Tampilkan postingan dengan label parenting. Tampilkan semua postingan

Tips Sendiri Berenang Bersama Anak Anti Ribet

1 komentar
Lagi inap di hotel, anak 3 minta renang, suami ga ada karena inapnya bukan dalam rangka staycation. Bagaimana cara sendiri berenang bersama anak? Apa saja yang harus dipersiapkan agar semua bisa menikmati?


Mengingat suami berprofesi sebagai seorang tenaga kesehatan yang hmmm,, akhir pekan pun sering sibuk, secara tidak langsung saya “dituntut” untuk banyak melakukan hal sendiri. Check in hotel sendiri, check out hotel sendiri. Menyiapkan renang anak sendiri, memandikan mereka semua sendiri.


Kadang-kadang sering terbesit kepikiran ideal banget ya orang-orang. Pergi liburan bareng, inap bareng, menyiapkan anak bareng-bareng. Pun, Setelah 8 tahun menikah, kami belum bisa kebanyakan keluarga lain yang merencanakan liburan jauh-jauh hari dan bisa mengambil cuti untuk mempersiapkan liburan tersebut. Suami tipe yang belum mendapatkan “privilege” untuk ambil cuti sana-sini. Maklum, 5 tahun menjadi seorang residen dan sisanya selepas lulus menjadi junior dengan status belum terlalu jelas. Di tahun ke-9 kami menikah suami terhitung sudah setahun resmi cpns, artinya (insya Allah) menjadi PNS. Bisa mengambil cuti berarti?


But anyway, semua tahap harus dinikmati, termasuk liburan mendadak dan waktu-waktu singkat di sela kerjaan suami.


Sebelum pengesahan PNS itu, maka liburan keluarga kami biasanya ya nempel dengan pekerjaan suami. Contohnya traveliving tahun 2018, atau saat ke Solo 3 hari karena suami tim medis Rugby, atau 4 hari di Bandung karena suami kongres. Sisanya staycation di dalam kota karena lagi-lagi kebetulan ada acaranya suami.


Salah satu yang dilakukan saat staycation di dalam kota adalah anak-anak berenang. Karena biasanya baru ketemu suami sore, jadi saya harus sendiri menemani anak berenang, mulai dari menyiapkan, mendampingi, dan memandikan.


Bagaimana tips sendiri berenang bersama anak tanpa mengurangi keseruan yang ada?


1. Set ekspektasi

Mengatur ekspektasi adalah hal yang pertama ditanamkan saat ingin sendiri berenang bersama anak. Menyiapkan ekspektasi bahwa kita tidak bisa asik drill berenang saat sendiri berenang bersama anak. Fungsi kita lebih ke menemani dan mengawasi mereka. Ini penting agar kita tidak kecewa saat tidak mendapatkan apa yang kita ingini saat sendiri berenang bersama anak.


2. Menyiapkan baju dan perlengkapan mandi anak

Saat berenang dimanapun itu, hampir tidak pernah saya dan anak-anak mandi di fasilitas kolam renang. Jangankan kolam hotel, si sulung yang les renang di kolam yang berjarak 5 km dari rumah kami saja hanya mengeringkan badan dan langsung masuk ke mobil untuk mandi di rumah.


Apalagi jika berenang di kolam fasilitas hotel, tinggal lari naik masuk ke kamar saja bukan? Nah, jangan sampai setelah selesai berenang dan masuk kamar hotel, kita pontang-panting mengambil baju anak dari koper dan mengambil sabun mandi mereka. Sudahlah semua dalam keadaan kedinginan, belum pula kita terbirit-birit membasahi koper dan lantai kamar karena harus mengambil perlengkapan mandi.


Saya menjejerkan baju anak dan baju saya sendiri lengkap sudah termasuk dalamannya bererta minyak dan lotion setelah mandi. Sabun dan sampo anak juga sudah tertata di kamar mandi berserta handuk mereka. Jadi, saat masuk kamar hotel saya langsung fokus memandikan 2 anak gadis paling kecil yang sekarang berusia 3,5 tahun dan 2 tahun. Setelah mereka selesai, saya tinggal menyuruh si sulung mandi sendiri sementara saya menyiapkan kedua adiknya pasca mandi. Biasaya si sulung selesai mandi bersamaan dengan adiknya yang telah rapi dan wangi, barulah bisa meninggalkan mereka di kasur untuk saya mandi.


3. Anak pakai pelampung dan awasi selalu

Sepenting itu tahap memakaikan pelampung pada anak, terutama kedua anak yang paling kecil. Selain meminimalisir terjadinya resiko kecelakaan kolam renang yang sangat berbahaya, penggunaan pelampung bagi anak saat sendiri berenang bersama anak akan sangat memudahkan kita.

Biasanya saya tinggal menggendong “ringan” mereka saja. Si sulung karena sudah mulai bisa berenang suka tidak pakai pelampung, apalagi jika ia bisa berdiri di kolam. Meski begitu, saya tetap penuh mengawasi mereka bertiga. Mengawasi 3 anak sekaligus dalam pengawasan penuh itu sulit, oleh karena itu penggunaan pelampung dapat meminimalisir risiko kecelakaan renang saat pandangan kita teralihkan ke anak yang lain atau sedang tidak fokus penuh.


Misalnya, baru saja kejadian si bungsu dalam kondisi tertelungkup wajahnya saat kami semua berada di kolam kecil. Meski hanya sekian detik perhatian saya teralihkan, ngeri membayangkan jika ia dalam keadaan tidak pakai pelampung dan tercemplung begitu saja menelan air dan megap-megap. Nauudzubillah mindzalik. Oh ya, kami biasanya sesekai berada di kolam anak-anak yang cetek dan sesekali berada di kolam dewasa. Jadi penting sekali anak memakai pelampung terutama saat mereka berada di kolam besar.


Have fun!

Last but not least, have fun! Meski kondisi tidak ideal, tetap harus penting bersenang-senang berenang sendiri bersama anak. Jangan sampai mutung kepikiran kesal kenapa suami tidak bisa ikut mendampingi haha. Nikmati saja momen kebersamaan bersama anak ini. Suami bukan sengaja menghilangkan diri kok, bapaknya anak-anak juga sebenarnya maunya ya berenang sama anak-anak, bukan menghilang untuk kerja, tapi qadarullah kan karena harus menunaikan kewajiban.


Bagaimana? Siap jika harus berenang sendiri bersama anak tanpa bantuan suami? Selamat bersenang-senang dan tetap perhatikan keselamatan anak di dalam air ya!

Pentingnya Menumbuhkan Growth Mindset bagi Anak

16 komentar
“Hasan gapapa? Santai aja, gapapa kok gagal, itu lumrah. Yang penting kita cari tahu kenapa kita gagal. Gagal itu biasa kok, malah itu sarana untuk menjadi lebih baik. Ada yang mau dibantu? Nanti coba ujian lagi ya!” Ujar saya saat mengetahui Hasan tidak lulus ujian kenaikan sabuk Taekwondo.
 
growth mindset bagi anak

Jujur saya agak syok, bagaimana mungkin bisa terjadi. Apalagi saat saya tahu bahwa ia adalah salah satu dari dua anak saja yang tidak lulus ujian kenaikan sabuk kuning dari puluhan anak lainnya. Ini tidak hanya ujian baginya. Ini menjadi ujian buat saya juga

Bagaimana cara saya menyikapi hal ini dibalik inner child saya yang pennuh ambisi? Bagaimana saya bisa tetap tenang? Bagaimana saya bisa menenangkan anak? Bagaimana saya bisa tetap membangkitkan semangat anak? Bagaimana saya bisa menerapkan growth mindset kepada anak?

Sejenak saya tarik napas dalam-dalam dan berpikir, ini lah saatnya menanamkan anak growth mindset. Pelan-pelan saya mendekatinya.

“Hasan, kecewa ya ga lulus ujian sabuk? Tidak apa-apa kok kecewa.” Percakapan pun saya mulai dari memvalidasi emosinya.

Setelah berbicara dalam kepada Hasan, ia pun kembali melangkah menuju Sabeomnimnya (guru Taekwondo) untuk melakukan ujian ulang sabuk. Alhamdulillah, akhirnya ia bisa melangkah ke sabuk kuning bersama teman-teman TK lainnya.

Sebenarnya apa sih itu growth mindset? Seberapa penting seorang anak memiliki growth mindset?

Mengenal Growth Mindset

growth mindset bagi anak

Konsep Growth mindset pertama kali dipopulerkan oleh Carol Dweck, seorang Psikologis dari Amerika dalam bukunya yang populer, Mindset. Growth mindset adalah pola pikir yang menganggap kegagalan adalah sebuah cara untuk terus maju. Faham growth mindset menganggap bahwa bakat dan kemampuan adalah hal yang terus berkembang jika terus diasah.

Kerap kali kita sering minder saat melihat orang lain yang kita anggap berbakat di bidang yang sedang ditekuninya. Kita merasa tidak dapat mengejar mereka karena memiliki suatu anugerah dari Tuhan yang tidak kita miliki sejak awal.

