3 komentar
Bagi sebagian orang, jalan-jalan bersama balita itu hanya bagaikan mengasuh balita tetapi pindah tempat. Padahal kita bisa memanajemen perjalanan supaya berpelesir bersama balita menjadi suatu hal yang menyenangkan. Setidaknya meminimalisir kerepotan yang akan dihadapi. Terutama jika hanya berdua saja tanpa bantuan suami.

travelling bersama balita
Sepanjang tahun 2018, saya memiliki cukup banyak pengalaman berwisata hanya berdua dengan Hasan, anak pertama kami. Di tahun itu suami mendapat tugas stase luar kota, yakni: Purwokerto, Jombang, Jogja-Klaten dan Chiang Mai selama 1 bulan untuk masing-masing kota. Saya dan Hasan juga turut serta, hanya stase Banyumas yang kami tidak ikut. Saat itu Hasan baru berusia 2.5-3.5 tahun. Karena pada dasarnya suami disana bekerja, otomatis waktu luang bertiga untuk jalan-jalan hanya akhir pekan. Itu pun belum tentu. Sabtu dan Minggu juga harus visit pasien. Cuma stase Klaten dan Chiang Mai saja yang sabtu-minggu benar-benar kosong. Otomatis waktu wisata bersama sangat amat terbatas.

Dengan hanya keluar rumah 2-3 hari di hari kerja selama sebulan benar-benar membuat kami bisa mengekspolorasi tempat-tempat wisata menarik suatu kota. Mungkin sekitar 80-90% dari tempat-tempat yang kami minati. Biasanya waktu berpelesir hanya sampai jam makan siang. Kenapa hanya sampai jam makan siang? Dalam rangka berhemat! Hehe. Saya malas membeli makan siang khusus untuk Hasan, apalagi jika kuliner yang hendak saya jajal bercita rasa pedas, membuat tidak bisa berbagi piring. Dibanding mahal beli menu lain, mending pulang dan makan siang menu yang sudah saya masak sebelum berangkat.

Baca tentang Perjalanan di Purwokerto
Baca tentang Perjalanan di Chiang Mai

Sebagai introver dan penjelajah tipe perkotaan, mengeksplorasi kota-kota ini sangat amat menyenangkan bagi saya. Tidak hanya untuk saya, tapi bagi Hasan. Ia bisa mendapat pengalaman-pengalaman baru di tempat baru dengan pengalaman yang belum pernah didapatkan di Jakarta, kota kami tinggal. Bergerak hanya berdua bersama Hasan di hari kerja benar-benar suatu kegiatan untuk kami. Sebagai ibu beranak satu pada saat itu, berjalan bersama Hasan adalah "the new introvert thingy". Alhamdulillah dikaruniai anak yang tidak rewel diajak wisata. Eksplorasi yang kami lakukan adalah wisata museum, wisata kuliner, eksplorasi pusat perbelanjaan, kunjungan taman dan tempat-tempat edukasi, berpergian menggunakan transportasi umum hingga berjalan-jalan santai di trotoar tengah kota. Karena keterbatasan waktu, biasanya kami berdua mengunjungi tempat wisata dan kuliner yang tidak begitu diminati suami. Wisata bersama suami dilakukan pada akhir pekan, biasanya wisata alam atau tempat yang relatif agak jauh. Pokoknya yang amat sayang jika tidak dikunjungi bertiga.

Sebelum berpelesir berdua di tengah kota, saya dan Hasan sering berpergian berdua selama di Jakarta tanpa bantuan. Ke mal, belanja, ataupun ke restoran. Bedanya, tempat yang kami kunjungi di Jakarta tempat yang familiar dan sering kali tanpa perencanaan sebelumnya. Beda dengan kota baru yang benar-benar harus mempelajari peta dan melakukan perencanaan matang. Sering saya mendapat saran agar membawa turut serta asisten rumah tangga (waktu itu ada ART yang bekerja) saat bepergian berdua. Entahlah, saya merasa tidak nyaman saja. Saya jadi seperti kehilangan momen kesendirian.

Bagaimana tips dan trik agar nyaman bepelesir berdua hanya dengan balita tanpa bantuan suami? Yuk simak tips dibawah ini!

