Tampilkan postingan dengan label Husna. Tampilkan semua postingan

Lahiran Anak ke-3, dari Tandem Menyusui sampai Lahiran Gratis di RSUD

28 komentar

Sabtu, 7 November 2020 pukul 16.02

Alih-alih liburan ringan ke tempat yang tidak terlalu jauh, saya malah mengalami pengalaman mendebarkan dan tidak terlupakan seumur hidup saya. Alih-alih tidur di kamar hotel, saya malah tidur di "barak".

Husna A R hadir di tengah kami tanpa terduga. Hadir 2-3 minggu lebih cepat dari dugaan saya dan suami. Rencana liburan pekan itu boleh gagal, namun Allah menghadirkan rencana lebih baik yang indah dikenang.

Lahiran gratis rsud


Pengalaman Baru

Kehamilan yang tidak terduga

Kami baru diberikan rejeki kehamilan Hasan setelah 8 bulan menikah. Saya hamil Bilqis setelah setahun lebih  berusaha meski kami tidak menggunakan KB sama sekali. Isakan demi isakan saya lalui tiap bulannya saat mengetahui saya menstruasi. Siapa yang menyangka kalau saya hamil lagi saat Bilqis berusia 1 tahun kurang? Berbeda dengan saya yang tidak pernah mengingat-ingat jadwal menstruasi saya, suami hampir selalu ingat sehingga kenyataan saya hamil cukup membuat ia terkejut. Berdasarkan hitungan dia, harusnya saya tidak hamil. Tapi kenyataanya berkata lain.


Punya anak jarak dekat

"Kenapa ya jarak Hasan (anak pertama) dan Bilqis (anak kedua) jauh. Kan kalau selisih umurnya sedikit enak bisa sekalian, sekalian capek." ujar saya


Saat Hasan lahir, saya dan suami memang berencana untuk memberikan Hasan adik dengan usia tidak jauh, sekitar 2 tahun. Pun, saya tidak menggunakan KB dan tidak berencana menunda kehamilan melihat rekam jejak sebelumnya dibutuhkan waktu cukup lumayan sebelum hamil Hasan.

Ternyata manusia hanya bisa berencana dan Allah-lah yang menentukan. Saya yang sebelum hamil Hasan memiliki siklus sangat teratur tiba-tiba kacau balau setelah mendapat haid paska melahirkan Hasan. Gejolak  hormon yang tidak tentu ditambah dengan menyusui membuat kami belum diberi rezeki hamil adiknya Hasan agar berjarak 2 tahun. Alhamdulilah, 2-3 bulan setelah Hasan lulus menyusui 2 tahun, saya diberi rezeki hamil adik Hasan. Betapa senang hati kami, akhirnya penantian kami terbayar. Yah, tidak mengapa selisih Hasan dan adiknya 3 tahun, meski terbersit rasa berat karena selisih 3 tahun artinya kami akan bayar uang pangkal sekolah Hasan dan adiknya secara bersamaan!

Qadarullah, dokter menyatakan janin tidak berkembang dan harus dikuret beberapa hari setelah diagnosa. Betapa mencelosnya hati saya. Rasanya dunia tidak adil. Sudahlah kami bukan tipe cepat mendapatkan momongan, kini harus dihadapkan dengan kenyataan abortus. Mana keadaan kami pada saat itu relatif pas-pasan. Biaya untuk kuretase cukup mahal namun tidak menghasilkan "apa-apa", alias tidak ada bayi. Rasanya kayak buang uang sia-sia.


Menyusui saat hamil

"Bisakah aku menyempurnakan penyusuan sampai 2 tahun?" ujar saya dalam hati.

Berangkat dari keinginan awal ingin memiliki anak dengan jarak usia 2 tahun, saya kerap berpikir apakah saya bisa menyusui saat hamil, atau bahasa populernya Nursing While Pregnant (NWP)? Kalau anak jarak usia 2 tahun otomatis sudah hamil meski masih dalam keadaan menyusui anak sebelumnya.

Apakah menyusui saat hamil berbahaya?

Dari hasil baca-baca dan mendengar pengalaman yang lain, menyusui saat hamil tidak berbahaya asal tidak membahayakan kehamilan dan asupan gizi masuk memadai. 

Saya baru tahu kalau saya hamil pada bulan April berdasarkan hasil testpack, kira-kira Bilqis berusia 1 tahun. Kami memang menginginkan menambah anak dalam kurun waktu tidak lama, tapi yah tidak secepat itu mengingat kami memiliki beberapa rencana ke depan yang terasa lebih baik apabila belum menambah anak lagi. Baik suami dan saya tidak ada yang menyangka.