Padahal kenyataanya bukan seperti itu. Orang yang berbakat namun tidak memiliki pola pikir growth mindset akan kalah dengan orang yang “kurang” berbakat tetapi memiliki pola pikir growth mindset. Mereka percaya bahwa kemampuan akhir adalah perkawinan dari bakat, kegigihan, serta pengalaman yang ditempat bertahun-tahun.

Growth Mindset vs Fixed Mindset

growth mindset bagi anak
Sumber: Alterledger

Lawan dari Growth Mindset adalah Fixed Mindset. Fixed mindset percaya bahwa bakat adalah dan kemampuan adalah anugerah dan bawaan dari lahir. Mereka kerap merasa superior . Namun, kondisi ini bisa sangat rawan. Apabila seseorang memiliki fixed mindset dan di kemudian hari dia sedang di fase kegagalan, mereka bisa sangat down dan sulit untuk bangkit. Para pemilik fixed mindset akan merasa egonya terluka sebab kemampuan mereka menjadi diragukan.

Berbeda dengan orang yang memiliki growth mindset. Alih-alih patah semangat, mereka melihat kegagalan ini sebagai peluang untuk tumbuh. Mereka percaya kalau kecerdasan dan kemampuan bisa bertumbuh. Alih-alih patah semangat saat menghadapi kegagalan, mereka lebih  memilih untuk mempelajari kegagalan, mengambil umpan balik dan mengolahnya menjadi strategi untuk masa datang.

Dulu saya sempat sering berpikir, mengapa anak yang dinobatkan sebagai anak genius sejak usia dini biasanya tidak kedengaran lagi kabarnya saat mereka dewasa. Ternyata (ini praduga saya saja sih), mayoritas dari mereka dibesarkan dengan fixed mindset. Mereka terlalu terbuai dengan apresiasi masyarakat bahwa mereka adalah anak prodigy. Satu kegagalan saja membuat mereka mempertanyakan kejeniusan mereka. Tak jarang banyak anak prodigy yang lebih memilih menarik diri ketimbang melanjutkan bidang yang sedang mereka dalami.

Tentu kita tidak menginginkan anak kita tumbuh memiliki fixed mindset alih-alih menjadi growth mindset bukan?

Tumbuh dengan growth mindset bersama Biskuat Academy

growth mindset bagi anak

Prestasi tidak melulu soal prestasi akademik. Ada beberapa anak yang memiliki kecerdasan kinestetik sehingga ia sangat menonjol. Sayangnya, banyak orangtua yang belum teredukasi bahwa prestasi kinestetik adalah prestasi yang juga membanggakan dan patut dibina seserius mungkin.

Untuk membangun kepedulian ini, Biskuat mendorong pencapaian anak-anak Indonesia di bidang olahraga, terutama di sepak bola melalui Biskuat Academy. Biskuat percaya bahwa setiap anak unik dan masing-masing dari mereka memiliki potensi tak terbatas melebihi apa yang mereka lihat. Kekuatan sejati dan unik itu sesungguhnya terletak di dalam diri mereka sendiri.

growth mindset bagi anak

Tidak banyak produk kemasan yang peduli dengan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak Indonesia. Salah satunya Biskuat yang merupakan brand unggulan Mondelez International yang memiliki tujuan mulia menciptakan #GenerasiTiger agar anak tidak hanya berprestasi, tapi juga memiliki kekuatan baik dari dalam (inner strength) yang tercermin dari karakter positif anak.

Tentunya Biskuat Academy juga mendorong agar anak memiliki growth mindset untuk terus bertumbuh meskipun menghadapi rentetan kegagalan demi kegagalan.

Melalui Biskuat Academy, anak dapat mengembangkan potensi dari dalam untuk mencapai mimpi mereka menjadi pesepakbola handal. Mulai dari peningkatan kemampuan sepak bola dari pelatih berlisensi UEFA A sebagai persiapan menjadi pemain sepak bola profesional di masa depan hingga bertemu langsung pemain profesional dari Tim Nasional Sepak Bola Indonesia untnuk memotivasi mereka. Kini cita-cita untuk menjadi pemain sepak bola profesinoal bukan hanya mimpi!

growth mindset bagi anak

Tertarik? Jangan khawatir, Biskuat Academy terbuka secara umum untuk seluruh anak Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Cara ikutannya juga sangat mudah! Tinggal membeli Biskuat kemasan khusus dan mendaftarkannya melalui WA sehingga sah mengikuti Biskuat Academy. Jika kamu beruntung dan menang Grand Final, bukan tidak mungkin kamu ikut tur ke stadion bola di Eropa. Menarik bukan?

growth mindset bagi anak

Growth mindset pada anak yang didukung oleh sumber daya

Apapun kemampuan anak, kita sebagai orangtua tidak boleh mengerdilkan anak sama sekali. Terus dukung anak saat mereka memiliki kemampuan non-akademis. Didik dan tanamkan anak kepribadian growth mindset agar mereka selalu siap menerima tantangan dan kegagalan. Sedih saat gagal itu wajar, tapi harus segera bangkit dan menjadikan kegagalan itu sebuah pembelajaran.

Jika si kecil memiliki minat dan bakat yang besar di bidang olahraga terutama sepak bola, bisa segera mendaftarkan mereka ke Biskuat Academy.



Unleash their potential, you never know what gonna happen if they have growth mindset and work hard on what they love!

growth mindset bagi anak


“Artikel ini diikutsertakan pada lomba KEB X Biskuat Academy”





Saat Anak Mulai Terlihat "Matre"

15 komentar

 "Ma, Hasan suka naik mobilnya A karena luas dan bagus. Hasan ga suka naik mobil lama", ujar Hasan tiba-tiba, sembari membuat jantung saya berdetak lebih cepat.

"Mobil lama maksudnya?" Tanya saya memastikan sambil berharap yang saya pikirkan salah.

"Hasan ga suka naik mobil Jazz sama Livina (yang merupakan mobil kami)."

Tahun 2022 ini Hasan genap 7 tahun dan pertama kalinya menjadi murid SD. Saat memilih SD, salah satu parameter adalah biayanya mulai dari uang pangkal hingga SPP bulanan. Salah satu alasannya selain agar ekonomi keluarga kami tetap stabil, kami ingin lingkungan pergaulan Hasan tidak beda dengan ekonomi kami.

Ternyata lingkungan pergaulan Hasan sesuai dugaan kami. Relatif setara meski tetap ada yang "di atas".

Kebetulan beberapa minggu terakhir ini diberlakukan kebijakan "shuttle" oleh sekolah. Jalanan di depan sekolah Hasan kecil sehingga saat jam antar dan jemput sekolah terjadi penumpukan kendaraan tidak tanggung-tanggung. Sudahlah numpuk, macet pula! Sebagai ilustrasi, jarak dari rumah ke sekolah Hasan hanya 2,5 km, tapi saat menjemput saya harus berangkat setengah jam sebelumnya! Kurang lebih sampai ke rumah kembali bisa makan total waktu 1 jam. Tentu saja, kendaraan antri menumpuk di sepanjang jalan depan sekolah Hasan kontan mendulang protes dari warga.

Akhirnya salah satu skenario untuk mengurai kemacetan adalah diberlakukannya "shuttle mandiri", alias tiap kelas mengorganisir sendiri jadwal shuttle dari kerelaan para orang tua yang menggunakan mobil kapasitas besar untuk menjemput anak dengan jumlah banyak sekaligus. Nantinya dengan kesepakatan internal, para orangtua menetapkan dimana titik penjemputan anak dari mobil shuttle.

Tentu saja anak-anak bahagia karena bisa ramai-ramai gaduh dalam satu mobil. Bahkan sebagian anak mengeluh kenapa trayeknya pendek sekali sehingga mereka hanya bisa bersama dalam jangka waktu pendek.

Namun, bagi sebagian anak menjadi ajang merasakan mobil temannya yang lain, termasuk bagi Hasan.

Sontak saja pernyataan Hasan di atas membuat saya sangat terkejut. Bagaimana mungkin, Hasan terbiasa "proletar" sejak kecil karena ekonomi keluarga kami masih belum stabil. Saya sering sekali mengajak Hasan naik angkutan umum kesana-kemari. Intinya, semua jenis moda angkutan umum sudah dirasakan Hasan. Hotel dari kelas rakyat sampai mewah juga sudah pernah ia rasakan. Selain itu Hasan juga bukan tipe anak yang merengek meminta sesuatu untuk dibelikan. Sampai belakangan ini sering terdengar,

"Ma, mau beli kartu pokemon di PIM kayak E"

Bahkan bisa berujung bad mood hingga setengah jam ke depan.

