Diet Obat

Tidak ada komentar
Saya tergolong orang yang "malas" makan obat. Maksudnya, saya kalau tidak kepepet dan memang harus, saya tidak akan menyentuh obat. Entah kenapa dan entah sejak kapan saya mulai begini. Dulu (dan saban kali sampai sekarang) saya langganan sakit kepala hebat bulanan. Sakitnya seperti migrain, sakit kepala sebelah dari tulang hidung, menjalar  ke mata, pelipis hingga kepala. Sakit kepala hebat sampai keluar air mta dan rasa-rasanya otak saya mau meledak. Namun, daripada saya makan obat, saya memilih jalan dengan tidur. Biasanya bangun paginya sakit kepala sudah hilang. Saya baru akan menyentuh obat sakit kepala jika keesokannya sakit kepala masih terasa.




Bersin? Batuk? Pilek? Saya baru akan menenggak obat jika saya nilai sudah sangat mengganggu. Salah satu diet obat saya yang notable adalah saat dulu saya mati-matian menahan demam selama 3 hari saat masih kuliah di Bandung. Saat saya demam, saya langsung jor-joran minum air putih dan madu secara berulang-ulang. Jika panas sudah tidak nyaman baru saya mengkonsumsi obat penurun panas. 1 hari lewat. 2 Hari lewat. Tiba hari ke-3. Disini saya menjadi sedikit gentar. Takut saya terjangkiti penyakit tipus kembali setelah sekian lama absen. Saya sengaja menunggu 3 hari karena saya tahu bakteri butuh waktu berinkubasi di dalam tubuh selama 3 hari. Akhirnya saya pun pergi ke RS Boromeus Bandung. Entah kenapa hari itu praktek dokter internis pada mengantri. Akhirnya saya didaftarkan ke seorang dokter internis yang belakangan saya ketahui banyak pasien yang tidak menyenanginya. Saya pun mengutarakan keluhan dan demam saya serta meminta periksa darah. Akhirnya saya tahu kenapa banyak pasien tidak menyenangi dokter tersebut.


Dokternya pelit obat.


And he turned to be my favourite doctor.


Ironis, orang-orang kita sering ter-mindset kalau ke dokter harus dapat obat. Kalau sakit harus dapat antibiotik. Hey, yang bisa dibunuh oleh antibiotik itu hanya bakteri. Virus tidak bisa #sotoy. Dokternya pun menolak untuk merekomendasikan ambil darah sekarang. Pun, ia hanya menyuruh banyak minum dan meresepi obat turun panas dan pereda nyeri DENGAN CATATAN diminum jika sedang kambuh. He suspected it just virus. Besok disuruh datang lagi kalau masih demam untuk ambil darah, karena hitungannya baru genap setelah hari ke-3.


Dan besoknya saya tidak demam. Sama sekali.

Suami

Suami juga kurang lebih tidak mudah mengkonsumsi obat-obatan. Dan lagi, dia dokter. Lebih tahu bagaimana gejala yang butuh obat dan mana yang tidak. Pernah suatu ketika suami terkena radang tenggorokan dan baru mengkonsumsi antibiotik di hari kesekian. Plus, alhamdulillah suami mendapat rezeki sangat resistan terhadap penyakit.

Hasan

Sebelum Hasan lahir, saya giat mencari info mengenai dokter anak (yang praktek di RS sekitar saya) yang memiliki rekomendasi baik. Salah satu kriteria saya yang sedikit strict adalah dokternya pelit obat. Mungkin jika ini menyangkut diri saya sendiri, mudah untuk toleransi rasa sakit sebelum memutuskan apakah layak makan antibiotik.

Kalau menyangkut anak? Pasti ada rasa tidak tega.

Sepekan yang lalu, gara-gara saya yang ditularin langsung secara (tidak) sengaja Hasan batuk. What I love about this kid, daya tahan tubuh Hasan itu luar biasa. Alhamdulillah seperti babehnya. Sejauh ini vaksin Hasan tidak ada riwayat demam. Beberapa minggu lalu saya terkena batuk kuat berminggu-minggu dan saya suka bandel malas pakai masker, Hasan tidak terpapar batuk. Hanya batuk batuk "lucu" sesekali. Batuk random yang nanti hilang sama sekali. But an unfortunate accident happened, jadilah Hasan tertular batuk dari saya. Di hari pertama, badan Hasan menghangat. Saya kontrol temperatur terus. Suhu anak demam minimal 37.5 C. Hasan mepet-mepet terus, sekitar 37.4 C dan sempat juga mencapai 37.5 C. Sejujurnya saya agak malas memberi Hasan obat. Begitu juga suami saya. Saat hasan sudah 37.5 C dan saya mulai cemas, ia selalu menenangkan tidak usah khawatir. Dan Alhamdulillah Hasan masih mau nyusu. Saya gempur ASI terus menerus. Hasan anak baik, dia masih sempat-sempatnya tertawa dan selama badan Hasan hangat ia tidak terlalu rewel. Menjelang sore, Hasan keringatan dan suhu badannya kembali menjadi normal. Alhamdulillah. Karena biasanya justru malam demam meninggi. Sejak saat itu sampai keesokannya Hasan tidak demam lagi.

Tapi Hasan masih batuk-batuk. Saya masih malas memberi obat. Suami juga malas. Sampai akhirnya saya merasa kasihan sendiri setiap Hasan batuk berentetan saat mau tidur atau ditengah tidur. Sebenarnya saya masih agak malas memberi obat. Jadi pada akhirnya saya minta Hasan diresepi obat. Suami meresepi obat generik. Obat batuk sirup bayi dosis 3-4 ml 3 x 1. Hasan cuma minum obat 2 hari.

Pasca obat berhenti besoknya batuknya hilang? Tidak, tapi berkurang drastis. Saya pun memberhentikan obat.

Alhamdulillah Hasan diberi rezeki daya tahan dan imun yang kuat. Minggu depan saya agak deg-degan. Hasan akan vaksin DPT yang demam karena yang tidak demam sudah habis dimanapun.

Semoga tidak demam ya nak, Amin.

Tidak ada komentar