1. Kenali Anak dengan baik

Tiap anak itu unik, meski lahir dari rahim yang sama, anak pertama dan kedua bisa memiliki karakteristik yang berbeda bagai air dan api. Hasan anak yang tidak rewel, bisa dibilang Hasan itu salah satu rekan pelesiran terbaik. Berpergian bersama tidak berasa bawa beban, lebih seperti pendamping hanya lebih kecil dengan kecepatan jalan lebih rendah dari orang dewasa. Salah satu permasalahan Hasan adalah ia cukup sulit jika harus makan di luar rumah hingga usia 3 tahun. Inilah alasan utama kenapa saya kerap memilih memberi Hasan makan siang di rumah. Minim drama.

Kenali fisik anak. Apakah ia kuat berjalan jauh, apakah dia gampang rewel. Kalau rewel, bagaimana menyiasatinya. Hasan dikaruniai fisik yang cukup kuat, pada usia 2.5 tahun ia sudah bisa jalan hingga 1 kilometer. 3 tahun bisa 1.3 kilometer. Hasan sendiri tipe anak tidak rewel dan malas ngemil, jadi biasanya saya cuma bawa kudapan seadanya serta air minum.

Baca juga: Traveliving, travel sebulan

Sebagai contoh, Saat di Chiang Mai saya hendak keluar rumah hanya untuk menukar uang di tempat penukaran. Jarak terukur sekitar 1 km dengan menggunakan Google Map. Berhubung itu adalah jarak yang masih ideal untuk Hasan berjalan kaki, saya memutuskan membawa Hasan turut serta dengan berjalan kaki. Hasan tidak menggunakan stroller pada saat itu karena trotoar Chiang Mai yang kecil dan berundak, hanya membuat mendorong stroller lebih berat.

2. Kenali Diri dengan Baik

Selain mengenal anak, kita juga harus mengenal diri sendiri dengan baik. Apakah fisik kita cukup kuat untuk melakukan perjalanan yang hendak dilakukan. Menggunakan pakaian, tas dan alas kaki yang nyaman juga tidak kalah penting, apalagi untuk perjalanan yang jauh.

Saat saya hendak berbelanja relatif banyak ke supermarket besar di Chiang Mai, Jarak Google Map sih kurang dari 1 km yang merupakan jarak ideal untuk Hasan berjalan kaki sendiri. Tapi berhubung barang bawaan akan sangat banyak dan akan membebani saya berjalan kembali 1 km kurang ke tempat tinggal, saya memilih membawa stroller meski trotoar sempit dan jalan berundak. Sepulang dari supermarket, apakah Hasan naik stroller atau berjalan tergantung banyak dan beratnya barang belanjaan. Saya menggunakan stroller Aprica Karoon, stroller yang ringan dengan dimensi relatif kecil, cocok untuk perjalanan di jalan-jalan Asia yang tidak ramah stroller. Sangat cocok juga untuk berpelesir. Belanjaan biasanya saya masukkan ke kantong bawah dudukan (muatan kecil) dan digantung di pegangan stroller. Kalau barang belanjaan sangat banyak dan besar, saya memilih menaruh barang di dudukan stroller dan menyuruh Hasan berjalan. Menggantungkan barang sedemikan berat dan besar di stroller hanya akan merusak stroller, cepat atau lambat.
travelling bersama balita
Menggunakan carrier bagi saya pada saat itu bukan lah opsi, selain Hasan sangat betah naik stroller, saya juga sedang hamil 4 bulan. Waktu itu saya juga belum mengenal gendongan semacam Onbuhimo dan woven wrap yang bisa membawa anak tanpa harus melilitkan melalui perut.
travelling bersama balita

3. Rencanakan Perjalanan dengan Detail

Merencanakan perjalanan saat berpelesir seorang diri adalah penting.
Merencanakan perjalanan saat berpelesir berdua dengan balita adalah amat penting.
Merencanakan perjalanan saat berpelesir berdua dengan balita dengan angkutan umum adalah sangat penting.