Bukan berarti ia matre

Jujur, memang awalnya saya terkaget-kaget dengan sikap Hasan belakangan ini. Namun saya berusaha berpikir jernih dan merasa mungkin Hasan sedang melewati fase "ledakan emosi". Apalagi ia punya kecenderungan FOMO (Fear of Missing Out), maka semakin terdoronglah alam bawa sadarnya menuntut agar ia bisa menyamai apa yang dilakukan dan dimiliki teman-temannya.

"Ajari dia kalau kita bukan ATM, ajari dia buat menabung!", respon suami setelah mendengar keluhan saya.

Memang betul, ini adalah momen yang tepat untuk mengajarkan anak mengendalikan diri dan mengajarkannya untuk menabung. Tidak semua yang diingini harus didapatkan. Tidak semua yang orang lain miliki harus kita miliki.

Hasan sejujurnya juga belum terlalu khatam perihal uang. Dia bisa menghitung uang cuma konsep konkretnya tetap belum 100% terbayang di otak dia. Buktinya, pernah beberapa kali dia menggunakan uang dan tidak minta kembalian dari sisa uang yang harus didapatkannya.

Akhirnya kami berencana untuk memberinya uang jajan secara harian dengan jumlah yang relatif kecil. Mungkin 2000 atau 5000 rupiah, menunggu didiskusikan dahulu bersama suami. Ia boleh membelanjakan uangnya setelah terkumpul, tapi harus memastikan bahwa tetap ada uang yang disisihkan untuk ditabung. Mungkin saya menuntut agar maksimal hanya boleh membelanjakan setengah dari uang yang didapatkannya.

Dari memberikan uang jajan, saya berusaha untuk mengajarkan bagaimana untuk selalu bersyukur, menahan diri dari nafsu membelanjakan, menabung, hingga berhitung.

Benarkah Boks Bayi Perlengkapan Sia-sia?

20 komentar
“Salah satu barang perlengkapan bayi yang paling tidak ada gunanya: Box bayi. Sudahlah mahal, ujung-ujungnya malah jadi tempat tumpukan barang” kata sebuah postingan di Facebook.

boks bayi

Menjelang kelahiran bayi, para orangtua semakin disibukkan untuk menyiapkan peralatan si kecil mulai dari pakaian, mainan, stroller, hingga boks bayi. Para orangtua yang belum berpengalaman alias yang sedang menunggu kelahiran anak pertama biasanya kalut dan kemudian membeli semua peralatan dan perlengkapan bayi tanpa tahu urgensinya.

Yang penting beli dulu.

Tidak hanya membeli perlengkapan bayi, tapi juga turut membuat kamar bayi atau dalam bahasa gaulnya nursery room. Biar kayak orang-orang bule, ujar beberapa orang tua (di dalam hati).

Salah satu perlengkapan bayi yang dinilai banyak orang (terutama di Indonesia) yang paling sia-sia adalah box bayi. Benarkah boks bayi adalah perlengkapan bayi yang sia-sia?

Fungsi Boks bayi

boks bayi
Di beberapa negara barat, kehadiran box bayi termasuk penting. Misalnya cerita salah seorang teman yang lahir di Belanda. Beberapa bulan sebelum jadwal kelahiran biasanya ada semacam perwakilan yang mengecek ke rumah calon orang tua apakah rumah tersebut layak ditinggali oleh bayi. Salah satu parameter yang dicek adalah boks bayi.

Fungsi dari box bayi sesuai dari tujuan pembuatannya adalah menjaga keselamatan si bayi saat tertidur dari resiko terguling dari kasur. Bagi bayi-bayi kecil baru lahir mungkin terasa aman-aman saja jika menidurkan bayi di kasur karena toh mereka cenderung belum bisa terlalu bergerak. Namun, lambat laun kemampuan motorik bayi meningkat. Dari yang gerak uwel-uwel hingga berbalik badan.

Gerakan uwel-uwel bayi sudah cukup membuat mereka berpindah tempat dari tempat awal ditidurkan. Salah satu solusi yang dilakukan oleh banyak orangtua adalah menaruh bantal di sekeliling mereka saat sedang tidur. Solusi ini biasanya sukses sampai sang anak bisa membalik badannya di waktu yang tidak kita sangka-sangka. Bukan jarang sang anak bisa melewati bantal yang ditumpuk setelah mencapai kemampuan motorik kasar ini.

Setelah bayi semakin banyak bergerak, biasanya banyak orangtua yang memilih tidur di kasur tanpa dipan dengan harapan kalaupun si bayi “jatuh”, maka tidak akan menimbulkan cedera berarti. Beberapa orangtua juga memilih menempelkan kasur ke dinding dan memasang pagar kasur agar si kecil tidak jatuh saat berada di tempat tidur.

Fungsi sekunder boks bayi adalah sebagai tempat menaruh bayi agar sang bayi tidak menjangkau benda-benda berbahaya saat orangtua ingin melakukan hal lain di ruangan yang berbeda, misalnya masak.

Banyak yang mengklaim kehadiran boks bayi tidak sesuai tradisi parenting di Indonesia dan lebih cocok bagi teknik parenting orang-orang barat. Tapi apakah seperti itu?

Boks bayi bagi keluarga kami

boks bayi

Sebagian besar keluarga di Indonesia kontra terhadap penggunaan box bayi, alias sia-sia belaka dan hanya menjadi tempat menumpuk barang belaka. Tetapi tidak dengan keluarga saya.

Orang tua saya tidak menggunakan boks bayi saat saya kecil dahulu, tapi keluarga suami saya menggunakan untuk kelima anaknya. Kami pun diberikan boks bayi sejak dari anak pertama.

Anak pertama kami tidur di boks bayi sampai ia berusia 2 tahun dan kemudian dipindahkan ke kasurnya di kamar sendiri. Ia tidak selalu berada di boks bayi karena sering tengah malam menangis dan saya harus mengambilnya untuk disusui. Dari yang awalnya mengembalikannya ke boks bayi setelah menyusui, lama-lama saya mengetahui kalau si sulung ini menangis sebenarnya tidak butuh menyusui, tapi tersadar saat berada di fase melanjutkan siklus tidur dan ingin “kehangatan” agar ia bisa melanjutkan siklus tidurnya kembali. Alhasil, banyak setengah malam terakhir si sulung di habiskan di kasur kami.

Anak kedua kami tidur di boks bayi sampai usia 2 tahun lebih 1 bulan. Berbeda dibandingkan si sulung, kehadiran boks bayi bagi si tengah SANGAT VITAL. Si tengah tipe tidur yang teramat lasak (bergerak kesana kemari). Beberapa kali menaruh si tengah tidur malam di kasur kami dan berujung dengan ketidaknyamanan saya tidur karena berulang kali ia hampir jatuh.

Bahkan, saat sakit pun jika ia berada di kasur kami baik tidur saya dan tidur si tengah sama-sama tidak nyenyak. Kenyamanan si tengah untuk melanjutkan siklus tidur adalah bau saya ibunya, jadi asal ia dibekali daster kotor saya untuk dipeluk, maka bakalan nyenyak tidurnya. Itulah alasan kenapa bahkan saat si tengah sakit saya lebih memilih menaruhnya tidur di boks dengan bekal daster kotor saya. Tidurnya dan tidur saya sama-sama menjadi nyenyak. Bukan kah salah satu resep cepat sembuh adalah tidur yang cukup? Si tengah cepat sembuh dan saya meminimalisir ikut-ikutan sakit karena minim tidur.

Anak ketiga kami memiliki pola kurang lebih sama dengan si sulung, tipe haus “kehangatan” jadi ia sering terbangun tengah malam menangis dan minta menyusu sebagai bentuk minta “kehangatan”. Si bungsu tidur di boks bayi hanya sampai usia 22 bulan saja karena ia lebih senang didekap saat sebelum tidur.

Pro-kontra boks bayi

boks bayi

Boks bayi banyak tidak terpakai karena banyak orangtua yang lebih memilih menyusui si kecil sambil tiduran. Tentunya penggunaan boks bayi tidak akan efektif karena ngapain harus memindahkan si bayi lagi ke boks bayi dengan risiko terbangun padahal ia sudah jatuh tertidur di kasur orangtuanya. Bayi yang terbangun malam hari juga sesimpel disusui sambil tiduran juga, jelas lebih simpel ketimbang harus mengambil dari boks bayi, menyusuinya, dan mengembalikannya lagi ke boks bayi tetap dengan risiko bayi terbangun.

Salah satu yang menjadi alasan pokok saya lebih senang menggunakan boks bayi adalah karena saya tidak bisa menyusui sambil tiduran. Pernah sih saat jaman anak pertama, tapi kerap kali puting saya lecet. Ketimbang risiko puting lecet meningkat, saya lebih memilih menyusui duduk. Begitulah saya menyusui sampai di akhir menyusui anak ketiga ini.

Kontra boks bayi berikutnya adalah karena ada opsi lain mengurangi potensi cedera jatuh pada si kecil berupa penggunaan kasur tanpa dipan dan penggunaan pagar tempat tidur. Penggunaan kasur tanpa dipan bagi kami bukan lah opsi karena tidak ergonomis dan tidak ada ruangan lain untuk menyimpan headboard dan dipan. Pun, kami tetap tidak sreg jika harus menggunakan kasur dengan pagar.