Awalnya kami berencana untuk konsul di dokter kandungan langganan kami di Cibubur, namun karena yang bersangkutan tidak praktek dahulu dalam jangka waktu lama, akhirnya kami memutuskan untuk mengecek kehamilan di RS Islam Cempaka Putih yang berlokasi sangat dekat dengan apartemen kami. Mengingat tahun 2020 ini dunia sedang dikepung pandemi COVID, saya memutuskan untuk berangkat sendiri ke Rumah Sakit. Untung pada saat itu masih diberlakukan Work From Home (WFH) bagi suami, sehingga ia bisa menjaga anak-anak di apartemen.

Alhamdulillah, ternyata benar ditemukan kantung hamil. Kabar buruknya, terlihat gumpalan warna hitam di bagian bawah yang artinya ditemukan pendarahan pada rahim.

"Tapi selama ini tidak ada darah yang keluar, dok!", ujar saya tidak percaya.

Akhirnya dokter memberikan progesteron sebagai penguat kandungan. Saya pun mulai curiga, apakah akibat saya masih menyusui anak kedua saya. 

"Sebenarnya tidak juga.", jawab sang dokter.

Secercah kabar baik bagi saya. Pada saat itu saya agak sedih, masa harus secepat itu "berpisah" dengan anak kedua saya? Masa dia hanya menerima penyusuan setahun? Akhirnya di dalam hati saya mencoba mengambil jalan tengah, tetap menyusui tapi mengurangi frekuensi menyusui, hanya 2 kali saja yaitu saat menjelang tidur siang dan tidur malam dengan harapan tidak melukai janin.

Sebulan kemudian, saya kembali kontrol. Alhamdulillah, pendarahan sudah tidak terlihat lagi di USG. Rasanya lebih tenang hamil sembari menyusui Bilqis. Kontraksi? Tidak. Mungkin sedikit lebih menantang saat usia kehamilan bertambah besar karena harus memposisikan Bilqis sedemikian rupa agar tidak menindih perut saya.

Ujian NWP juga terjadi saat trimester tiga. Entah mengapa, puting terasa lebih sensitif sehingga terasa nyeri tiap Bilqis menyusui. Mana Bilqis tipe menyusui seenaknya, alias banyak gaya. Benar-benar bikin saya harus memposisikan Bilqis sedemikian rupa agar rasa nyeri tidak semakin menjadi-jadi.

Menyusui tandem

"Gimana ya rasanya menyusui tandem? pasti enak deh, 2 anak nyusuinnya ga genap 4 tahun" pikir saya bertahun-tahun lalu.

Husna lahir saat Bilqis berusia 19 bulan. Itu artinya saya harus melakukan penyusuan tandem!

Saya memiliki sejarah dua kali sulit menyusui. Beberapa alasan saya kenapa ingin menyusui tandem adalah memudahkan si adik untuk menyusui (karena bentuk puting akan lebih memudahkan) dan menyelesaikan berbagai permasalahan awal menyusui seperti payudara bengkak, breast engorgement bahkan mastitis lebih cepat!

Pengalaman pertama menyusui tandem baru saya alami saat Husna berumur 4 hari. H+1 kami mengeluarkan diri secara "paksa" dari rumah sakit. H+2 hingga H+4 Husna harus mendapatkan terapi sinar.

Saya membawa Husna ke dokter anak pada H+2 kelahiran karena ingin minta dilakukan screening awal dan vaksin hepatitis B yang tidak diberikan oleh RSUD saat kelahiran. Ternyata bilirubin Husna tinggi, nilainya 22! Akhirnya Husna harus disinar selama 2 hari. Berbekal pengalaman Bilqis yang bingung puting karena murni 24 jam menggunakan ASIP dot, saya memutuskan memberi ASIP baik secara langsung maupun dot saat Husna disinar. Untuk memudahkan itu, saya meminta izin untuk menginap di Rumah Sakit.

Saya dan Husna pulang pada H+4 sorenya. Entah kangen atau bagaimana, Bilqis langsung "buka puasa" dan langsung menyusui saat saya pulang ke rumah 😝.

Maka dimulailah antrian menyusui terjadi setiap harinya. Berhubung Husna masih bayi baru dan Bilqis masih terlalu kecil untuk mengerti perkara kecemburuan, saya tidak pernah menyusui sekaligus dua-duanya. Selain saya tidak bisa mengangkut Husna satu tangan, menyusui Bilqis beriringan malah bikin Bilqis mendorong dan menggencet Husna. Jadi pilihan yang saya ambil adalah "nomor antrian menyusui".