Saya memiliki hobi berpelesir di kota yang hendak dikunjungi melalui aplikasi Google Maps sejak jauh-jauh hari. Entah terlalu semangat atau penuh persiapan. Setidaknya, saat saya menerima info akan pergi, saat itu jari saya akan mengetuk Google Maps pada gawai. Dengan menjelajah Google Maps, saya merasa kota baru tersebut menjadi lebih familiar. Tidak hanya melihat jalan, tetapi juga menggunakan fitur Google View. Saya bergerilya mencari tahu lokasi suami bekerja, lokasi tempat tinggal potensial, supermarket, pasar, tempat wisata, taman, restoran, kafe, dan sebagainya.

Saat mengikuti stase Klaten (kami tinggal di Yogya, lebih tepatnya seberang Bandara Adi Sucipto), kami berencana berpelesir ke Solo di akhir pekan. Karena tiba-tiba suami harus masuk ke RSUD Klaten dahulu pagi hari, saya berencana untuk pergi duluan bersama Hasan agar bisa berwisata  sembari menunggu kedatangan suami. Menggunakan Kereta Api Prambanan Express (Prameks) adalah satu-satunya opsi. Prameks ini mirip-mirip KRL lah, menghubungkan Kota Solo, Yogyakarta, dan Kutosari. Tidak ada tiket kursi, hanya tiket naik. Nanti kami akan bertemu suami di penginapan di Solo yang sudah kami reservasi sebelumnya. Suami ke Solo menggunakan mobil pribadi setelah membereskan urusannya di Klaten. Perencanaan matang dimulai dari sini.
travelling bersama balita
sumber: goodnewsfromindonesia.id
Saya melihat jadwal Prameks menggunakan daring, setelah memutuskan jam keberangkatan, saya mengestimasi waktu kosong sebelum bertemu suami di penginapan. Kemudian melalui Google Maps, saya melihat objek wisata apa saja antara stasiun Purwosari (penginapan kami lebih dekat ke stasiun ini ketimbang Solo Balapan) dan penginapan. Karena tidak bersama suami, otomastis objek wisata yang hendak kami datangi adalah objek wisata yang kurang diminati, atau dengan kata lain objek wisata yang apabila tidak didatangi oleh suami, yang bersangkutan tidak berkeberatan. Akhirnya pilihan jatuh kepada Museum Radya Pustaka, Museum Pers dan Paragon Mall. Paragon Mall bukan buat wisata sebenarnya, tapi tempat singgah kami mencari makan siang :D.
travelling bersama balita
Pekerjaan berikutnya adalah mengukur jarak. Naik apa? Bawa Stroller atau tidak? Karena tahu akan naik Prameks, sudah pasti saya tidak membawa stroller. Kami naik Prameks di Stasiun Maguwo, yaitu stasiun terluar kota Yogyakarta sebelum berangkat menuju di Klaten dan Solo. Sudah hampir pasti kereta sudah terjejali oleh penumpang-penumpang dari stasiun sebelumnya, ditambah lagi itu adalah hari Sabtu. Betul saja, saya dan Hasan cuma dapat jatah berdiri haha. Beruntung kami, saat Hasan minta duduk dan saya berjongkok agar ia bisa duduk, ada seorang bapak baik hati menawarkan tempat duduknya kepada kami. Alhamdulillah, kami bisa duduk sampai tujuan, padahal saya sudah menyiapkan mental untuk terus berdiri selama hampir sejam 😆.

Saya mengukur jarak Stasiun Purwosari ke Museum Radya Pustaka hampir 2 km, jarak yang lumayan jauh, apalagi Hasan sudah menempuh perjalanan kereta dahulu. Kami memutuskan menggunakan Grab car. Jarak Museum Radya Pustaka menuju Museum Pers hanya  750m, berjalan kaki adalah pilihan yang baik bagi kami. Terakhir jarak Museum Pers menuju Paragon Mall hanya 1 km, baiklah kami jalan kaki saja. Tapi tunggu, ternyata jalur tersebut dilalui oleh Bus Trans Batik Solo. Baiklah, kami menggunakan opsi naik bus saja. Lumayan kan, sekali jalan bisa merasakan naik Grab, jalan kaki, dan bus umum :D. Jarak Paragon Mall menuju penginapan anggap saja tidak dihitung, karena jaraknya hanya 200m!