Pro boks bayi lainnya bagi kami adalah untuk tempat menaruh anak saat saya sedang mandi atau pun masak. Mungkin bayi akan menangis meraung-raung saat saya tinggalkan sendirian di kamar, tapi itu adalah opsi yang lebih baik ketimbang potensi bahaya yang ia hadapi jika membiarkan ia tetap merangkak atau jalan di lantai dan menjangkau benda-benda berbahaya. Mungkin bayi yang sudah bisa berdiri memiliki potensi memanjat boks bayi dan keluar dengan potensi jatuh dari pagar boks bayi. Namun, potensi kemungkinan itu terjadi tetap lebih kecil ketimbang bahaya di luar boks bayi.

Boks bayi atau tidak?

boks bayi

Pada akhirnya, pilihan untuk menggunakan boks bayi atau tidak sama sekali adalah pilihan dari masing-masing orangtua dengan mempertimbangkan gaya hidup dan pola asuh yang diterapkan. Bagi keluarga saya sih kehadiran boks bayi penting dan tetap akan menggunakannya hingga kami memiliki bayi lagi nantinya. Bahkan, saya sampai meminjam boks bayi kedua dari teman karena selisih umur si tengah dan si bungsu hanya 19 tahun sehingga sama-sama membutuhkan boks bayi.

Abangku Guruku, Uniku Idolaku

16 komentar


“Tu, wa, tiga, epat, lima, ena, ujuh, lapaa, bilaaa, puluu,” ujar si bungsu yang belum genap dua tahun tempo lalu.

Sontak saya sedikit kaget, perasaan dulu si sulung dan si tengah belum bisa berhitung komplit sampai sepuluh di usia yang belum genap dua tahun. Jangankan berhitung, mereka mulai banyak ngomong saat usia mendekati dua tahun.

Tiap anak memang berbeda-beda. Meski berasal dari rahim yang sama, tapi kemampuan, bakat, dan sifat bisa berbeda-beda pula.

Si sulung dan si genap termasuk lama baru bisa ngomong. Pun, si tengah yang kini berusia 3,5 bulan masih kerap tidak mengucapkan sebuah kata lengkap dengan huruf matinnya. Misalnya makan masih maka dan minum menjadi minu.


Paket laki dan perempuan

Saya punya tiga anak: 1 laki-laki dan 2 perempuan. Baru si sulung saja yang laki-laki. Selisih si sulung dan si tengah 3,5 tahun lebih, selisih yang cukup lumayan termasuk perkembangan kemampuannya. Sementara, 2 anak perempuan saya berusia cukup dekat, hanya 1,5 tahun. Jenis kelamin yang sama dan jarak usia yang dekat membuat mereka sering main bersama dan memiliki rentang perkembangan dan kemampuan yang tidak jauh berbeda.

A kid imitates what her big sibling does.

One, two, three, four, five, six, seven, eight, nine, ten!” Teriak si tengah yang berusia 3,5 tahun.

Beruntung yang menjadi anak pertama si sulung yang istilahnya benar-benar wonder boy yang cocok menjadi proyek percontohan. Si sulung patuh, rapi, suka keteraturan, tidak manja, kuat, rajin membersihkan mainan, dan yang paling menarik dia senang mengajarkan sesuatu.

Termasuk mengajarkan adik-adiknya. Perlu saya akui, banyak kemampuan dini yang si tengah kuasai adalah berkat jasa si sulung. Adik bisa main puzzle, adik hapal al-fatihah, adik bisa berhitung dalam bahasa Inggris.

Hanya ada satu yang ia tidak meniru keteladanan si sulung. Adik manja dan malas membersihkan mainan haha.

Si sulung kini sudah sekolah, meninggalkan adik-adiknya berantam di rumah. Meski si sulung sekolah full day, tapi tetap masih bisa banyak ia ajarkan ke adik-adiknya. Selanjutnya, tentu saja si bungsu banyak belajar dari si genap.

Paket ganjil dan genap

Unik sekali, anak-anak saya kalau ingin dirangkun bisa disebut paket ganjil dan paket genap. Tentu istilah semacam ini tidak hadir begitu saja. Paket ganjil, yakni anak urutan ganjil (si sulung dan bungsu) memiliki fisik yang relatif sama meski berbeda jenis kelamin. Rambut lurus, kulit lebih coklat, muka bulat, hidung lebar, dan kelakuan pun sama teladannya. Sementara paket genap, yakni anak urutan genap (si tengah) memiliki fisik dan sifat berbeda signifikan. Rambut kribo, muka lonjong, kulit putih, dan kelakuan bak ratu.


“Minuuuuuuum” rengek si tengah sebagai kode ke saya minta diambilkan minum yang CUMA berjarak 10 cm.

Saya sih ogah ya melayani si kemanjaan si tengah haha. Namun, tiba-tiba tanpa disuruh ada si bayi mandiri turun dari kursinya dan mengambilkan minum si tengah komplit dengan mengantarkan langsung ke tangan si tengah.

Gawat banget kan ya.

Makanya saya sering bilang, si bungsu itu seperti si sulung cuma menjadi agak kurang mandiri karena suka meniru si tengah. Uniku idolaku menurutnya. Apa yang dilakukan Uni langsung mentah-mentah dilakukan, bagaikan yang dilakukan Uni adalah cara hidup yang benar di dunia haha.

Si tengah mau baca buku, si bungsu juga mau pegang buku. Si tengah menolak jalan keluar, si bungsu juga menolak padahal sudah diimingi buat mencari kucing yang merupakan hewan kesayangannya di jalanan komplek. Yang lucunya, si tengah punya kebiasaan aneh untuk tidur sambil memeluk daster kotor sore saya. Merasa itu adalah tindakan yang harus dicontoh, si bungsu pun merengek minta daster saya juga meski ia tidak faham kenikmatan apa yang didapatkan uninya oleh daster kotor itu hehe.

Karena jarak usia mereka dekat, maka perkembangan kemampuannya juga dekat. Makanya banyak ilmu-ilmu yang dimiliki si tengah sudah dimiliki si bungsu, seperti berhitung satu sampai sepuluh.

Kuartal akhir tahun ini juga saya bersama si tengah sesekali hilir mudik untuk survey calon TK untuk tahun depan. Tidak cuma si tengah yang berkeliling dan main, tapi si bungsu pun ikutan. Belum lagi kepribadian si bungsu yang sangat supel sehingga tanpa berpikir ia mau bergaul dengan orang yang baru dikenal.

Pentingnya anak pertama sebagai percontohan

Melihat perkembangan ketiga anak ini, sering terbersit di hati saya kalau saya sangat sangat bersyukur memiliki si sulung sebagai anak pertama. Ia merupakan tipe anak yang membuat orangtua ingin memiliki selusin anak. Tanpa disadari pun si sulung jadi sering memberikan pengaruh positif bagi adik-adiknya. Si sulung memeberikan contoh positif kepada si tengah, si tengah pun turut memberikan contoh positif ke si bungsu. Begitu pula seterusnya jika (insya Allah nanti) si bungsu punya adik lain.

Jika dulu saya sedikit menyesalkan kenapa jarak si sulung dan si tengah cukup jauh, maka kini saya agak bersyukur karena saya merasa banyak waktu bersama si sulung berdua saja dan kesempatan menanamkan nilai nilai kepribadian positifnya.

Cara Memilih TK Terbaik untuk Anak

19 komentar
Memasuki kuartal keempat tahun 2022, banyak para orangtua yang bingung bagaimana cara memilih TK terbaik untuk anak.

Bukan rahasia umum, banyak sekolah di Jabodetabek yang sudah membuka pendaftaran untuk tahun ajaran 2023/2024. Bahkan, ada juga yang sudah membuka gelombang pendaftaran pertama sejak Agustus 2022. Loh, baru awal tahun ajaran baru malah sudah buka pendaftaran tahun ajaran  berikutnya.

Not to mention beberapa sekolah yang sudah waiting list sejak anak masih dalam kandungan *ups* 😏.

cara memilih tk

Survei sekolah selalu menyenangkan, sekaligus memusingkan. Terakhir kali saya lakukan saat di penghujung tahun 2018, yakni survei TK si sulung untuk tahun ajaran 2019/2020. Sebenarnya si sulung tahun 2022 ini masuk SD sih, tapi anehnya kami malah tidak melakukan survei seperti TK haha. Kayaknya memang saya sudah mengincar SD si sulung sekarang sejak baru buka cabang Lebak Bulus. Pun, sepupu si sulung sudah ada yang sudah bersekolah di sana, jadi lebih mudah untuk bertanya langsung untuk mengetahui tentang pembelajaran di SD ini.