Opsi ini ada plus minusnya. Sisi baiknya Bilqis jadi tidak dorong-dorong adeknya saat menyusui. Sejak hamil Husna, Bilqis cuma menyusui sebelum tidur saja, jadi 2-3x sehari. Nah, tiap mau mendekati waktu tidur lah prahara terjadi. Saya selalu memprioritaskan menyusui Husna dahulu karena sekali ia lapar, relatif tidak ada opsi untuk menenangkan. Sementara Bilqis bisa minta tolong Hasan untuk ajak dia main. Atau, dengan cara memberikannya baju kotor saya dan kemudian ia luntang-lantung di kasur menunggu gilirannya haha. Setelah Husna tidur, saya pergi ke kamar anak-anak untuk menyusui Bilqis sampai ia tertidur dan menyuruh Hasan tidur menemani adiknya.

Sekarang Bilqis berusia 21 bulan, bismillah menggenapkan penyusuan Bilqis sampai 2 tahun!

Labour on the run

lahiran gratis rsud

telah lahir anak kami yang bernama x di RSUD y

itu adalah kira-kira pesan di sebuah WAG yang saya ikuti. Loh, dia kan orang Jakarta, kok lahiran di RSUD di sesuatu daerah Jawa. Ternyata si teman lahir saat hendak keluar kota.

"waduh gimana itu ya rasanya. Tidak terencana, malah bisa jadi ga siap bawa perlengkapan lahir", pikir saya saat itu.

Sangat tidak disangka, ini terjadi kepada saya!

Berdasarkan perhitungan kasar, kira-kira saya akan melahirkan pada pertengahan atau akhir November 2020. Saat usia kehamilan 36-38 minggu. Kami diajak berlibur di daerah Rancamaya saat perkiraan usia kehamilan 36-37. Ah, dua anak sebelumnya juga baru melahirkan di usia kehamilan 39, santai lah . Kami pun menyanggupi ajakan tersebut. Malam sebelum keberangkatan, pikiran saya sedikit masygul. Kok perut saya tidak enak sekali. Rahim berkali-kali kontraksi. Tidak sakit sih, cuma karena terus menerus membuat saya merasa tidak nyaman.

"Aku capek yang malam ini. Kontraksinya kayak terus-terusan.", ujar saya kepada suami.

Sembari menyiapkan koper untuk esok harinya, saya berdoa di dalam hati. Ya Allah, aku ingin sekali liburan. Plis ya bisa liburan dengan tenang. Di sisi lain saya agak yakin ini cuma kontraksi palsu namun terus-menerus. Pasalnya, salah seorang teman pernah mengalami ini di kehamilan keduanya. Saat dicek ke Rumah Sakit malah tidak ada bukaan sama sekali. Ia baru melahirkan bulan berikutnya. Ah mungkin kasus kami sama.

Tapi ternyata saya salah dan doa saya tidak dikabulkan Allah.

Dalam perjalanan menuju Rancamaya, saya mulai intensif memperhatikan frekuensi kontraksi rahim. Sangat frekuentif dan teratur. Hati saya semakin masygul. Setelah hampir setengah jam rentetan kontraksi teratur, akhirnya kontraksi tidak seintens itu frekuensi. Fyuh, saya bisa bernapas agak lega.

Yakin, meski doa saya tidak dikabulkan, ini adalah jalan terbaik dari Allah.

Saat saya bersantai di playground indoor hotel, hati saya kembali kalut. Sembari memesan makanan siang melalui aplikasi Gojek, saya merasakan perut saya yang kembali mengeras secara rutin. Tapi ah, saya abaikan saja.

Kami kembali ke kamar setelah mengambil pesanan makanan dan memberi anak-anak makan siang di kamar. Bilqis sempat agak rewel sehingga saya harus beberapa kali menggendongnya. Tiba-tiba saya merasa perasaan ingin kencing besar saat menggendong Bilqis. Tunggang langgang saya ke kamar mandi. Dengan hati yang tidak karuan, saya intip air wc sebelum saya siram.

Ah benar saja, air berwarna merah!

Saya segera lapor ke suami. 

"Oke, ayo kita berangkat!" ujar suami sembari melihat gawai untuk mengecek rumah sakit terdekat. Sebenarnya suami juga agak kalut meski raut wajahnya sangat tenang.

Lantas bagaimana dengan nasib anak-anak?

Sebenarnya kami tidak liburan sendiri, akan ada mertua beserta adik-adik suami serta satu adik suami lainnya bersama keluarganya. Tapi pada saat itu baru kami yang sampai Rancamaya. Anak-anak pun terpaksa kami boyong ke RSUD Ciawi, satu-satunya  Rumah Sakit terdekat dari Rancamaya.

"Kamu ga apa-apa kan ngurus sendiri? Aku harus nungguin anak-anak." Tanya suami masygul.
"Gapapa, tungguin aja anak-anak. Aku ga masalah ngurus sendiri dulu."