Jika memiliki mobil yang bisa digunakan saat berpelesir, misalnya mobil sendiri atau mobil sewa, perencanaan perjalanan tidak sepanjang jika harus menggunakan kendaraan umum. Seperti saat kami di Purwokerto. Alhamdulillah kami mendapatkan pinjaman mobil. Mau kemanapun, kafe, warung, pusat perbelanjaan, hingga pasar tidak harus berpikir panjang. Tinggal siapkan diri dan naik mobil. Di Yogya kami juga menggunakan mobil pribadi yang di(bantu di)bawa dari Jakarta. Karena jika ingin berpelesir harus antar jemput suami ke Klaten, terkadang saya memilih menggunakan angkutan umum saja. Bisa menggunakan grab/gocar, Trans Jogja, ataupun berjalan kaki.

Mungkin banyak yang bertanya, kenapa tidak menggunakan grab/gocar saja, kan praktis dan anti ribet. masalahnya, rata-rata dalam sekali perjalan saya bisa mengunjungi 2-4 tempat. Bisa dibayangkan, berapa ongkos yang saya habiskan untuk perjalanan sehari. dalam 1 minggu, saya bisa keluar 3 hari kerja (akhir pekan pergi bersama suami, tentu menggunakan mobil pribadi). Betul, alasan saya merencanakan moda perjalanan sedemikian detailnya adalah untuk alasan penghematan. Saya berusaha mengoptimalisasi kemampuan fisik kami dan biaya semaksimal mungkin. Oleh karena itu, memperhitungkan rute-rute yang dikunjungi sekali jalan dengan sangat detail menjadi penting. Biaya minimal, usaha maksimal, wisata maksimal!

Saat saya berada di Chiang Mai, suami sempat harus melakukan perjalanan dinas selama 4 hari ke Phuket. Saya dan Hasan hanya berdua tanpa keluarga dan kendaraan di negara asing. Saat itu sedang tanggal merah dan libur panjang memperingati kematian Raja Bhumibol Adulyadej (Rama IX) di Thailand. Suasana libur ;anjang begini sayang sekali untuk dilewatkan hanya di tempat penginapan, padahal minggu depannya kami harus kembali ke Indonesia. Oleh karena itu saya dan Hasan melakukan perjalanan panjang di hari Sabtu.

Merencanakan perjalanan menggunakan angkutan umum di Chiang Mai rumit nan menantang. Angkutan termurah dan terfleksibel, Songthaew (semacam angkot) cukup mahal, yakni 10-15 ribu sekali jalan, sementara kali ingin mengunjungi 3 tempat saat itu. Akhirnya saya mendapat benang biru dengan cara naik songthaew sampai Chiang Mai University, naik Bus umum ke Central Festival Mall, naik free shuttle dan berjalan kaki ke Pasar Malam Sabtu, dan pulang menggunakan Songthaew. Berangkat pagi pulang malam. Bayangkan! Perjalanan sepanjang itu pada akhirnya hanya menghabiskan ongkos transpor 35 ribu saja. 2 kali naik songthaew (30 ribu) dan 1 kali naik bus umum (5 ribu). Anak-anak tidak dihitung. Lumayan sekali kan!
travelling bersama balita
Free Shuttle Van yang menghubungkan Central Mall
Baca Menggunakan Transportasi Umum di Chiang Mai

3. Fleksibel

Karena kita sedang membawa makhluk kecil yang terkadang muncul keinginan dan kelakuan random, dari awal kita harus memiliki pola pikir bahwa apa yang dilakukan tidak harus tepat 100% dengan apa yang direncanakan. Perlu ada penyesuaian yang harus dikerjakan di tengah jalan. Kecepatan pengambilan keputusan juga penting demi kenyamanan bersama.