Untuk si tengah, saya menginginkan kriteria TK yang mirip dengan TK si sulung 3 tahun silam baik dari segi rentang harga, waktu sekolah, dan jarak rumah ke sekolah. SPP si sulung di bawah 1 juta, memiliki waktu sekolah pukul 07.30 hingga 11.00, dan jarak rumah ke sekolah kurang dari 3 km.

Loh, kenapa sekalian saja si tengah dimasukkan ke TK yang sama dengan si sulung? Tidak bisa bos, soalnya kini kami sudah pindah rumah, makanya saya pun harus mengulangi kembali survei TK.

Tidak ada sekolah yang sempurna, begitu pula TK sang buah hati. Pilih yang tidak sempurna tidak apa-apa. Kenapa? Simak dulu cara memilih TK terbaik untuk anak berikut inI!

1. Berada dalam rentang harga yang disanggupi

Jujur saja, rentang harga baik uang pangkal hingga SPP bulanan pasti menajdi kriteria pertama para orangtua sebelum menentukan sekolah mana saja yang masuk ke shortlisted berikutnya. Jelas, ini berkaitan dengan kemampuan ekonomi.

Serta gaya hidup anak (dan orangtuanya).

Dalam memilih sekolah anak pastikan mempertimbangkan komponen uang pangkal (termasuk seragam, aktifitas, dan sebagainya) serta uang SPP bulanan. Kadang-kadang ada sekolah yang uang pangkalnya murah, tapi SPP bulanannya besar banget. Ada juga yang SPP bulanannya tidak terlalu mahal, tapi uang pangkalnya tidak masuk akal. Ada, ada banget di salah satu TK yang saya survei.

Kadang ada yang tertipu dengan uang pangkal murah tapi SPP bulanan. Iya mampu bayar di awalnya, tapi tiap bulannya membuat perekonomian rumah tangga ketar-ketir. Beberapa tidak mempermasalahkan sekolah dengan uang pangkal mahal tapi SPP bulanan terjangkau. Toh hanya dibayarkan sekali di awal. Tapi bagi saya ini sesuatu karena merasa tidak adil saja, kok uang pangkal sekolah A besar banget, padahal fasilitasnya kurang lebih sama dengan sekolah lain dengan uang pangkal lebih rendah.

Malahan, saya pernah membaca sebuah ulasan yang menjelaskan baiknya SPP dan uang pangkal anak sepersekian gaji kedua orangtua. Kalau dipikir ini cukup masuk akal sih, selain tidak membuat perekonomian rumah tangga ketar-ketir, pergaulan anak dan antar orangtua anak juga biar lebih "sekufu".

2. Jarak rumah-sekolah dan kemacetan

Pengalaman punya anak yang jarak TK-nya dekat? ENAK BANGET!

Bagi saya, jarak TK WAJIB dekat. Soalnya rata-rata mereka cuma sekolah 3 hingga 4 jam saja. Males banget kan kalau punya anak tapi TKnya jauh. Berangkat sekolah harus lebih awal yang artinya anak harus bangun lebih awal pula. Tahu sendiri lah, mayoritas anak usia TK sulit untuk disiapkan pagi-pagi benar. Selesai ngantar, baru duduk bentar dan beberes 1,5 jam, eh harus berangkat lagi! Pulang sekolah juga bakalan lebih lama sampai rumahnya.

No to mention the gasoline you pay for the long journey.

Saat TK, si sulung masuk jam 7.30. Karena sekolah dekat, saya baru membangunkannya pukul 6.45. Kemudian saya mandikan dan temani sarapan. Jam 7.15 sudah berangkat. Biasanya saya sampai rumah kembali pukul 8 kurang karena lalu lintas mulai padat. Lumayan saya punya waktu bersih-bersih, masak, istirahat, dan mengurus si tengah yang masih bayi selama 2,5 jam. Jam 10.45 saya sudah berangkat lagi untuk menjemput si sulung. Jam setengah 12 biasanya sudah sampai rumah dan bisa istirahat sebentar sebelum makan siang.

Kalau sekarang mungkin saya akan lebih picky dalam memilih TK si tengah. Tidak hanya jarak maksimal sekitar 3 kilometer, tetapi arahnya sebisa mungkin menyesuaikan dengan si sulung. Beberapa sekolah yang tidak searah sama si sulung masih ada yang saya pertimbangkan, asal searah dengan rumah saya karena aya tidak harus membawa si tengah ikut serta saat mengantar si sulung. Jadi setelah mengantar si sulung, saya bisa menjemput si tengah di rumah dan langsung mengantarnya ke sekolah.

Saya bisa menitipkan si tengah ke ART dahulu di rumah. Lumayan kan ia bisa sarapan terlebih dahulu saat saya mengantar si sulung ke sekolah terlebih dahulu.

Tidak cuma itu, ada juga sekolah yang meski jaraknya dekat dengan rumah, tapi waktu tempuhnya bisa cukup lama karena terjebak kemacetan.

"Lalu lintas sekarang sudah ramai banget, makanya jam masuk TK A dan TK B dibedakan." Ujar salah seorang guru di salah satu TK yang saya survei.

Mungkin setelah menetapkan shortlisted terakhir, ada baiknya para orangtua menguji kemacetan terlebih dahulu dengan cara mensimulasikan antar sekolah anak di TK tersebut di waktu masuknya. Apakah kena macet saat mengantar dan pulangnya?

Kalau pulangnya kena macet, ya sama aja sih, baru duduk bentar harus berangkat jemput lagi. Kalau bagi saya sih jadi mengurangi pembobotan poin sekolah yang nantinya akan dipilih.

3. Jam sekolah

Cara memilih TK terbaik untuk anak ini juga berkaitan dengan kemacetan yang dihadapi serta ritme aktivitas yang akan disinkronisasi dengan pengantar.

Salah satu TK yang saya survei menyebutkan bahwa anak TK A masuk pukul 8.30. Langsung saya merasa sangat berkeberatan meski TK ini dekat dengan rumah dan lokasinya dekat dengan SD si sulung. Namun jam masuk yang agak ganjil ini sangat tidak sinkron sama jadwal tahsin saya yang 2 hari seminggu. Tidak hanya itu, kalaupun saya tidak ada aktivitas, saya menyelesaikan aktivitas antar anak bakal lama sekali, yakni dari jam 6.40 sampai jam 8.50!

4. Kekurangan yang masih bisa ditolerir

Sekolah A hampir sempurna tapi kurang di x.
Sekolah B hampir sempurna sayangnya dia tidak y.
Sekolah C suka banget, tapi dia tidak z.

Pada akhirnya memang tidak ada sekolah yang sempurna, selalu ada kurangnya. Tinggal kekurangan mana yang bisa kita toleransi.

Di keluarga kami, ada spesifikasi wajib dan ada spesifikasi opsional. Beberapa spesifikasi wajib adalah sekolah Islam, dalam rentang 3 km, dan biaya yang sesuai. Untuk spesifikasi opsional seperti jam masuk, fasilitas, dan metode pengajaran.

4 tahun lalu saat saya survei TK si sulung, saya sangat ingin si sulung masuk ke sebuah TK yang bagi saya sempurna sekali dari semua aspek, kecuali harga. Harga yang cukup mahal bagi kami ini cukup menjadi poin minus mengingat pada saat itu perekonomian kami juga belum stabil. Beberapa parameter yang unggul di mata saya namun pada akhirnya saya berdamai adalah sekolah sunnah dan hafal juz 30.

Pada akhirnya kedua parameter itu menjadi kekurangan yang masih bisa ditolerir jika saya mengambil sekolah lain tanpa program dan visi misi tersebut. Bagi kami, TK belum waktunya memamkan sumber daya anggaran besar, Anak pun masih banyak dalam pendidikan saya karena jam sekolah hanya 3.5 jam. Alhamdulillah, 2 tahun TK si sulung bisa membedakan mana doa pendek yang sesuai tuntunan sunnah dan bisa menjelaskan ke gurunya kalau diajarkan doa yang lain. Selain itu, alhamdulillah si sulung bisa tamat menghafalkan Juz 30 sebelum menyelesaikan TK B.


Berkaca dari pengalaman anak pertama, saya mengambil pembelajaran yang cukup bagaimana cara memilih TK terbaik untuk anak. Bagaimana meramu semua kriteria dan kemampuan dan mengkombinasikannya dengan pendidikan di rumah demi anak mendapatkan output yang terbaik.

Manfaat Jalan Kaki ke Sekolah bersama Anak

13 komentar
Meski jarak SD si sulung dari rumah kurang dari 3 km, saya rutin jalan kaki ke sekolah bersama anak. 

Tiap hari saya mengantarkan si sulung ke sekolah menggunakan mobil. Kadang-kadang banget sih babehnya antar, karena biasanya babehnya sudah sepedaan ke kantor sejak jam setengah 7. Terakhir babehnya mengantarkan si sulung saat dua adik gadisnya si sulung sakit dan ART saya pulang bulan lalu.