Akhirnya suami menunggui anak-anak sampai nanti salah satu adiknya sampai dan menjemput anak-anak. Saya sendiri ke IGD untuk mengecek bukaan. Waktu itu jam 2 sore.

"Kata susternya udah bukaan 3, terus katanya karena ini RS rujukan COVID mau lanjut disini ga. Soalnya mesti rapid test sama ronsen dulu." tanya saya kepada suami melalui  Telegram.

Karena sudah bukaan 3 dan melihat rekam jejak melahirkan saya sebelumnya, suami tidak berani ambil risiko memindahkan saya ke rumah sakit lain. Dalam hati pun berat rasanya jika harus pindah rumah sakit. Jalanan sangat macet di depan RSUD Ciawi, kira-kira bisa dibutuhkan 45 menit untuk menuju Rumah sakit langganan saya yang berada di Cibubur, Bekasi. Tidak cuma itu, saya ingat bahwa harus dilakukan dahulu prosedur swab PCR sebelum diurus proses lahiran. Hah, jangan-jangan sampai sama sudah bukaan 7 atau 8, kemudian harus melewati prosedur melelahkan lainnya? Jujur saya tidak kuat membayangkannya.

Setelah suami memberikan persetujuan kepada suster untuk melanjutkan prosedur melahirkan, saya segera diarahkan untuk mengurus pendaftaran awal pasien di kasir yang berada di pintu masuk IGD dari sisi luar. Untung saja tidak rame dan saya bisa langsung dilayani.

Proses lahiran (hampir sendiri)

lahiran gratis rsud


"Tolong pak, saya mau lahiran. Susternya bilang slip merah (didahulukan). Tolong diurus cepat ya!" Pinta saya.

"Ibunya sendirian saja?" Tanya petugas keheranan.

"Iya mas, suami saya lagi nungguin anak-anak di mobil. Nunggu ada saudara yang bisa ambil anak-anak."

Petugas resepsionis langsung menyerahkan formulir untuk diisi dan meminta KTP serta kartu BPJS saya. Meski kami semua terdaftar BPJS Kesehatan, tapi kami tak pernah memakainya. Praktis saya tidak pernah membawanya, tersimpan rapi di rak lemari kamar.

"Ini pak, saya ada kartu BPJS tapi saya tidak bawa. Nanti menyusul ya!" Ujar saya sembari menyodorkan KTP.

Saya langsung membuka gawai untuk mengabarkan suami soal BPJS ini. Ternyata suami sudah mengirimkan soft copy BPJS saya. Luar biasa inisiatifnya suami. Saya segera menyodorkan gawai dengan gambar pindaian kartu BPJS saya kepada petugas. Tidak lama kemudian, urusan administrasi awal selesai dan saya langsung menuju ke IGD Ponek (bagian kebidanan).

Saya disuruh berbaring oleh suster karena mau diambil darah untuk rapid test. Tidak lama kemudian suami video call untuk memastikan saya baik-baik saja. Pas sekali, adik suami sudah tiba di RSUD dan bisa mengambil anak-anak untuk dititipkan sementara waktu. Tidak lama kemudian suami sudah berada di ruang IGD.

Suster mengisyaratkan bahwa dia hendak memasang infus ke tangan saya. Sontak saya kaget, buat apa. Lahiran anak pertama baru dipasang saluran infus karena bukaan 8 saya kurang bagus, jadi saluran infus sebagai selang masuk cairan induksi. Sementara lahiran anak kedua, saya tidak menggunakan infus sama sekali karena kelahiran Bilqis begitu mengagetkan membuat bahkan suster bidan di ruangan pun kalang kabut.

"Mau disiapin buat induksi Pak, Bu. Biar cepat lahirannya" ujar perawat.

Lah, buat apa. Suami menjelaskan histori kelahiran sebelumnya yang cenderung cepat prosesnya. Walaupun kalau proses bukaan tidak bagus, keputusan induksi bisa diputuskan nanti. Terlalu prematur keputusan melakukan induksi sekarang. Kami kompak menolak. Namun akhirnya karena malas berdebat, tangan saya tetap dipasangkan infus yang katanya untuk pemberian nutrisi. Ya sudahlah. Rugi menghabiskan energi disini.

"Pak, bisa isi ini, ini dan ini ga. Terus ini saya tulisin perlengkapan buat ibu dan bayinya. Bisa dibeli sekitar sini." Pesan perawat.

Yhaa,, suami baru datang sudah disuruh pergi lagi buat "belanja" haha. Yak betul, saya sendiri lagi. Tidak lama kemudian saya dibawa oleh suster menggunakan kursi roda untuk foto ronsen. Tidak jauh, tapi lumayan memakan waktu karena harus menunggu sampai peralatan siap. Selesai ronsen, saya kembali lagi ke IGD dengan rasa dan frekuensi kontraksi  yang semakin intens.

