Disaat orang lain gembira membaca pengumuman kelulusan, terlebih lagi di kampus saya itu, saya hanya paradoks bersedih hati. Dan tidak main-main, saya sedihnya lama sekali, seakan menyesali takdir.

But Allah always have greater plans rather than us. Always.

Membuat pada akhirnya saya sangat bersyukur masuk di jurusan Teknik Lingkungan dan bukan Teknik Kimia saat saya menginjak tingkat 3. Ternyata Teknik Kimia tentang proses, yang mana di jurusan Teknik Lingkungan sendiri saya tidak suka pelajaran yang menyerempet proses. Itu cuma seujung kuku dibahas, bagaimana kalau memang benar-benar dibahas selama 3 tahun? Dan sekarang di detik ini. Semenjak mengerjakan Tugas Akhir, tesis dan sekarang, kekhususan yang saya minati sangat jauh melenceng dari Teknik Kimia. Yakni, sains atmosfer dan pencemaran udara :))

Speaking of extracurricular, pada awal perkuliahan kami mahasiswa diperkenalkan oleh unit-unit yang biasanya merekrut anak baru dari tingkat pertama. Pada saat itu saya mendaftar unit MBWG (Marching Band Waditra Ganesha), ITB Orchestra, dan panahan. Terbentur komitmen dan jadwal perekrutan yang sering bertabrakan satu sama lain, menyisakan MBWG  sebagai satu-satunya unit yang saya masuki hingga menjadi anggota.

Tingkat 3 merupakan tahap "pencarian jati diri" saya dalam perihal minat. Mungkin seperti masa SMA, namun kali ini levelnya lebih serius. Untuk urusan akademisi, saya mencari jati diri minat saya karena pada tingkat itulah kami mulai banyak harus memilih kuliah pilihan. Kuliah pilihan dapat mempengaruhi minat bidang kerjanya nantinya. Dan pada saat itu pula, saya tiba-tiba menjadi random memikirkan hal lain-lain menyangkut minat-minat non akademisi saya.

Fotografi dan Jurnalisme.

"Ray, kalau gw belajar menulis dan baru ngeh ingin nulis udah termasuk telat ga?", tanya saya pada seorang teman,
"Engga kok, belajar aja. Ga ada kata telat."

Teman saya itu pada masanya pernah menjabat sebagai ketua unit Boulevard. Semacam unit yang menerbitkan buletin kampus berisi isu-isu terhangat intra dan ekstra kampus secara teratur. Entahlah, pada saat itu saya baru mulai menyadari kalau isi kepala saya sering ribut akan hal-hal random dan saya merasa perlu untuk memuntahkannya dalam bentuk tulisan. Ya, saya baru menyadari kalau saya itu seorang thinker. Baik dalam konotasi positif dan negatif. 

Membaca dan menulis itu setali tiga uang. Kalau ingin bisa bagus menulis, harus sering membaca. Diluar faktor bakat. Semenjak kecil saya memang senang membaca. Tanpa atau dengan disadari. Si Jamin dan Si Johan adalah karya sastra pertama yang saya baca pada saat kelas 6 SD, usia 10 tahun. Bermula dari keingintahuan saya mengenai apa itu sastra. Melihat sampul buku Si Jamin dan Si Johan bergambarkan dua orang anak jadi saya pikir kisahnya juga tentang anak-anak.

SI Jamin dan Si Johan


Ternyata benar tentang anak-anak. Tetapi tragis.

Semenjak itu saya semakin mencari buku sastra lainnya dan sebagai pintu gerbang ketertarikan saya terhadap buku-buku lainnya.

Oh jadi ternyata di lubuk hati terdalam, saya juga ingin menjadi seorang sastrawan.

Tentu saja tidak! :))

Tunggu, jangan buru-buru menebak. Tentu saja saya tidak ingin menjadi sastrawan. Semakin kesini saya semakin menyadari kalau saya bukan pujangga dan tidak piawai dalam merangkai kata tiap kata di tiap helai buku. Dan lagi saya memang tidak pernah memiliki keinginan menulis tulisan fiksi. Oh, mungkin sesekali saya suka terpikir sebuah ide random, ide cerita fiksi. Tapi kembali saya tidak niat sama sekali untuk menggarapnya.

Jurnalis.

Ya, sedikit terbersit keinginan menjadi jurnalis (lepas). Ini gara-gara sewaktu SMP saya mengubek-ubek perpustaakan yayasan (di komplek sekolah saya ada SD, SMP, SMA). Saya menemukan buku berjudul "VEIL", karangan Bob Woodward. Bob Woodward adalah seorang kakek tua berkebangsaan Amerika yang ngehits karena bukunya (bersama Carl Bernstein) membongkar skandal Watergate, melibatkan Presiden Richard Nixon. Terkuaknya skandal ini membuat Presiden Nixon mengundurkan diri dan digantikan oleh wakilnya, Gerart Ford. Pada masa terjadinya skandal itu, Woodward bekerja di Washington Post. Veil ini adalah salah satu skandal yang diungkap Woodward, mengenai bagaimana CIA mendanai gerakan pemberontakan Sandinista yang dikepalai oleh Daniel Ortega guna menggunlingkan Presiden Fidal Castro.