Lho, katanya antarnya naik mobil, kok tetap jalan kaki ke sekolah bersama anak?

manfaat jalan kaki

Begini, jarak sedekat itu kalau full menggunakan mobil harus spare waktu hampir 40 menit sebelum jam masuk supaya si sulung tidak telat masuk. Harus mengantri lampu merah simpang dan mengantri di jalan kecil depan sekolah si sulung lah yang menyebabkan waktu perjalanan sangat lama.

Tidak rela dong saya rumah dekat banget tapi butuh 40 menit mengantarkan sekolah. Beruntung saat awal-awal suami mengantarkan si sulung ke sekolah, ia menemukan jalur pintas ke sekolah supaya tidak usah repot-repot antri lampu merah dan antri di jalan kecil. Jadi, mobil cukup diparkirkan di lahan parkir depan depo gas dan bengkel di samping gang, kemudian kami jalan melewati gang rumah-rumah warga sejuah 300 m.

Kini kami bisa berangkat 20 menit sebelum jam masuk sekolah! Meski harus combo jalan kaki ke sekolah bersama anak, justru saya semangat menyambut pagi tiapi mau antar anak ke sekolah. Tidak kebayang jika saya harus menghabiskan 40 menit untuk mengantar si sulung sekolah 5 hari dalam seminggu. Sudahlah capek hati, habis bensin pula.

Ternyata ada beberapa manfaat jalan kaki ke sekolah bersama anak yang membuat saya bersemangat tiap Senin hingga Jumat meski harus bangun lebih pagi.

1. Menaikkan mood

manfaat jalan kaki
Saya tipe orang yang saat keluar rumah, inginnya sudah mandi. Dulu aja jaman kuliah pagi jam 7, saya rela mandi meski hanya 2 menit saat telat bangun pagi (dulu sehabis subuh suka tidur lagi ehehe). Ketimbang saya keluar rumah dalam keadaan pliket, muka berminyak, panas, tidak segar, dan hanya membungkus diri dengan jilbab dan jaket tambahan, mending saya maksa mandi meski kilat tapi dalam keadaan penampilan sudah siap beraktivitas.

Saat jalan kaki ke sekolah bersama anak pun membuat diri terpapar sinar matahari. Jalan kaki 600 m pulang-pergi artinya membuat saya melakukan aktifitas fisik ringan di tiap Senin dan Jumat.

Menurut buku Why We Sleep karangan Matthew Walker, langsung beraktifitas saat matahari terbit membuat tubuh memaksimalkan siklus sirkadian yang menandakan tingginya kewaspadaan. Terpapar matahari pagi juga menekan pelepasan melatonin dalam tubuh yang merupakan hormon tidur. Melatonin ini bisa terus dikeluarkan oleh tubuh saat dalam keadaan gelap. Makanya, Ikut jalan kaki bersama si sulung dibandingkan di rumah saja sangat berpengaruh untuk mood saya seharian itu.

Jalan kaki ke sekolah bersama anak pulang-pergi sejauh 600 meter menghabiskan waktu sekitar 10-15 menit tergantung jalan cepat atau jalan santai. Saya yang tipe introver pemikir ini tentu akan sangat memaksimalkan momen kesendirian ini karena saya bisa sendiri dan berpikir dengan tenang sembari menghirup udara segar di luar ruangan. Bagi saya kesendirian ini tiap harinya cukup penting mengingat saat pulang ke rumah saya relatif tidak memiliki waktu untuk pikiran sendiri karena harus berinteraksi sama 2 adik gadisnya si sulung.

Inilah manfaat jalan kaki ke sekolah bersama anak yang selalu saya rasakan tiap harinya.

2. Bonding

manfaat jalan kaki
Si sulung dan adik tertuanya berjarak 3,5 tahun lebih, artinya selama 3,5 tahun itu pula saya mudah melakukan bonding time degan si sulung, termasuk saat melakukan traveliving. Semua berubah saat adik kedua dan ketiganya lahir. Bisa dihitung, saya cukup jarang melakukan bonding time lama bersama si sulung saja tanpa terdistraksi adik-adiknya. Terakhir yang saya ingat adalah saat mengantarkan Hasan ke dokter kulit berdua saja 2 tahun lalu.

Meski si sulung sudah beranjak besar, tangki perhatian untuk si sulung harus diisi selalu. Kalau saya dapat berduaan dengan si sulung minimal 20 menit tiap 5 hari dalam semingu, why not? Selama di mobil kami bisa ngobrol tanpa terdistraksi adik-adiknya yang minta perhatian. Begitu juga saat jalan kaki ke sekolah bersama anak. Bahkan hal-hal remeh temeh pun bisa kita perbincangkan dan menjadi salah satu momen pergi sekolah.

Saat sampai di sekolah, saya juga bisa lebih proper mengantarnya di depan sekolah. Menyalami dan mencium pipinya. Rasanya beda jika saya melepas si sulung pergi sekolah di rumah saja.

Namun, kami tidak selalu berdua saja. Si tengah suka sudah bangun dan akan merengek untuk ikut mengantar abangnya. Dibanding bertengkar, mending saya boyong saja sekalian hehe. Lumayan, si tengah yang suka “manja” itu jadi terpaksa ikut jalan kaki 600 meter dan secara tidak langsung berjemur di bawah matahari sambil menghirup udara segar.

Coba kalau di rumah di ajak jalan keluar, pasti suka malas-malasan dia. Lumayan kan salah satu manfaat jalan kaki ke sekolah beserta si tengah juga termasuk melatihnya mampu jalan jauh. Mempersiapkan fisiknya saat travelling nanti.

3. Mengamati sekitar

manfaat jalan kaki

Ada banyak hal yang bisa diamati saat jalan kaki dibandingkan saat naik transportasi umum atau naik mobil pribadi. Saat naik kendaraan bermotor, kita begitu cepat melewati suatu area sehingga tidak sempat mengamati sekitar lebih detil. Itulah makanya saat travelling, saya sebisa mungkin menyempatkan jalan kaki di pinggir jalan demi mengamati hal-hal yang "tidak" terlihat.

Misalnya saat kami traveliving sebulan di Yogyakarta. Meski kami bawa mobil, kadang-kadang saya jalan-jalan bersama si sulung naik trasportasi umum yang pastinya harus disertai kombo berjalan kaki. Saat saya berjalan kaki di area Malioboro, saya bisa mengamati jenis manusia apa yang lalu lalang, arah tujuan manusia yang bersliweran, hubungan harga-waktu-pengunjung di Gudeg Mbah Lindhu, hingga menemukan hidden gem berupa kafe di gang semping Sosrowirjan.

Mengamati sekitar adalah manfaat jalan kaki yang selalu saya nikmati. Saat jalan kaki ke sekolah bersama anak pun saya bisa melihat denyut dan sendi kehidupan warga di sekitar sekolah si sulung. Mengetahui bahwa banyak guru sekolah si sulung yang ngekos di area tersebut. Ada juga adik-kakak yang sama-sama murid satu sekolah dan secara kebetulan sering kami lihat saat mereka berangkat sekolah.

Hal-hal lucu lainnya adalah ternyata area gang-gang pemukiman di sekitar sekolah si sulung sering dipakai untuk syuting. Belakangan saya baru tahu (lebih tepatnya akhirnya tahu karena ngintip hehe) bahwa itu adalah syuting sinetron “Tukang Ojeg Pengkolan”. Kami juga melewati kandang ayam yang terkadang ayamnya sudah bersliweran serta kandang yang berisi musang yang ditangkap warga dan sepertinya kemudian dipelihara.

Begitulah manfaat jalan kaki ke sekolah bersama anak yang benar-benar saya nikmati di tiap harinya. Alih-alih tertekan karena harus sudah bersiap sejak pagi, saya malah menyambut dengan sukacita karena bisa merasakan banyak hal dengan hanya jalan kaki ke sekolah mengiringi si sulung.


Mood yang stabil, bonding bersama anak, aktifitas fisik ringan, terpapar sinar matahari, hingga mengamati hal unik di sekitar. Hampir tidak ada deh alasan tidak senang ikut jalan kaki ke sekolah bersama anak :)

Ke Taman Literasi Menggunakan Transportasi Umum di Jakarta bersama 3 Anak

19 komentar
Meski keluarga kami memiliki mobil, berwisata dengan menggunakan transportasi umum adalah hobi saya. Lebih tepatnya saya menaruh renjana perihal transportasi umum terutama di Jakarta.

taman literasi

Jaman awal baru nikah, dengan senang hati saya menggunakan transportasi umum ke RSCM dari rumah kami di Lebak Bulus demi janjian ke PRJ setelah suami selesai bertugas sebagai seorang residen. Saya denga semangat mencari tahu alternatif transportasi umum menuju ke sana. Mulai dari angkot, bus kota, hingga Trans Jakarta semua dijajal.