Lahiran pertama saya hanya tergeletak di kasur rumah sakit semenjak datang pada bukaan 3.

Lahiran kedua saya sudah lebih banyak membaca sebelumnya, jadi saya memutuskan berjalan-jalan di ruangan saat rasa sakit kontraksi mulai mengganggu. Bukaan 5 atau 6 mungkin?

Lahiran ketiga saya berencana mempraktekkan gerakan-gerakan yang saya ketahui saat mengikuti zoom prenatal excercise. Gerakan tersebut seperti jongkok atau prenatal flow lainnya. Tapi rencana hanya tinggal rencana.

"Sus, saya boleh minta tolong tangga (yang buat turun dari kasur) dipindahkan ke sebelah kiri ga?" pinta saya memelas.

Infus di tangan kiri, tangga di sebelah kanan kasur. Kalau saya turun otomatis infus tertarik kan? Makanya saya meminta tangga dipindahkan ke sisi lain.

Permintaan pertama saya diabaikan. Saya ulang lagi permintaan tersebut untuk kedua kalinya dengan suara agak keras dan setengah memaksa. Akhirnya baru permintaan saya dilakukan, meski menunggu 5 menit dahulu semenjak saya utarakan untuk kedua kalinya.

Ah, saya sudah keburu malas buat turun. Rasa kontraksi semakin menggangu. Saya berpegangan erat pada tiang infus sembari konsentrasi melakukan hirup-hembus nafas untuk meredakan rasa sakit kontraksi. Di kasur sebelah saya ada ibu lainnya yang sedang hamil. Total perawat ada 3 orang. Selain yang berada di belakang meja, 2 perawat lainnya sedang melayani ibu tersebut.

"Sus, ini kok rasanya udah dibawah banget ya. Bi..sa.. tolong... cek ga?" ujar saya sedikit terengah-engah.

Satu perawat yang sedang mengurus di ranjang sebelah saya menghampiri dan mengecek bukaan saya. Sudah bukaan 8 ternyata.

"Yak! hasil tes negatif, segera bawa ke ruang melahirkan!" tandas perawat yang berada di belakang meja.

Kemaluan saya rasanya sudah berat sekali, seperti ada yang hendak keluar. Saya meminta agar lahiran di ruang IGD saja. Dengan rasa sedemikian rupa, tak kuat membayangkannya jika sang bayi keluar di kursi roda. Tapi perawat bersikeras. Saya turun sendiri (iya tidak dibantu! haha) dari kasur dan diarahkan ke kursi roda. Tas saya pun disuruh pegang sendiri. Untung salah satu perawat mau dimintai tolong pegang setelah saya minta. Tergopoh-gopoh kursi roda saya didorong menelusuri koridor. Saya sembari berdoa saat menunggu pintu lift terbuka. 
"Untung ga lahiran di Ponek, bisa repot kita!" Terdengar sayup-sayup percakapan para perawat

Akhirnya sampai juga di ruang bersalin. Pintu kaca dibuka, terlihat koridor ruangan bersalin dengan stasiun perawat di sebelah kanan. Saya segera masuk ke bangsal yang berjejer 2 baris dengan tiap baris terdiri dari 3 kasur. Terdengar sayup-sayup suara suami dari ujung koridor. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa bersama suami lagi. Namun suami tidak langsung bisa bersama saya. Tampaknya dia harus mengurus sesuatu dulu di satsiun perawat.

Lagi-lagi saya harus turun kursi roda dan naik ke atas kasur sembari memegang botol infus. Dengan sedikit agak mengeluh, saya setengah membanting botol infus ke atas kasur. Saya tidak bisa berfikir, rasanya berat harus melakukan rentetan yang seharusnya ringan itu dalam keadaan kepala bayi akan keluar beberapa menit lagi. 

"Ya kalau lahiran di Rumah sakit harus begini. Kalau mau lahiran enak ya di bidan." Sungut seorang perawat, jelas terdengar di telinga saya.

Ehem,, 2 kali lahiran sebelumnya di Rumah Sakit kok, tapi ya jauh sekali dari begini.

Akhirnya saya dapat rebahan kembali di kasur. Tampak suami di pintu bangsal masuk. Alhamdulillah suami dapat menemani saya.

Setelah satu kontraksi di kasur, bidan memberi aba-aba bahwa bukaan sudah lengkap dan saya bisa mengejan. Saya genggam erat tangan suami. Ejanan pertama, belum keluar. Ejanan kedua, terasa sedikit perih di bagian kemaluan dan keluarlah Husna pada pukul 16.00 diiringi dengan suara hujan lebat dari luar. Saya menarik nafas lega.