Pada perjalanan yang terakhir saya ceritakan di atas, sebenarnya itu bukanlah rencana awal. Rencana awal saya adalah wisata kampus Chiang Mai University, belanja sesuatu di Central Mall, kemudian pulang untuk makan siang. Ternyata keseluruhannya memakan banyak waktu. Wisata kampus menggunakan mobil elektrik harus mengantri 1 giliran dulu hingga perjalanan bus umum yang memakan waktu 1,5 jam! Saya agak kurang perhitungan sih yang ini, jarak Chiang Mai University ke Central Mall benar-benar dari ujung ke ujung. Selain itu harus melewati jalur terminal bus dahulu. Kebayangkan macetnya! Saya tidak bawa stroller pada perjalanan kali ini, soalnya wisata kampus pakai mobil elektrik dan bisa meminjam stroller kalau dibutuhkan di mall. Saat perjalanan di bus, saya memutar otak. Hasan saya pangku (demi cuma bayar 1 tiket!😝) dan alhamdulillah ia bisa tidur siang selama perjalanan. Kemudian saya memproyeksikan kami makan siang dan shalat jamak Zuhur-Ashar di Central Mall. Sebelumnya kami pernah kesana sekali saat orang tua saya berkunjung, jadi sudah tahu bahwa ada satu kantin halal di food court dan ada mushola. Karena terlanjur pasti akan sampai sore disana, akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke pasar malam sabtu (Wua Lai Night Market) setelahnya karena ada yang hendak dibeli. Naik shuttle van yang saya tahu gratis. Saya mengambil brosur jadwal keberangkatan di meja depan. Kemudian sembari menunggu Hasan bermain bersama bocah-bocah Chiang Mai di playground, saya memutar otak mencari jalur van yang mengarah ke pasar malam. Akhirnya saya memutuskan mengambil jadwal keberangkatan 16.20 rute 3: Old City Road
travelling bersama balita
Jadwal free shuttle
Alhamdulillah, sesampai kami di terminal shuttle, van belum berangkat dan kami tidak menunggu lama sebelum berangkat. Selama perjalanan saya kembali menjelajah Google Map untuk mencari tahu titik pemberhentian mana yang terdekat dengan pasar malam. Akhirnya saya memutuskan turun di U Hotel. Menurut Google Map, kami tinggal jalan ke selatan sedikit dan voila, sampailah kami di Pasar Malam. Eh, ternyata turis-turis bule yang duduk di depan kami juga ingin melanjutkan ke pasar malam, mereka bertanya ke Supir dan supir membenarkan untuk berhenti di U hotel. Ya sudahlah, tidak ada yang sia-sia 😏. Di Chiang Mai bawaannya memang agak malas bertanya-tanya mengingat sedikit sekali yang tanggap Bahasa Inggris.

Itu adalah kali ketiganya kami ke Pasar Malam Sabtu. Pertama bertiga bersama suami dan kedua ramai-ramai saat kunjungan orang tua. Saya sudah mengetahui bahwa banyak stand makanan halal. Karena Hasan suka martabak cokelatnya, saya membelikan Hasan itu untuk makan malam. Sementara saya pesan mi goreng di stand dekatnya. Setelah barang terbeli dan perut kenyang, kami pulang menggunakan songthaew. Karena sudah pengalaman naik dan menawar songthaew dari sini, it's piece of cake! 😎

travelling bersama balita

Travelling bersama Balita, kenapa tidak?

Setelah berkali-kali hilir mudik hanya bersama Hasan, berpelesir berdua bersama balita sangatlah menyenangkan. Perjalanan bersama balita bisa sama-sama menyenangkan baik bagi orang tua dan anak apabila disertai dengan perencanaan yang baik, meski dituntut memiliki kefleksibelan tinggi yang diambil dengan keputusan tepat dan cermat. Rekan jalannya kooperatif dan tidak rewel. Saya sama sekali tidak kapok. Sayangnya, setelah mengakhiri tahun 2018, kami tidak ada jadwal berpelesir bersama lagi :). 3 April 2019 saya melahirkan anak kedua kami, Bilqis. Jadi otomatis berakhir sudah berpelesir berdua (dan bertiga bersama suami). Setelah itu saya berniat menulis tentang berpelesir bertiga bersama bayi dan balita. Tapi entahlah, di situasi pandemi ini, akankah ada perjalanan lagi? 😮