Saat kami baru mempunyai satu anak, berpelesir menggunakan transportasi umum juga masih cukup mudah. Apalagi pada tahun 2018 kami kerap keluar kota traveliving . Mencari tahu berbagai rute  transportasi umum di luar kota juga dengan senang hati saya jabanin. Pun, anak pertama kami merupakan anak teladan yang sangat mudah diajak kemana-mana serta tidak rewel.

Pandemi pun tiba, tahu-tahu setelah pandemi usai anak kami sudah tiga orang. Saya dan anak-anak  biasanya jalan-jalan di dalam kota menggunakan mobil. Sampai suatu saat saya ingin mengajak anak-anak untuk mengunjungi Taman Literasi Martha Tiahahu di bilangan Blok M.

Blok M? Itu kan titik pertemuan transportasi umum. Kayaknya menarik nih kalau ke Taman Literasi naik transportasi umum!

Meski bersama 3 anak dan harus bawa satu kereta kembar. Bisakah?

Kegalauan sebelum menyusun rencana perjalanan

taman literasi

Sebenarnya, keinginan mengunjungi taman literasi bersama anak (-anak) menggunakan transportasi umum sudah saya utarakan kepada suami seminggu sebelumnya. Rencananya sih hari Jumat karena pada hari itu si sulung pulang cepat. Lebih cepat dari anak SD, pukul 9.40 hehe.

Namun kepastian rencana tidak muncul jua hingga h-1 perjalanan. Lebih tepatnya malam sebelum esoknya berangkat. Kenapa? Kok terkesan bimbang ya, padahal harusnya jalan-jalan dengan anak terlebih menggunakan transportasi umum harus direncanakan dengan matang.

Kegalauan 1: Berdua dengan sulung atau bawa semua anak

Karena tujuannya adalah taman literasi, sempat kepikiran saya cuma ingin berdua quality time bersama si sulung menggunakan transportasi umum di Jakarta. Saya merasa bawa anak tengah dan anak bungsu tidak akan terasa chill karena mereka tidak bisa berlama-lama santai dibacakan buku.

Pengennya sih sulung sama saya baca buku masing-masing. Keputusan awal sempat ingin berdua saja pergi. Lumayan sudah lama tidak berduaan saja dengan si sulung.

Ternyata menjelang hari perjalanan, keputusan berubah drastis karena ternyata si sulung libur di hari Jumat karena guru-guru persiapan pembagian rapor tengah semester. Rencana perjalanan pun berubah dengan membawa ketiga anak turut serta ke taman literasi menggunakan transportasi umum di Jakarta. Kita bisa berangkat lebih pagi sehingga perjalanan lebih terasa santai.

Kegalauan 2: Bawa stroller single apa kembar

taman literasi
Kegalauan berikutnya yang membuat saya condong tidak membawa anak tengah dan bungsu adalah perihal bawa stroller karena jarak usia keduanya hanya terpaut 1,5 tahun, yaitu 2 tahun 3,5 tahun.

Opsi pertama adalah hanya membawa stroller single. Namun itu artinya saya harus standby bawa baby carrier saat sang kakak capek berjalan atau ingin istirahat tidur.

Opsi kedua adalah membawa kereta kembar. Sebenarnya mobilitas paling enak membawa twin stroller alias kereta kembar samping-sampingan. Namun, ada 3 aspek yang saya khawatirkan: perjalanan di pinggir jalan, naik MRT, dan naik Trans Jakarta.

Naik MRT paling tidak perlu dikhawatirkan karena saya tahu persis ada akses lift naik turun peron sehingga memudahkan mobilisasi saat menggunakan stroller kembar.

Masalah berikutnya adalah perjalan di pinggir jalan. Saya skeptis benar dengan kondisi trotoar di Jakarta, sudah jelas tidak ramah pejalan kaki. Kalaupun ada, ukurannya pasti kecil dan tidak muat jika harus menggunakan twin stroller. Untuk mengevaluasinya, saya menggunakan fitur Google Map Street View untuk mengetahui kondisi trotoar. Alhamdulillah, sepanjang pemantauan, trotoar di bawah peron MRT Blok M lebar dan enak untuk mendorong stroller kembar. Pun, lokasi taman literasi benar-benar tepat disamping peron stasiun MRT Blok M.

Akhirnya saya berangsur-angsur yakin pada pilihan membawa stroller kembar karena menurut saya opsi itu paling dinamis dan membutuhkan tenaga tidak sebanyak jika harus (hampir) full menggendong si bungsu di gendongan.

Kegalauan 3: Naik Trans Jakarta atau tidak

taman literasi
Sumber: TransJakarta

Kegalauan ketiga yang berkaitan dengan kegalauan kedua, jika saya membawa twin stroller maka bagaimana saya naik-turun bus?

Saya tau persis ada bus Trans Jakarta jurusan Blok M - Pondok Labu. Dulunya itu merupakan Kopaja 64 yang sering saya gunakan beberapa tahun silam. Bus ini lah yang akan kami gunakan dalam perjalanan.

Tantangannya adalah bagaimana kami naik-turun bus Trans Jakarta dengan hambatan adanya 2 anak duduk di kereta kembar?

Saya tahu betul, tidak semua trayek Trans Jakarta yang naiknya menggunakan halte bus yang platformnya naik sehingga rata dengan pijakan di dalam bus. Untuk memastikan ketidakyakinan saya, maka saya kembali menggunakan Google Map dengan cara mencari tahu letak halte bus beserta trayek bus yang melewatinya. Tepat dugaan saya, jenis halte tersebut tidak tersedia di halte yang akan saya naiki, alias harus naik manual dari aspal jalanan.

Terbersit di benak saya untuk menurunkan anak-anak terlebih dahulu dari stroller dan kemudian mengangkat stroller dan menuntun anak-anak naik. Namun saya merasa skenario tersebut tidak mumpuno karena memakan waktu lama, ribet, dan mobilitas yang tidak baik. Anak-anak rawan tercecer!


Malam sebelum perjalanan, akhirnya saya membulatkan niat agar kami pulang pergi menggunakan MRT saja yang pasti lebih gampang naik-turunnya.

Menyusun rencana perjalanan


Asli, rencana perjalanan baru disusun malam sebelum perjalanan haha. All hail impulsivity!

Sembari menemani anak tidur, saya sibuk melihat Google Map untuk memastikan gambaran jalanan, menentukan lokasi pemberhentian halte MRT dan Trans Jakarta, hingga mencari tempat makan siang yang nyaman buat anak tapi dalam jangkauan jalan kaki dari taman literasi.


Akhirnya saya memutuskan untuk memarkir mobil di RS Setia Mitra Fatmawati, tempat suami saya praktik. Yuk, yang mau ke dokter Ortopedi bisa lho konsultasi sama suami tiap Senin dan Jumat sore atau Sabtu pagi (lha, promosi)!

taman literasi

Kemudian dari sana kami naik MRT melalui stasiun Cipete hingga Blok M. Karena waktu panjang, saya memutuskan untuk cuci mata di supermarket Papaya Blok M, kemudian ke taman literasi sembari menyusuri “Little Tokyo” Blok M. Jam makan siang, baru kami makan di Twin House yang terletak di seberang Taman Literasi dan sebelah tempat nongkrong kekinian MBLOC.

taman literasi

Meski memutuskan pulang naik MRT, tapi saya tetap membuat rencana (cadangan) impulsif naik Trans Jakarta dengan naik dari titik halte di depan persis Taman Literasi. Alih-alih berhenti di halte Ciremai yang berlokasi di depan RS Setia Mitra, saya memutuskan untuk berhenti di halte Stasiun Cipete karena akan lebih mudah menyeberang ke sisi RS Setia Mitra dengan menggunakan lift Stasiun Cipete.

Setelah mengkomunikasikan rencana ini ke suami, ia menolak (sebagian)!

“Kenapa harus mutar-mutar dulu ke Papaya sih? Kamu bawa anak-anak lho, standarnya harus dikurangi.”, keluh suami.

Suami cuma mengizinkan agar kami langsung menuju Taman Literasi, pergi makan siang, dan segera kembali.

Apakah perjalanan lancar sesuai yang direncanakan dan disiapkan?

Berwisatan ke Taman Literasi membawa 3 anak dengan menggunakan transportasi umum di Jakarta

taman literasi
Sesuai rencana, kami berangkat dari rumah jam 9 pagi. Jalanan lengang dan kebetulan mobil saya genap, jadi sesuai dengan tanggal genap karena harus melewati jalur ganjil genap Fatmawati. Parkiran mobil di RS Setia Mitra juga masih lengang sehingga saya dengan mudahnya memarkirkan mobil.

Setelah menaikkan dua anak di stroller kembar, saya mendorong stroller dengan si sulung mengiringi saya. Saya di sisi luar, sulung di sisi dalam. Pada awalnya, perjalanan mendorong stroller di trotoar cukup nyaman karena trotoar yang cukup lebar. Namun mendekati stasiun Cipete, trotoar mengecil dan banyak tiang-tiang sehingga beberapa kali saya harus turun dari trotoar dan mendorong stroller di jalur sepeda.