Tinggal satu tahapan lagi. Jahitan. Proses jahitan bagi saya adalah penutup yang sebenarnya bersifat anti klimaks jika dibandingkan dengan proses lahiran. Suami saya disuruh suster untuk segera mengurus proses administrasi rawat inap. Namun, saya meminta suami untuk bersama saya sebentar lagi, setidaknya sampai disuntikkan anastesi sebelum dijahit. Meski luka robek tidak besar, tetap keinginan saya untuk melahirkan tanpa jahitan belum terealisasi sampai lahiran anak ketiga. Mungkin nanti lahiran anak keempat? Insya Allah.

Husna diambil oleh perawat untuk dievaluasi di ruangan yang sama. Ditimbang dan diukur serta diteteskan polio. Husna lahir dengan berat badan 2,8 kg dan tinggi badan 48 cm. Dibandingkan kakak-kakaknya, Husna termasuk paling kecil dan lahir saat usia kehamilan paling muda. Hasan lahir saat usia kehamilan 39 minggu dengan BB 3,45 kg dan TB 50 cm. Bilqis lahir saat usia kehamilan 39 minggu dengan BB 3,05 kg dan TB 49 cm.

Setelah suami pergi, saya melalui proses penjahitan sendiri. Dari ketiga jahitan, entah kenapa proses jahitan kali ini paling tidak enak. Paling lama dan paling menggangu. Bahkan saat saya cebok setelah buang air kecil, terasa aneh sekali tutupan jahitannya.

Beberapa bulan lalu saya mengobrol dengan seorang teman yang berdomisili di Jepang mengenai kelahiran di masa pandemi. Ia bercerita bahwa ia melakukan semuanya sendiri mulai dari berangkat ke Rumah Sakit hingga pulang dari Rumah Sakit. Ia baru bertemu suami dan anak sulungnya pada saat menjemput dirinya yang telah selesai menghabiskan 5 malam di Rumah Sakit. Saya benar-benar tidak habis pikir, entah bagaimana rasanya melalui semuanya sendirian.

Ternyata saya (hampir) merasakan yang dirasakan teman. Melahirkan (hampir) sendiri.

Pulang dari rumah sakit kurang dari 24 jam

lahiran gratis rsud


"Kamu pasti mutung ya, kesannya kok aku tega banget biarin di ruangan kelas 3 RSUD?" Tanya suami setelah kita keluar dari Rumah Sakit keesokan paginya.

Setelah proses penjahitan selesai, Husna diantarkan dan ditaruh ke dada saya untuk IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Cukup lama Husna berada di dada saya, hampir setengah jam mungkin? Entah karena apakah IMD selama itu atau memang saya dianggurkan karena perawat entah mengurus apa di luar sana 😑. Setelah sekian lama, akhirnya perawat datang untuk memakaikan baju serta membedong Husna.

"Baju dedeknya mana ya bu?" Tanya perawat.
"Saya disini lahiran mendadak sus, benar-benar ga bawa apa-apa. Tadi suami saya udah keliling apotik di sekitar sini juga ga ketemu yang jual baju bayi, cuma ada pampers. Tolong sus, ada ga bedong sama baju satu aja stok dari sini? Nanti saya beli juga gapapa." Pinta saya memelas.

Padahal saya sudah meminta dengan keinginan serupa saat masih menahan kontraksi bukaan di Ponek. Mereka bersikukuh kalau Rumah Sakit tidak menyediakan pakaian bayi. Alhamdulilah Husna dipakaikan sepotong baju dan bedong dari Rumah Sakit. Lega saya melihatnya, anakku bisa berpakaian dengan layak. Setelah selesai dipakaikan, Husna diletakkan di bed bayi yang berada disamping saya. Perawat pun meninggalkan saya. Akhirnya saya dapat berbaring dengan lega seraya menatap Husna yang sedang tertidur dengan pandangan teduh. Kulitnya agak gelap seperti Hasan, bentuk mukanya bulat dengan secuil pipi menyembul. Hidungnya mancung seperti kakak-kakaknya yang lain.

Saya bersantai sejenak menunggu suami datang sebelum dipindahkan ke ruang rawat inap. Tas yang berada di meja samping saya gapai dan resletingnya dibuka untuk mengambil gawai. Begitu banyak notifikasi muncul di layar gawai. Ternyata orang tua dan mertua ingin mengunjungi saya di Rumah Sakit. Karena terlalu lama dianggurkan, saya baru bisa memegang gawai saat itu. Padahal saya ingin menitip agar dibawakan beberapa bedong dan baju bayi yang tertinggal di rumah ortu, namun ortu terlanjur sudah dalam perjalanan ke RSUD.