Pada saat itu saya berfikir, alangkah menariknya mengulan dan menginvestigasi suatu permasalahan baik yang sudah ataupun belum viral. Menggali, mencari titik temu dari suatu kasus. Mewawancarai dan menelusuri semua pihak hingga menemukan benang merah.

Pada tingkat tiga, saya mengambil mata kuliah pilihan jurnalistik dan fotografi. Fotografi karena tiba-tiba saya merasa menyenangi fotografi. Berawal dari meminjam kamera teman dan iseng mengambil gambar di momen acara himpunan. And I feel I got the sense. Saat saya hendak mengambil kedua mata kuliah pilihan itu, sempat terbersit di sanubari saya kenapa saya tidak masuk ke unit-unit jurnalistik dan fotografi semenjak SMA. Toh di SMA saya ada ekskul KPPF (Kelompok Pelajar Pecinta Fotografi) dan ekskul bergerak dalam buletin sekolah (duh saya lupa namanya). Di kuliahan juga ada unit Boulevard. Tapi balik lagi teringat perkataan Ray, tidak mengapa telat baru hendak mempelajarinya. 

Mata kuliah jurnalistik diajarkan oleh seorang wartawan lepas dan juga kontributor Pikiran Rakyat, Pak Acep Iwan Saidi. Materi dan kuliah sungguh menarik. Kita disuruh meliput kegiatan kampus dan menuliskannya. Tidak hanya kegiatan kampus, tetapi juga suatu acara kebudayaan yang diadakan di balai kota. Tugas besar terakhir secara berkelompok adalah kita dikasih kontak salah satu tokoh, dan kita disuruh mewawancarainya.

Yang paling utama dalam jurnalistik adalah tersampaikannya berita yang kita tulis kepada masyarakat. Apabila isi tulisan kita itu bertentangan dengan kepentingan tempat kita bekerja, berikanlah tulisan itu kepada orang lain agar tulisan itu dapat dibaca oleh masyarakat. - Acep Iwan Saidi

Pesan tersebut sangat berkesan untuk saya. Sampai saat ini. Si bapak sering membagikan pengalamannya malang melintang di dunia jurnalistik. Semenjak itu saya baru mengetahui bahwa dunia jurnalistik itu sarat bahaya. Pak Acep sendiri pun pernah mengalaminya. Beliau juga pernah bercerita mengenai wartawan yang menerbitkan tulisan tentang dimana Gayus berada. Oleh perusahaan penerbitnya, sang penulis diungsikan keluar negeri, dengan hanya orang terbatas yang secara pasti diungsikan dimana. It makes my nerve to the full.

Menjadi orang yang terkenal akan slogan NATO (No Action, Talk Only) membuat saya berpikir, bahwa saya harus memulai. Sebenarnya semenjak jaman kuliah saya dan seorang teman saya, Kak Mae sempat berwacana berkolaborasi membuat photojournal kehidupan pasar. Saya memotret, Kak Mae menulis. Btw, Kak Mae ini penulis handal loh! Tetapi pada akhirnya ini tetap berujung pada wacana.

Kembali lagi, saat konflik turunnya presiden Mursi di Mesir, saya melihat ada bola peluang yang datang ke saya. Saat itu saya masih aktif menyantroni twitter. Di timeline saya, ada beberapa teman saya yang me-retweet tulisan dari seorang pelajar Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Mesir. Saya add lah akun twitternya. Tak hanya itu, juga akun facebook-nya. Di chat FB saya berusaha mewawancarinya dengan mengutarakan keinginan tahu saya mengenai kejadian di Mesir. Langsung dari orang yang menjadi saksi mata. Pada saat itu ia sempat curiga, kalau saya seorang simpatisan partai P*S yang berseberangan dengan pendapatnya. Saya ujarkan pertanyaan satu demi satu. Saling berhubungan. Hingga saya merasa cukup mengumpulkan awal pada sesi pertama ini. Saya hendak menuliskannya dalam suatu bentuk tulisan komprehensif. Kemudian terbersit dalam benak saya, kalau ini ingin menjadi tulisan bagus, saya harus lebih serius, mencari banyak narasumber lainnya. Berpikir menyambungkan satu demi satu gagasan. Membedakan mana yang fakta dan opini. Dan pada saat itu saya menyerah, karena saya tidak bisa mengerjainya pada waktu senggang. Ini topik besar. Saya tidak punya latar belakang lagi pengalaman. Dan saat saya sedang berpikir, saya bisa mengisolir diri sendiri di dalam mind palace yang saya bangun sendiri. Akhirnya rencana tulisan ini tetap berakhir menjadi suatu wacana.



Makin kesini, saya semakin menyadari bahwa kecepatan dan minat baca saya sekarang sudah terjun bebas. Perbendaharaan kata saya semakin terkorupsi. Selamat tinggal membuat artikel bagus dengan kata-kata yang apik. But now I try to write blog everyday, follow #ODOPfor99days challenge. I hope someday I can write good and eloquent writing.

I really hope so.

Tidak ada komentar