Alhamdulillah perjalanan aman dan kami mampir dulu ke Holland Bakery yang berlokasi di bawah stasiun Cipete untuk membeli roti bekal anak-anak. Lokasi lift Stasiun Cipete MRT berada di ujung utara sehingga kami harus ekstra jalan.

“Mau tujuan kemana bu? Mau jalan–jalan ya?”, tanya beberapa petugas di Stasiun Cipete dengan ramah. 
taman literasi

Mungkin karena melihat suasana kami mode pinik dengan 3 anak bersama. Hasan benar-benar membantu kesuksesan perjalanan. Selain dia mandiri tapping kartu sendiri, ia juga membantu menekan tombol lift dan menjaga adik-adiknya.

Salut sama petugas-petugas Stasiun MRT. Mereka ramah, informatif, bahkan petugas yang ada di peron membantu saya mendorong stroller kembar masuk ke MRT karena sempat seret. Kami pun turun di Stasiun Blok M yang hanya berjarak 3 stasiun dari Stasiun Cipete. Setelah tapping, ternyata tarifnya Rp 5.500 per-orang.

Setelah turun menggunakan lift, ternyata kami benar-benar berada di depan Taman Literasi! Benar kata suami, ini mah tidak usah ribet-ribet mutar ke Supermarket Papaya yang berlokasi di Selatan Taman Literasi. Kami pun segera mengeksplorasi Taman Literasi

Taman Literasi Martha Tiahahu

taman literasi

Taman Literasi Martha Tiahahu adalah taman lama yang direvitasliasi. Bentuk utamanya adalah Rotunda (bentuk melingkar) dimana sisinya dibagi menjadi 4 bilik utama. Di atas keempat bilik tersebut balkon yang bisa dinaiki, cocok untuk menikmati suasana. Di tengah Rotunda ada kolam dan panggung yang berpotensial diadakan banyak acara. Di luar Rotunda namun tetap di dalam komplek adalah area terbuka hijau dengan satu area mini dimana terdapat instalasi buat anak beserta mini wall-climbing.

taman literasi

Intinya, Taman Literasi Martha Tiahahu ini benar-benar ditujukan untuk membaca atau kegiatan serupa. Selain itu, relatif tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan.

taman literasi

Sayangnya, entah masih baru atau bagaimana, Taman Literasi ini masih kurang sponsor. Dari 4 bilik, hanya ada satu bilik aktif digunakan kegiatan membaca. Bilik kedua rencana digunakan lokasi co-working, bilik ketiga adalah bilik sponsor dengan hanya ada satu rak buku kecil, dan bilik keempat yang difungsikan sebagai sentra vaksinasi.

taman literasi
Bilik pertama: Lounge membaca

taman literasi
Bilik kedua: Coworking

taman literasi
Bilik ketiga: sepi sponsor
taman literasi
Bilik keempat: Sentra vaksinasi

Kami pun menghabiskan waktu di bilik membaca. Menurut saya, bilik ini nyaman sekali untuk membaca. Sepanjang dinding ada rak buku sampai langit-langit dengan koleksi buku yang lumayan buat dewasa dan anak-anak. Ada area lesehan dengan bean bag, meja-kursi dimana banyak bekerja menggunakan laptop, hingga beberapa jajaran sofa.

Si sulung mengambil buku Dinosaurus dan membacanya sambil minta saya menemaninya untuk berdiskusi. Satu buku ia lahap habis, sementara para 2 gadis asik main di bean bag setelah bosan baca buku dan menyusun balik.

Setelah selesai membaca buku, jam makan siang hampir tiba dan kami bergegas di Twin House sebelum kehabisan tempat.

Twin House

taman literasi

Ternyata hanya sesederhana menyeberang simpang V saja sudah sampai Twin House. Saya mendorong stroller kembar sembari menginstruksikan Hasan untuk memegang stroller saat menyeberang.

Twin House yang memiliki aksen interior kuning ini merupakan cabang dari Cipete. Meski areanya lebih kecil dari cabang Cipete, terdiri dari indoor dan outdoor. Meja indoor sedikit sekali dan saat kami datang semua meja indoor sudah direservasi kecuali satu area. Rejeki kami!

taman literasi

Saya memesan spaghetti carbonara untuk para gadis dan nasi ayam goreng madu untuk si sulung. Saya? Makan sisa makan mereka saja hehe. Selain untuk berhemat, saya lagi tidak ingin mengeluarkan uang untuk (terlalu) banyak makan karbohidrat.

Tidak ada makanan yang tidak enak! Si sulung senang sekali dengan makanannya sehingga ia menghabiskan satu piring padahal itu porsi dewasa. Ayam goreng yang sudah bersalut dengan saus madu sangat cocok dipadu dengan saus tartar dan bayam crispy. Begitu pula dengan spagettinya, saus creamynya top! Lembut, silky, dan umami. Proporsionalnya sempurna banget. Para gadis juga lahap sekali makannya.

Setelah makan, kami pun bergegas pulang karena si sulung sudah menagih (jatah) bermain tab di rumah 😅.

Perjalanan Pulang

taman literasi

Dari saat merencanakan perjalanan, 80% keputusan adalah kami pulang menggunakan MRT. Ternyata opsi yang saya pilih adalah sisa 20% itu.

Saat menyeberang kembali menuju Taman Literasi, tiba-tiba Bus Trans Jakarta lewat di halte pemberhentian.

"Hasan mau naik bus aja ga pulang?" Tanya saya pelan.
"Mau banget!" Pungkas Hasan.

Akhirnya kami pun menunggu di halte sambil otak saya berputar menyiasati bagaimana mengangkut stroller kembar dan para gadis di atasnya. Setelah 5 menit menunggu, bus Trans Jakarta jurusan Pondok Labu - Blok M datang.

taman literasi
Untungnya, ini adalah bus besar dengan pintu tengah lebar dan tidak ada tangga. Setelah pintu bus terbuka, tanpa tedeng aling-aling saya langsung mengangkat stroller kembar beserta 2 anak di atasnya.

Itulah ibu-ibu, pentingnya strength training supaya form benar saat mengangkat beban berat seperti ini haha 😁.

Kami duduk di kursi dengan tanda penumpang berkursi roda. Saya sempat celingukan mencari tahu dimana saya harus tapping kartu e-money. Ternyata ada di depan di samping supir! Setelah mengerem stroller dan berpesan ke sulung kalau saya mau nitip adik-adiknya, dengan lari kecil saya bergegas ke depan dan tapping 2 kali. Rp 3.500 saja per orang dari ujung blok M ke Pondok Labu, wow!

Alhamdulillah lalu lintas lancar, para gadis pun tertidur di stroller. Mendekati Stasiun Cipete, saya dan si sulung bersiap-siap turun. Karena sudah pernah menaikkan stroller kembar beserta anak-anaknya, pede donk saya menurunkan stroller.

Sampai saya turun dan melihat kondisi jalan....

taman literasi

Yak! trotoar di depan kami sempit dengan pembatas pagar terpampang nyata.
Taruh stroller di trotoar 👎
Taruh stroller di atas aspal jalan 👎

Akhirnya saya harus menggotong stroller kembar beserta dua anak tertidur di atasnya ekstra jalan 4 meter! Ada sisi cabang jalan sehingga saya bisa menaruh stroller di atas aspal.

Perjalanan setelahnya alhamdulillah gampang-gampang saja. Kami menyeberang jalan dengan cara naik lift via Stasiun Cipete, mendorong stroller kembali menuju mobil, memindahkan anak-anak ke mobil, dan voila, kami sampai di rumah.

Berhubung kami pulang setelah makan dan jam tidur siang para gadis, sepanjang perjalanan pulang saya bisa santai mengobrol bersama si sulung. Anak tengah bangun saat dipindahkan ke mobil sementara anak bungsu masih tidur kelelahan bahkan saat mobil sudah berhenti di garasi. Fyuh!

Apakah saya kapok?

Oh, tentu tidak! Soalnya seru banget hehe😁

Kebetulan saya memang tipe penyuka eksplorasi kota dan penggemar transportasi umum. Jalan sendiri, bersama satu anak, atau 3 anak sekaligus tetap menyenangkan. Meski terdengar repot, dari awal saya memang tidak ada kepikiran mengajak ART yang bekerja di rumah untuk turut serta dengan tujuan "ikut bantu-bantu". Entahlah, saya tipe penyendiri yang tidak ingin terlibat sosialisasi dengan orang selain keluarga saat santai dan ingin jalan-jalan seperti ini. 

Jalan-jalan bersama anak juga diperlukan kemampuan untuk bersikap taktis dan adaptif jika hal-hal di luar rencana terjadi. Harus bersikap apa saat stroller kembar tidak muat di trotoar. Harus bagaimana jika ternyata harus terpaksa mengangkat beban berat. Intinya, bersiap dengan kemungkinan tidak enak, hehe.

So kids, let's another story of travelling!