Mertua datang setelah berwisata melihat jembatan gantung di Sukabumi. Mereka juga menginap di Rancamaya. Jadi sebelum ke hotel, mereka mampir dulu ke RSUD yang jaraknya lumayan dekat meski menjadi terasa jauh karena banyaknya volume kendaraan di sekitar yang membuat jalanan macet berat. Mengingat ini situasi pandemi, mertua saya hanya sebentar di ruang bersalin untuk kemudian kembali ke hotel. Tidak lama kemudian orang tua saya datang membawa titipan saya yang dibeli dari apotek sekitar. Breast pad dan pembalut bersalin. Azan maghrib berkumandang. Suami mengajak ortu saya untuk sholat di mesjid RSUD sembari berpesan ke saya agar menunggu kedatangan mereka sebelum dibawa ke rawat inap.

"Ruangan sudah siap! yuk kita ke ranap." Ujar suster.

Saya menyampaikan pesan suami, sekitar 10 menit kemudian akhirnya suami dan ortu datang dan kami bersama-sama ke ruang rawat inap. 

Sebuah pengalaman yang berbeda dibandingkan kelahiran pertama dan kedua saya. Jika sebelumnya saya masuk ruangan dengan kamar mandi dalam, terdiri dari 1 ranjang dan ber-AC, sekarang saya memasuki kamar yang terdiri dari 4-5 ranjang, kamar mandi dalam dan tidak ber-AC. Meski begitu, saya tidak mengatakan apa-apa di dalam hati. Saya malah kepikiran ingin menyuruh suami saya untuk pulang saja ke hotel dan menemani Hasan dan Bilqis tidur. Suami menolak dan saya baru menyadari tepatnya keputusan itu setelah keesokan hari. 

Ternyata mandi dengan selang infus di tangan sangat sulit. Untung saja ada suami saya yang setia membantu melepas-memakaikan baju. Akhirnya saya beres mandi juga setelah seharian memakai baju yang penuh peluh dengan bercakan darah sana sini akibat proses persalinan. Badan segar, rasanya jadi lebih bisa tidur meski tanpa AC. Alhamdulillah saat itu di kamar hanya ada 1 pasien lain yang ditemani oleh suaminya. Suami saya jadi bisa tidur di tempat tidur kosong di samping saya. Setelah menyusui dan mengganti popok Husna, saya mencoba tidur seraya mendekatkan rannjang bayi ke dekat tempat tidur saya.

"Bapak, ibu, barang-barang pribadinya dijaga ya, takut ada orang niat jahat ambil." ujar satpam dari daun pintu bangsal.

Hah, ada apa ini? Rasanya jadi deg-degan. Ini pengalaman yang sama sekali baru. Suami segera mengambil gawai saya dan memasukkannya di tas tangan saya yang berada di laci. Karena ranjang saya berada paling dekat dengan pintu bangsal katanya.

Jendela bangsal dibuka oleh pasien yang ranjangnya di dekat sana agar udara mengalir. Deru mobil dan motor bersahut-sahutan. Apalagi saat tengah malam. Alih-alih tidur saya terbangun karena tangisan bayi, saya malah lebih terganggu dengan suara motor yang kebut-kebutan di tengah malam. Pada dua kelahiran sebelumnya saya merasakan sedikit nyeri di kemaluan akibat jahitan pada malam pertama. Sekarang malah hampir tidak terlalu terasa mengganggu. Allah maha baik dan adil, saya dipermudah oleh-Nya disaat keadaan sedang kurang enak dan mendukung.

Bangsal yang gerah, suara kendaraan yang gaduh di malam hari, kurangnya privasi, membuat saya tidak sabar menuruti saran suami untuk langsung pulang esok paginya.

"Memang bisa pulang besok pagi?" Tanya saya tidak percaya.
"Bisa, pulang paksa aja lah! Syarat BPJS yang penting udah nginap sehari." Tandas suami.

Matahari menunjukkan sinar paginya. Kumandang Azan terdengar di ufuk sana. Gawai suami berbunyi menandakan saatnya bangun dan salat Subuh. Saya kembali memejamkan mata karena tidak harus salat Subuh. Jam 7 saya kembali dibangunkan suami. Suami menginginkan pulang secepat mungkin. Namun apa daya, meski jam 7, belum ada petugas terlihat. Pintu koridor rawat inap masih terkunci. Setelah mandi, mulai tampak perawat lalu lalang. Mereka pun meminta ranjang bayi diantarkan ke stasiun perawat untuk dimandikan.

"Cuma ada pampersnya ya, bajunya mana bu?" Tanya perawat keheranan.

