Suami yang Absen

Tidak ada komentar
"Sendirian aja net? Mana suaminya?"
Pertanyaan yang sama sering dilontarkan jika saya pergi bertemu teman atau kumpul keluarga. Awal-awalnya setiap saya mendapat pertanyaan serupa aneh rasanya. Lama kelamaan semua berubah menjadi biasa saja. Pertanyaan ini tidak hanya dilontarkan setelah Hasan lahir, tetapi sejak saya belum hamil pun. Sempat sering terlintas di benak pikiran apa yang teman-teman atau keluarga judge jika melihat saya (sekarang saya dan Hasan)datang ke acara keluarga atau acara kumpul teman.




"Wah suaminya pasti workaholic, ga peduli sama keluarga, blablablabla.."

Workaholic? Dia mah kalo bisa mabal mah mabal wae LOL. Yah begitulah, saya pun sejujurnya tidak membayangkan ternyata definisi sibuknya menjadi Residen orthopaedi segini-gini amat. Memang sih pada awalnya saya sudah dijabarkan perihal "ga punya waktu". Ya saya kebayang sibuk, tapi "sibuk"nya itu baru terasa setelah mengalami sendiri. 

Sibuknya residensi a.k.a spesialis ternyata jauh dibandingkan sibuknya magister teknik. Jauh. Jauh banget bagaikan Matahari dan Pluto. Dahulu saya saat mengecam semester satu bangku magister, saya masih sempat nyambi menjadi asisten praktikum dan dosen serta kerja paruh waktu di konsultan lingkungan. Semester 2 saya berhenti kerja di konsultan tetapi masih tetap memegang asisten yang jumlahnya lebih sedikit karena saya mengambil 16 SKS dan total 8 pelajaran. Mantap ga tuh, saya UTS ujian 8 matkul dalam seminggu. Padahal ketika S1 tidak pernah sebegitunya. Semester 3 isinya cuma tesis dan banyakan nyampahnya.

Sementara residensi? Ini deh rangkuman gambarannya. Jam tidur suami lebih sedikit daripada jam tidur saya yang notabene harus standby mengurusi bayi. LOL. Pergi pagi sebelum jam 6, pulang 95% malam. Padahal kita sudah tinggal di Apartemen yang jaraknya dekat dengan RSCM. Oh ya, itu belum ditambah jaga malam seminggu sekitar 1-3 kali. Haha.

Suami saya juga kerap kali mengecek HPnya. Bahkan di hari libur pun. Oh bentar, suami saya bukan anak sosmed. Facebook pun sudah tidak diperhatikan. Beda sama saya yang segala rupa semua sosmed dijabanin. Yak, alasan kenapa suami kerap kali mengecek HP adalah mengecek grup telegram yang isinya koordinasi diantara residen. Sewaktu Berkut (baca: laptop saya) dipinjam oleh abang, saya menggunakan laptop suami saya yang besar untuk browsing. Laptonya ini terinstal aplikasi telegram yang mana tersinkron dengan telegram di HPnya. Jadi tiap ada telegram masuk di HPnya, maka pesan tersebut masuk ke telegram laptop. Dan benar loh, notifikasinya HAMPIR tidak berhenti sama sekali. Serius. Saya saja sempat tidak sengaja terklik notifikasinya hingga muncul pesan telegramnya. Padahal saya cuma mau mengklik tab browser.

Pun, dengan segala kehingar bingarannya, suami masih rela berkorban lagi mengurangi jatah tidurnya yang memang sudah kurang dengan menghabiskan waktu bersama saya ataupun mengurus Hasan meski sesimpel memandikan dan memainkannya.

Kesepian? Terkadang. But mostly I don't. Memiliki suami yang kesibukannya tidak seperti pegawai kantoran biasa, yang pergi dan pulannya rutin, yang weekend jelas libur kecuali lembur butuh toleransi yang besar untuk menyikapinya. Hari libur? wah sering suami saya tiba-tiba dapat panggilan ke RSCM mendadak. Rencana batal karena panggilan mendadak? Sering.

Saya sudah terbiasa? Ya.

Dan Alhamdulillah, bersyukur juga saya seorang introvert dan mandiri. Introvert, yang dalam kesendiriannya (halah) sering merasa nyaman. Menyetir dan bergaul kesana kemari juga Alhamdulillah saya diberi kemampuan menjalankannya bersama Hasan. Memang, dari semenjak sebelum nikah pun saya suka ke restoran atau kafe sendiri. Just to feel comfort by myself :)

Tak terasa suami saya sudah di semester 4 dari program 10 semester residensi. A long way path, though! But it's okay, we can pass it because we can dancing in the rain.

Tidak ada komentar