Teriris hati saya mendengarnya. Husna tidak ada baju ganti karena dari kemarin kami tidak dapat menemukan baju bayi di jual disekitar RSUD. Bahkan ortu saya yang datang juga tidak dapat menemukan di toko sekitar. Karena alasan ini pula lah yang membuat saya semakin yakin bahwa pagi inilah kami harus pulang ke Cibubur (rumah ortu saya). Kasian Husna. Saya ingin sesegera mungkin Husna memakai baju dan bedong ganti yang bersih. Karena tidak ada baju ganti, Husna kembali memakai baju dan bedong yang sama. Sedih melihatnya.

Alhamdulillah, seusai Husna mandi, suami pun selesai mengurus administrasi untuk keluar ranap. Kami segera membereskan barang bawaan. Saya menggendong Husna, suami membawa tas.

Ah lega, nyaman sekali menghirup udara luar, pikir saya dalam hati sembari duduk di mobil. Masuk jam 4 sore, keluar jam 9 pagi. 17 jam. Kurang dari 24 jam saya sudah keluar dari rumah sakit paska persalinan. Masuk dalam keadaan perut gendut, keluar dalam keadaan menggendong bayi.

"Aku lapar, sarapan dulu yuk!" Ujar saya

Kemudian mobil meninggalkan Rumah Sakit dan menuju hotel. Ternyata Husna ingin menikmati suasana hotel juga.

Lahiran gratis

Tidak pernah terbayangkan sama sekali oleh kami, lahiran anak ketiga ini gratis dan tidak mengeluarkan uang sepeserpun kecuali biaya belanja perlengkapan kelahiran dadakan. Kartu BPJS yang sudah 3 tahun teronggok di dompet saya akhirnya di gunakan juga. Karena okupasi suami, dirinya beserta keluarganya harus didaftarkan ke BPJS kesehatan kelas 3. Tidak terbayangkan juga, akhirnya kartu tersebut terpakai untuk kebutuhan lahiran anak ke-3.

Alhamdulillah, ini bagian dari rejeki Husna. Lahiran lancar, cepat, dan gratis. Biaya lahiran yang telah disiapkan oleh suami sebelumnya jadi bisa dialokasikan ke pos lain. Kebetulan sekali, kebutuhan kami untuk tahun 2021 cukup banyak, Memang benar, tiap anak membawa rejekinya masing-masing.

Lahiran di RSUD

lahiran gratis rsud


Saya melahirkan anak pertama dan kedua di RS Permata Cibubur. Meski jauh dari apartemen, kami rutin kontrol dan pada akhirnya melahirkan disana karena dokter Obgyn langganan kami praktek disana. Pun, lokasinya sangat dekat dengan rumah orang tua. Kami bisa menunggu di rumah ortu dulu sebelum jadwal kontrol. Kami pun tidak perlu mengantri dan menunggu lama di rumah sakit.

Lahiran anak ketiga secara tidak terduga terjadi di tempat yang tidak terbayangkan sama sekali, jauh dari rencana lokasi. Ini pertama kalinya lahiran di Rumah sakit milik pemerintah. Saya lahiran di RSUD Ciawi. Suami yang bekerja di instansi rumah sakit pemerintah membuatnya cukup terbekali bagaimana sistem Rumah sakit di daerah sehingga membuatnya dapat bertindak lebih taktis dalam mengambil keputusan. 

Meski lahiran ketiga melalui standar prosedur yang jauh berbeda dibanding lahiran sebelumnya, tidak terbersit pun di benak saya sampai sekarang untuk menyesal dan mengeluh. Toh wajar saja, kan gratis sementara yang sebelumnya bayar. Lahiran di RSUD benar-benar sangat berkesan karena memberikan pengalaman yang menarik bagi kami berdua. Ah bukan, bertiga.

Secercah Harapan ke Depan

Segala bentuk rasa penasaran saya yang terpikirkan sebelumnya sebagian besar terjawab di kelahiran ketiga. Apakah lebih baik? Sesuaikan dengan bayangan saya? Menurut saya semua ada kelebihan dan kekurangnya. Yang sama jelas satu, pengalaman yang indah dikenang.

Meski begitu, jika dipikir-pikir masih ada beberapa keinginan seputar hamil-menyusui-melahirkan ini. Lahiran di negeri orang dan lahir tanpa jaitan. Lahiran di negeri orang tampak mustahil. Pun, sudah akan lahiran anak keempat. Saya juga tidak menginginkan kehebohan ekstra pada anak keempat.

Tinggal lahiran tanpa jaitan. Saya masih penasaran bagaimana cara dan rasanya. Meski menurut saya Allah memberikan kemudahan pada tiga kelahiran saya, saya tetap belum merasakan pengalaman lahiran tanpa jaitan. Lahiran anak keempat mungkin?

Eh gimana sih, ini Husna juga baru 2.5 bulan? 😏

lahiran gratis rsud